Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
28 min readJul 19, 2022

Oleh: Suryadi A. Radjab

Ilustrasi gerakan mahasiswa angkatan 1966. Sumber: Historia.id

Pengantar Editorial Semar UI

Karena faktor sosio-historis di masa lalu, kaum muda kerapkali dikaitkan sebagai seorang agen pengubah. Masyarakat mengenalnya dengan pembagian angkatan yang historis, yang cukup dikenal diantarnya angkatan ’08 sebagai pelopor kebangkitan nasional, ’28 sebagai pelopor Sumpah Pemuda, ’45 sebagai pencetus kemerdekaan,’66 dan ’98 dianggap sebagai seorang orang yang berpengaruh dalam pergantian rezim. Pembabakan-pembabakan tersebut juga dibalut romantisme heroisme -seperti agent of change, guardian of value, social control, iron stock dll- yang melegenda. Terdapat perbedaan yang mencolok dari gerakan-gerakan yang dilakukan kaum muda dalam rentang tersebut. Jika sebelum 1966, kaum muda didominasi oleh demografis yang beragam, gerakan tahun 1966 dan setelahnya didominasi oleh mahasiswa dalam artian demografis secara umum. Meluasnya akses pendidikan pada era 1950–60 an turut menyumbang adanya faktor tersebut. Suryadi A. Radjab (1991) dalam Panggung-Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara: Gerakan Mahasiswa di Bawah Orde Baru menjelaskan jika gerakan mahasiswa di masa Orde Baru belum bisa benar-benar lepas dari pengaruh rezim Orde Baru. Meskipun Suryadi A. Radjab melakukan analisis pada gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru, namun jika ditelaah lebih lanjut, artikel tersebut masih relevan dengan kondisi pergerakan mahasiswa pasca Reformasi.

Dalam tulisannya, Suryadi Radjab menjelaskan peran hegemoni negara yang turut membentuk kesadaran subyektif mengenai peran mahasiswa pada mahasiswa dan masyarakat. Melalui penanaman jika mahasiswa merupakan sang agen perubahan bagi masyarakat -bersama dengan teknokrat dan militer- dengan menempatkannya sebagai “inteligensia”, dan penyediaan panggung bagi gerakan mahasiswa. Melalui perannya sebagai inteligensia, mahasiswa masih menjadi bagian dari masyarakat, tetapi ia berada di kotak yang terpisah dengan masyarakat biasa, karena dalih jika mahasiswa merupakan kaum terpelajar.

Setelah Hegemoni Orde Baru tumbang, mitos-mitos mengenai peran mahasiswa masih bertahan hingga detik ini. Hal tersebut dikarenakan upaya demitologisasi yang dilakukan masih setengah hati, sehingga mengalamu kebuntuan. Di sisi lain, mahasiswa justru mengamini mitos-mitos tersebut melalui tercanangnya “Gerakan Moral”. Dalam gerakan moral, mahasiswa diibaratkan sebagai seorang resi dalam budaya feodal jawa. Jika terjadi suatu -yang dianggap- permasalahan, mahasiswa akan turun dari pertapaannya yaitu bangku Universitas, untuk melakukan kritik. Setelah permasalahan -dianggap- selesai, mahasiswa harus kembali ke pertapaannya.

Karena telah menjadi legenda umum bagi mahasiswa dan masyarakat, apakah demitologisasi (keluar dari belenggu mitos) tidak bisa dilakukan? Tentu saja bisa. Upaya paling dini yang dapat dilakukan adalah memandang sejarah secara kritis. Misalnya, alih-alih memandang angkatan 1966 dengan meromantisasi peristiwa tersebut dengan menyebutnya agent of change, iron stock, bla bla bla, kita dapat memandang peristiwa tersebut sebagai otokritik gerakan mahasiswa era reformasi. Mengapa setelah pergantian rezim, kondisi semakin memburuk? Apa saja faktor pendukung gerakan sosial 1966? Apa saja faktor yang dapat mendukung gerakan sosial 1966? Dan lain sebagainya. Romantisasi peristiwa-peristiwa tersebut hanya akan membuat gerakan mahasiswa “ketinggalan zaman.” Upaya-upaya tersebut cukup krusial untuk dilakukan. Karena gerakan yang didasari pada legenda, hanya akan (berakhir dengan) menghasilkan legenda-legenda lain. Salah satu cara agar gerakan mahasiswa dapat terus eksis dan berkembang adalah autokritik. Hidup Mahasiswa! Selamat membaca!

Ilustrasi gerakan mahasiswa era Reformasi. Sumber: Tempo

Gerakan mahasiswa di masa Orde Baru belum pernah bisa keluar dari mitos yang membentuk kesadaran subyektif dan identitas sosial mereka. Persepsi tentang peran sosial ini merupakan pendorong kemunculan gagasan aksi-aksi protes mereka di tahun 70-an maupun akhir 80-an. Tetapi melalui hegemoninya, negara juga menyediakan panggung yang diperlukan bagi terciptanya mitos itu, sehingga mahasiswa tidak mampu mengidentifikasi posisi sosialnya secara struktural.

Pendapat dominan selama ini memandang bahwa mahasiswa merupakan kelompok strategis yang berperan penting dalam perubahan sosial-politik. Bahkan sudah menjadi truisme bahwa gerakan protes mahasiswa, terutama di Dunia Ketiga, memainkan peranan yang sangat aktif dan berposisi sentral dalam percaturan politik. Tak ada satu pun penguasa di negeri-negeri — yang dianggap berkembang ini — yang bisa mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda berpendidikan tinggi ini. Para ilmuwan sosial pun sibuk mengkaji dan meneliti fungsi mereka dalam sistem sosial-politik, terutama setelah menaiknya gelombang aksi protes mahasiswa di akhir dekade 60-an hingga awal 70-an, baik di negeri-negeri maju maupun terbelakang, termasuk di Indonesia.

Masih bisa diperdebatkan apakah mahasiswa berperan dalam menumbangkan sebuah rezim dan melicinkan jalan bagi penguasa yang baru untuk naik tahta? Jika memang berperan, seberapa besar andil mereka, baik dalam kemelut politik pada saat tertentu maupun peran sosialnya dalam konteks sejarah yang lebih luas? Rasanya rentang dua dekade kisah tentang gerakan mahasiswa di negeri ini lebih dari cukup untuk memetakan posisi lalu menilai peran golongan terpelajar ini. Tulisan ini sendiri hanyalah sebuah refleksi singkat atas posisi dan peran gerakan (protes) mahasiswa sepanjang Orde Baru, rust en orde yang diakui ditegakkan melalui sumbangan demonstrasi mahasiswa dalam menumpas komunisme. Refleksi ini dimungkinkan karena saya meyakini bahwa sejarah merupakan gerak dialektis antara subyektivitas pelaku dan struktur sosial-ekonomi yang mendasarinya. Diterjemahkan dalam konteks pergerakan mahasiswa, tulisan ini akan berangkat dengan melihat bagaimana terjadinya pembentukan dan perbenturan antara subyektivitas peran mahasiswa dengan kondisi obyektif mereka sebagai bagian dari universitas, institusi penting yang mereproduksikan kapitalisme.

Diskursus tentang Mahasiswa

Dari mana dan sejak kapan terbentuk identitas sosial mahasiswa sebagai sebuah kekuatan politik? Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya hegemoni Negara Orde Baru (NOB). Sejak aksi-aksi unjuk rasa yang diorganisasikan oleh KAMI (terutama di pusat: Jakarta, sepanjang bulan-bulan akhir 1965 dan awal 1966) untuk meretaskan jalan bagi pemberontakan PKI, kejatuhan Sukarno dan kenaikan Jenderal Suharto ke pucuk pemerintahan itu, seakan-akan meledakkan semacam praktek diskursif[i] tentang arti penting gerakan mahasiswa dan peranan mereka dalam perubahan politik. Tak usah heran, karena situasi umum di dunia pada saat itu tengah dimeriahkan gelombang gerakan protes yang dipelopori dan digalang dari dalam kampus.[ii] Walaupun kita tidak boleh membayangkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi saat itu sudah sedemikian canggih seperti sekarang, namun kita tidak boleh meremehkan gema yang meluas dari gerakan-gerakan protes mahasiswa di luar negeri dalam membentuk pendapat umum dunia, dan kemudian melegitimasi peranan mereka sebagai faktor kunci dalam perubahan kebijakan politik atau bahkan suksesi kekuasaan.

Selain faktor pengaruh gaung internasional, yang unik dalam pembentukan identitas sosial mahasiswa di masyarakat Dunia Ketiga adalah pandangan historis-demografis tentang posisi politik mereka. Dalam arti ini, mahasiswa dipandang sebagai bagian dari politik kaum muda yang dipertentangkan denganestablishment yang diduduki orang tua (dewasa). Namun, berbeda dengan konsepsi youth culture yang ada di Barat, pandangan tentang pemuda di Indonesia juga bermakna politik serta memiliki kaitan masa lampau yang khas. Sumber legitimasi perannya pertama kali didapat dari Kebangkitan Nasional 1908 lalu Sumpah Pemuda 1928, di mana pemuda dipandang sebagai pelopor dan pemersatu bangsa, dan kemudian pada masa Perang Kemerdekaan, di mana pemuda dipandang sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan dalam sebuah “revolusi yang dilakukan pemuda”.[iii]

Pada tiga titik penting dalam pembentukan nasionalisme Indonesia itulah mahasiswa lalu menemukan makna politiknya dalam kisah sukses aksi-aksi Tritura yang kemudian disebut sebagai “Angkatan 1966”; bukan sekadar sebagai pemuda tetapi juga mahasiswa. Yang unik dibandingkan dengan pra-1966 di mana agen perubahan sosialnya adalah pemuda, maka setelah 1966, dalam arti demografis yang sangat umum, peran tersebut dipegang oleh mahasiswa. Karena itu, acuan untuk mengidentifikasi peran mahasiswa dalam sejarah politik Indonesia kemudian juga ikut dipilah-pilah menurut pembagian angkatan: ’08, ’28, ’45 dan ’66. Tentu saja kemunculan mahasiswa sebagai presentasi politik angkatan muda berkesesuaian dengan kenyataan sosiologis dalam periode 50-an dan 60-an di mana terjadi perluasan pendidikan tinggi dan proses politisasi masyarakat serta mobilisasi massa yang menjangkau hingga ke kampus-kampus.[iv] Yang artinya, meluasnya golongan terpelajar dan terdidik dengan kemungkinan munculnya tuntutan baru, seperti mobilitas sosial, kesejahteraan hidup, serta pengintegrasian kembali ke dalam sistem kapitalisme internasional.

Tetapi arti penting pembentukan Orde Baru di tingkat negara ialah terjadinya aliansi segitiga antara perwira Angkatan Darat, teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya merupakan bagian lapisan elite inteligensia yang bakal menyerap, memelopori dan menyebarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain, di samping militer dan teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan. Tetapi aliansi segitiga itu pecah ketika terjadi disintegrasi dalam KAMI, dan mulai muncul persoalan bagaimana mendefinisikan peranan mahasiswa selanjutnya dalam sistem politik dan bagaimana seharusnya tugas dan masa depan para eksponen Angkatan 1966. Akhirnya, setelah isuback to campus muncul di akhir 60-an, mahasiswa tampaknya menemukan peranannya yang cocok sebagai “calon intelektual” atau “inteligensia”.

Pandangan tersebut sebetulnya bertolak dari suatu diskursus yang menggunakan konsep “moral”. Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha mendapat kekuasaan, melainkan kekuatan moral (moral force) yang secara aktif ingin ikut berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas mahasiswa, dalam konsep ini, melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau. Dalam pandangan ini peran mahasiswa dimiripkan dengan peran resi dalam konsepsi kuasa dalam budaya feodal-kolonial Jawa.[v] Jika resi hidup di lereng-lereng gunung terpencil sebagai tempat pertapaannya, maka mahasiswa berada di kampus-kampus universitas. Mahasiswa dan kaum terpelajar baru turun dari universitas jika terjadi ketidakberesan atau kekacauan di masyarakat, tentu saja dengan tugas melancarkan kritik sosial terhadap penguasa.[vi]

Karena situasi awal tahun 70-an dianggap sudah menyimpang dari cita-cita semula yang dicanangkan oleh Angkatan 66, yakni Tritura (bubarkan PKI, turunkan harga, perombakan kabinet) maka mahasiswa kemudian merasa terpanggil untuk membereskan keadaan yang ada. Mahasiswa menaruh keprihatinan tentang berlanjutnya gejala korupsi dan berkembangnya jurang kaya-miskin. Mereka melakukan kritik tentang kenaikan harga BBM, pembangunan Taman Mini, dan golongan putih (Golput) di Jakarta,[vii] serta hak-hak sipil di Bandung.[viii] Demonstrasi mahasiswa saat itu ditanggapi secara positif oleh pemerintah, dengan dibentuknya “Komisi Empat” atau Komite Anti Korupsi (KAK) yang dipimpin bekas Wapres Mohammad Hatta yang dikenal jujur dan bersih. Mahasiswa kemudian membubarkan aksi-aksi mereka, sehingga gerakan mereka sebagai resi dalam cerita wayang yang tak memiliki kepentingan politik (kekuasaan),[ix] mendapatkan pembenaran praktisnya.

Kendati demikian, pada tingkat politik praktis, anggapan dan peranan tentang gerakan mahasiswa yang berkembang kemudian tak selalu sejalan dengan anggapan pemerintah terhadap kritik-kritik mereka. Kritik-kritik mahasiswa saat itu diterima dan sekaligus juga ditolak pemerintah. Jika kritik terhadap korupsi diakomodasi dengan dibentuknya KAK serta diundangnya mahasiswa untuk membicarakan persoalan tersebut dengan membawa bukti-bukti, maka sebaliknya ada pejabat tinggi yang membalas kritik tersebut dengan menyatakan bahwa mahasiswa telah ditunggangi.[x] Jika tertembaknya seorang mahasiswa ITB diakomodasi dengan diadilinya seorang anggota ABRI dalam Mahkamah Militer, sebaliknya pemerintah juga mengingatkan akan partnership ABRI-mahasiswa di tahun 1966, sehingga “kecelakaan” tersebut tidak perlu dibesar-besarkan.

Istilah “ditunggangi” dan “kenang-kenangan” tentang aliansi segitiga itu menunjukkan bahwa negara sangat menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan mahasiswa. Protes dan kritik, dalam bentuk demonstrasi sekali pun, diperbolehkan sejauh kritik dan protes mahasiswa tidak keluar dari batas-batas panggung politik yang ditentukan oleh negara itu sendiri. Panggungnya adalah sebuah “arena” di mana mahasiswa hanya mengakui diri sebagai intelektual (resi) dan skenario yang dimainkan tidak boleh menyimpang dari cerita di tahun 1966.[xi]. Karena itu, misalnya, dibentuknya KAK oleh pemerintah, dengan ketuanya Mohammad Hatta, merupakan titik kompromi antara mahasiswa dan pemerintah untuk mengesankan citra bahwa intelektual itu jujur dan bersih dari kepentingan kekuasaan.

Peran resi dalam skenario tersebut masih terus diwariskan hingga “Peristiwa 15 Januari 1974” dan “Gerakan 1978”. Mahasiswa berusaha tetap setia dengan skenario yang sudah dipakemkan. Tuduhan “ditunggangi” merupakan sebuah rambu peringatan supaya mahasiswa tidak keluar dari “Skenario ’66” dan melakukan “kritik yang konstruktif” jika hendak berperan sebagai resi. Kritik juga tidak boleh mengancam stabilitas keamanan dan pembangunan nasional. Karena itu, mahasiswa juga berusaha mati-matian untuk membuktikan bahwa mereka tidak bermain mata dengan kekuatan sosial politik di luar panggung, karena perannya memang bukan merebut kekuasaan, melainkan melancarkan koreksi dan kritik sosial demi suksesnya modernisasi dan pembangunan. Meskipun kedua peristiwa itu tak bisa mengulangi persis “Skenario ’66”, tapi persepsi tentang peran sosial-politik mahasiswa sebagai penjaga kekuatan moral tak pernah pudar.

Tetapi pertunjukan harus terus berjalan. Apa yang dituntut oleh Tritura harus dilaksanakan. Di samping identitas sosial sebagai resi yang dipakai mahasiswa untuk menghadapi tuduhan “ditunggangi” dan “berkepentingan merebut kekuasaan”, peran mahasiswa dalam panggung politik sebetulnya juga disediakan negara lewat saluran-saluran resmi seperti organisasi pemuda, mahasiswa ekstra, organisasi massa, dan terutama partai politik. Kini perbedaan berbagai kelompok dipersatukan dalam satu ideologi baru: pembangunan, yang menggantikan ideologi “revolusi”. Partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa yang masih diakui, terkena program ini, sehingga membatasi ruang geraknya untuk menyalurkan aspirasi dan mengartikulasikan kepentingan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Dalam sistem politik semacam ini tidak diperbolehkan suatu gerakan oposisi. Hal ini membawa akibat-akibat yang cukup serius bagi pertunjukan dalam panggung-panggung yang disediakan negara (sistem politik), yakni di satu pihak merosotnya peran partai politik dan organisasi massa dan di lain pihak menobatkan mahasiswa sebagai satu-satunya “semi-oposisi” yang direstui pemerintah.

Implikasinya terhadap posisi mahasiswa dan kehidupan kampus jadi jauh sekali. Terjadi perenggangan antara organisasi atau lembaga kemahasiswaan di kampus dengan ormas mahasiswa di luar kampus. Dengan kata lain terjadi semacam “deormasisasi” dan “depolitisasi” di dalam kampus. Terjadi independensi semakin tinggi dari aktivitas mahasiswa, diikuti proses liberalisasi kampus dan organisasi kemahasiswaan, yang salah satunya tercermin dalam pemilihan umum (langsung) ketua Dewan Mahasiswa (DM). Tetapi proses ini, menurut saya, lebih baik ditafsirkan sebagai proses tarik-menarik antara kekuatan-kekuatan Orde Lama (partai politik non-Golkar, organisasi ekstra mahasiswa) dengan kekuatan Orde Baru (aliansi segitiga mahasiswa-teknokrat-militer) dalam panggung yang disediakan negara. Jadi, sementara mahasiswa hanya direstui peranan politiknya sebagai intelektual atau resi, mereka juga menemukan identitas sosialnya yang semakin kokoh sebagai satu-satunya oposisi yang ternyata cukup efektif didengar kritiknya dan diperhatikan pemerintah, kendati melalui cara-cara ekstra parlementer atau parlemen jalanan. Walaupun demikian, mahasiswa juga membutuhkan sarana untuk berlatih dan mewariskan peran politiknya itu kepada generasi selanjutnya.[xii] Untuk itu mereka menciptakan sarana dengan membentuk “student government” di mana mereka bisa menjalani “pendidikan politik”, melatih kepekaan terhadap persoalan-persoalan masyarakat, menyalurkan pendapat umum, menggalang pendapat mahasiswa maupun membentuk opini umum. Pada gilirannya nanti, “pemerintahan mahasiswa”[xiii] ini bukan sekadar suatu bentuk organisasi kemahasiswaan belaka melainkan suatu manifestasi dari tekanan dan dorongan mereka untuk tidak hanya sekadar bermain di dalam “Skenario ’66”. Kelak mereka coba membangun panggung sendiri di luar panggung yang disediakan negara.

Setelah berjalannya strategi pembangunan yang menekankan pertumbuhan GNP, pada 1973 mahasiswa semakin gencar melancarkan kritik terhadap strategi ini termasuk persoalan non-ekonomi.[xiv] Persoalan yang diangkat mahasiswa kemudian mendapat tanggapan pemerintah dengan diterimanya delegasi mahasiswa yang mewakili 35 Dewan Mahasiswa (DM) untuk berdialog.[xv] Ketidakpuasan mahasiswa atas hasil dialog ini — terutama dalam mempersoalkan pembangunan dan penanaman modal asing, khususnya Jepang — kemudian meledak dalam “Peristiwa 15 Januari”.[xvi] Peristiwa ini kemudian dipandang melibatkan juga beberapa faksi dalam tubuh negara, khususnya tentara.[xvii] Meskpun ada yang membantah kedekatan hubungan dalam salah satu faksi militer, namun masih terkesan kuat adanya partnership ABRI-mahasiswa di dalam perubahan, yakni hadir kenangan tentang kencan ABRI dan mahasiswa di tahun 1966. Kenangan ini akhirnya semakin sirna ketika gerakan mahasiswa di akhir 70-an menolak untuk melakukan afiliasi dengan kekuatan-kekuatan non-mahasiswa, dan memandang dirinya menjadi perwujudan sosok resi yang sejati.

Gerakan 1978 berkembang dari kritik dan protes mahasiswa yang mulai dirasakan menjelang pemilihan umum 1977. Sejumlah mahasiswa Bandung membentuk “Gerakan Anti Kebodohan” (GAK) dan sempat berdialog dengan beberapa Menteri. Setelah pemilu berlalu banyak pengaduan kesulitan-kesulitan masyarakat dari desa kepada mahasiswa. Situasi panggung yang terus memanas ini berkaitan dengan akan dilangsungkannya sidang umum untuk mengangkat presiden. Aparat negara melihat perkembangan ini dengan mengirim tujuh menteri bidang ekonomi ke kampus-kampus untuk berdialog dengan mahasiswa tentang jalannya pembangunan. Usaha ini gagal di tiga kampus, yakni ITB, UI dan UGM, karena kehadiran para pejabat ditolak mahasiswa. Dengan tegas mahasiswa menamakan gerakannya sebagai gerakan moral yang menjauhi perhitungan politik praktis. Mereka melihat ABRI telah dijauhi rakyat, sehingga perlu mengimbau “kembalikan ABRI kepada rakyat”. Mereka juga menunjukkan kemandulan partai-partai politik, yang memupus harapan mereka terhadap “wakil-wakil rakyat” di lembaga legislatif.[xviii] Bahkan kemudian mereka sempat mengambil lembaga DPR dengan membentuk “DPR tandingan”. Mereka mempersoalkan pucuk pimpinan negara dan menggugat keabsahannya. Tapi karena masih memakai gerakan moral, mereka muncul dan menemukan diri sebagai “pelopor yang terkucil”. Kekuatan mereka terbatas pada mahasiswa dan pelajar. Mereka dibekuk justru dianggap “merongrong kewibawaan pemerintah”. Di sini timbul sifat dilematis dan ambivalen. Dilematis karena di satu sisi ia menyatakan diri sebagai gerakan moral yang bebas kepentingan politik, sementara di sisi lain tuntutannya mengandung bobot politis yang besar, berikut aksi massa yang dikerahkannya. Ambivalen karena ragu-ragu memilih antara moral atau politik.

Meskipun “Gerakan 15 Januari 1974” dan “Gerakan 1978” tidak membawa sukses dari apa yang jadi tuntutannya dalam hal ini tidaklah penting, yang penting justru pengisahan kembali peranan mahasiswa dalam kedua gerakan ini, yang masih menunjukkan adanya penciptaan kenang-kenangan tentang lakonnya sebagai “kelompok intelektual pembaruan” dan penyandang “kontrol sosial”.[xix] Gema “panggilan untuk berperan” tetap muncul ke permukaan dengan menaikkan “idealisme” yang dulu pernah disuarakan mahasiswa, bahkan diselipkan dengan kisah baru untuk berperan dalam pembangunan.[xx]

Dalam kondisi depolitisasi yang terus mengental, mahasiswa tetap dipanggil buat berperan dan setelah itu menjadi kenangan dalam berbagai cerita sehingga “peran sosial” yang dipersepsikan mahasiswa tetap hadir dalam diskursus-diskursus politik. Jadi, singkatnya, yang terjadi adalah pertarungan pada tingkat gagasan antara peranan yang dikehendaki oleh negara dengan peranan yang dipersepsi mahasiswa. Yang disebut terakhir ini sering dipersepsi secara berlebihan serta dijustifikasi sehingga berubah menjadi legenda, yakni bahwa mahasiswa adalah agent of social change, kekuatan moral dan oposisi satu-satunya, walaupun demikian, di tingkat gagasan pun pertarungan tersebut tidak pernah “dimenangkan” oleh mahasiswa. Bahkan sebagian besar gagasan yang membentuk persepsi tentang peran sosial mahasiswa justru datang dari negara.

Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Sumber: Setara Institute

Demitologisasi Setengah Hati

Di atas saya telah berusaha menunjukkan bagaimana identitas sosial mahasiswa terbentuk. Identitas ini sarat dengan mitos tentang peran sosial-politik yang harus dimainkan mahasiswa dalam panggung-panggung negara. Sebagian besar mitologi ini memang dibentuk dan ditentukan oleh negara, melalui pewarisan kepahlawanan dari Gerakan Mahasiswa di tahun 1966 dan dibumbui dengan gagasan tentang peranan sosial di sebuah negeri yang sedang membangun. Kendati mitologi tentang peranan ini terus merasuk ke kepala sang mahasiswa, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang kemudian melahirkan berbagai pertunjukan-pertunjukan baru dan tidak harus sesuai dengan “Skenario ’66” — namun inti mitos-mitos tersebut terus lestari hingga saat ini. Walaupun demikian, dari refleksi para bekas aktivis mahasiswa terhadap peristiwa 1966 sudah mulai muncul upaya sadar untuk melepaskan diri dari mitos-mitos tentang peranan sosial-politik yang membebani mereka.

Salah satu upaya demitologisasi yang paling awal, misalnya, coba meluruskan persoalan yang selalu membelenggu dan menjadi dilema bagi etos gerakan protes mahasiswa, yakni antara pilihan gerakan politik atau moral. Dengan membongkar apa yang sebenarnya terjadi pada bulan-bulan bersejarah di tahun 1966 mengemukakan bahwa sesungguhnya peranan mahasiswa dalam penggulingan Sukarno dan meretaskan jalan bagi Orde Baru, sangatlah kecil.[xxi] Bahkan dia mengatakan bahwa mahasiswa pada saat itu hanyalah alat legitimasi yang digunakan oleh “lawan-lawan” Sukarno dan musuh-musuh komunisme untuk melajukan perpindahan kekuasaan ke tangan Suharto. Karena itu sangatlah tidak berdasar dan sama sekali tidak relevan untuk mengatakan bahwa gerakan mahasiswa bebas dari penunggangan kepentingan politik tertentu.[xxii] Per definisi, gerakan mahasiswa merupakan sebuah kekuatan politik, entah atas nama dirinya atau atas nama rakyat. Karena itu tidak logis untuk melihat gerakan mahasiswa sebagai kekuatan yang bebas politik. Lebih jauh lagi dia menyimpulkan bahwa tuduhan ditunggangi sesungguhnya merupakan strategi ganda yang khas digunakan penguasa mana pun untuk mendapatkan legitimasi atau sebaliknya untuk men-“delegitimasi” gerakan perlawanan.[xxiii] Legitimasi diperlukan karena dalam batas-batas yang ditoleransi penguasa, kritik dan protes mahasiswa justru diperlukan oleh penguasa untuk tetap menunjukkan masih hadirnya “kelompok penekan”. Dengan demikian mengesankan adanya “demokrasi” dan mungkin saja: oposisi. Tetapi jika kritik dan protes mahasiswa dipandang mengganggu tata tertib serta tatanan yang ada dan delegitimasi tidak ampuh meredam protes, maka represi dan koersi tak segan-segan digunakan. Strategi permainan “permen” dan “pentungan” inilah yang digunakan negara untuk tetap mempertahankan tatanan yang ada.

Dalam versi lain, upaya demitologisasi juga coba dilakukan oleh seorang mantan aktivis mahasiswa 1966.[xxiv] Upaya ini dilakukan supaya kacamata menjadi proporsional memandang peranan mahasiswa, tanpa melebih-lebihkan dan tanpa isyarat apologetic jika ternyata mahasiswa tidak memainkan peranan seperti yang diharapkan oleh identitas sosialnya sendiri. Dipertanyakan anggapan yang melihat bahwa Angkatan ’66 telah memainkan peranan besar, bahkan peranan yang menentukan dalam “Skenario ’66”. Pertama, dipertanyakan sampai seberapa jauh sebenarnya kesadaran “sejarah” dari para demonstran tersebut akan hadirnya momentum perubahan. Menurutnya, kesadaran mereka sebenarnya baru sampai pada seruan Tritura, sama sekali tidak sampai pada penciptaan paradigma dan platformkehidupan politik nasional yang baru. Karena diusulkan pihak lain, peranan angkatan ini tak lebih dari ornamen semata-mata.[xxv] Kedua, untuk mewujudkan paradigma ini penggarisan atas dasar umur, status kemahasiswaan, dan “kekuatan moral dan kontrol” tidaklah memadai. Artinya, dalam suatu rekayasa besar perubahan politik sangatlah berlebihan meletakkan mahasiswa dalam peran yang menentukan.

Memasuki dekade 80-an persepsi tentang gerakan mahasiswa sedikit bergeser. Setelah pukulan berat melalui penangkapan dan pengadilan para pimpinan mahasiswa akibat gerakan mahasiswa di tahun 1974 dan 1978, kampus dijinakkan. Kampus dan universitas semakin ketat dikontrol oleh negara melalui aparat birokrasi perguruan tinggi. Pada tahap ini negara bukan hanya melakukan tindakan represi dan koersi terhadap pimpinan mahasiswa yang dianggap menjadi biang kritik dan protes, tetapi dengan sistematis dan terencana negara juga merubuhkan panggung-panggung yang coba dibangun mahasiswa di luar panggung negara. Pemerintahan mahasiswa (Keluarga Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa) dilarang, dan ancaman skorsing serta pemecatan terhadap para aktivisnya, yang nakal ke luar panggung atau menolak bermain dalam panggung, mulai diberlakukan. Tanpa organisasinya tersebut kekuatan politik mahasiswa tak lebih dari macan ompong. Segala upaya untuk mengembalikan mahasiswa dalam perannya semula sebagai resi maupun sebagai oposisi loyal yang efektif tampaknya akan sia-sia dan ilusif.[xxvi] Situasi negara sudah berubah dan panggung pun berubah. Skenario lama sudah tidak relevan lagi dan para aktor telah berganti. Generasi mahasiswa yang baru tidak akan bisa sepenuhnya mereproduksi lakon-lakon yang pernah dimainkan dulu. Kendati cerita tentang peran mahasiswa di tahun 1966 masih terus bergema, tetapi bukan lagi fakta dan lika-liku peristiwanya (apalagi refleksi kritis tentangnya) yang menjadi penting, melainkan pesan yang hendak disampaikan dan kesan yang diterimalah yang menjadi penting. Fakta berubah menjadi cerita, dan cerita berubah menjadi legenda. Dan semua bahan bakar motor perubahan itu tetap bersumber dari negara. Mahasiswa hanya mendengar deru merdu dari suara yang dihasilkannya.

Walaupun demikian, masih ada optimisme bahwa gerakan mahasiswa mungkin sudah ditakdirkan demikian:[xxvii] timbul tenggelam, pasang surut dalam panggung-panggung yang disediakan negara, ditolak sekaligus dibutuhkan; supaya negara yang kini bertindak sebagai produser merangkap sutradara mudah mengarahkan cerita. Setelah porak-poranda akibat NKK/BKK,[xxviii] seorang mantan aktivis mahasiswa yang menyadari akan keterbatasan gerakan mahasiswa pun, dengan metafora indah, masih mengharap bahwa “gerakan mahasiswa mungkin memang sudah tuntutan zaman, yang mengandung kebesaran serta rohnya sendiri. Sehingga kehadiran dan aspirasi yang mereka bawakan perlu ditangkap dengan tenang dan dijadikan rohnya sendiri.”[xxix] Roh itulah yang coba diisi dan tampaknya menghidupkan kembali peran mahasiswa sebagai “pejuang rakyat” tetapi disesuaikan dengan kondisi yang sudah berubah.

Akibat kehancuran lembaga-lembaga dan organisasi kemahasiswaan dan represi yang mengeras dari birokrasi universitas, tak ada pilihan lain bagi mahasiswa kecuali merenungkan kembali peranan dan kedudukan mereka serta melakukan otokritik terhadap gerakan mahasiswa sebelumnya. Aktivitas politik dan protes tidak mampu lagi dilakukan, karena risiko terlampau besar yang harus ditanggung, yakni dipecat dari universitas atau kehilangan status istimewanya sebagai mahasiswa. Karena itu, kita saksikan, aktivitas mahasiswa dalam periode awal 80-an lebih terkonsentrasi pada kegiatan diskusi dan “kontemplasi”. Artinya, walaupun organisasi BKK berhasil dihambat mahasiswa pada kampus-kampus utama di Jawa, tetapi sebagian tujuan dari konsep NKK berhasil diterapkan, yaitu meletakkan mahasiswa bukan sebagai “agen politik praktis” tetapi sebagai man of analysis. [xxx] Roh tadi kemudian ditangkap dan dijadikan semangat zaman yang membentuk subyektivitas mahasiswa dan dibenturkan dalam kondisi obyektif sosial ekonomi yang sudah berubah. Hasil dari benturan ini adalah hadirnya kesadaran subyektif yang baru tentang konsepsi “kerakyatan”, yakni di satu sisi mahasiswa menerima realitas dirinya sebagai bagian dari gerakan sosial yang lebih besar dan di sisi lain menolak realitas kekuatan negara. [xxxi] Maka, perumusan cita-cita sosial mahasiswa adalah “membangun kekuatan rakyat”.[xxxii]

Dalam konteks saat itu perumusan identitas sosial tersebut kelihatannya merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk menemukan sintesa antara “demitologisasi terhadap gerakan moral termasuk kritisisme terhadap peranan mahasiswa sebagai resi” dan “panggilan untuk berperan yang masih tersisa dari mitologi gerakan mahasiswa 1966”. Di satu pihak, perumusan kesadaran subyektif tersebut juga bisa dilihat sebagai upaya untuk mencari peran mahasiswa yang lebih strategis serta struktural, dan di lain pihak upaya itu sekaligus dapat mengatasi dilema atau ambivalensi naif yang selama ini menguasai kesadaran mahasiswa, yakni sikap mendua antara gerakan moral yang bebas politik dan gerakan politik yang memihak.[xxxiii] Walaupun penuh dengan slogan yang meledak-ledak, perumusan tampaknya menemukan saluran praktisnya ke dalam organisasi non-pemerintah (ornop), yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan lembaga swadaya atau pengembangan swadaya masyarakat (LSM/LPSM).[xxxiv]

Dengan muatan yang sama tapi dalam versi yang lebih luas, upaya mahasiswa keluar dari mitos gerakan mahasiswa sebelumnya dan menemukan peranan sendiri yang lebih strategis sesuai dengan tuntutan zaman diharuskan oleh seorang mantan aktivis mahasiswa 70-an dalam sebuah retrospeksi yang menarik, kurang lebih sebulan sebelum mencuat kembali demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di akhir 80-an.[xxxv] Tolok ukur lama berupa peran mahasiswa yang tercermin dalam gerakan mahasiswa tahun 1966, 1974, dan 1978 tampaknya seperti suatu beban sejarah. Dalam menimbang-nimbang bagaimana menuntaskan hal ini, perlu dirumuskan cita-cita tentang demokrasi dan keadilan sosial. Dari sini barangkali beban kesejarahan bisa dihilangkan dan demitologisasi angkatan sekaligus terjadi. Sekarang angkatan muda belum terlambat menolak kekalahan dan juga belum telat mengukur keberhasilan sebagai unsur yang menegakkan demokrasi dan keadilan sosial. Dan ironisnya, kunci keberhasilan peran angkatan muda justru terjadi kalau mereka mampu meniadakan “mitos kesinambungan” yang menenggelamkan mereka dalam immobilitas dan sikap curiga terhadap semua peran di luar mereka. [xxxvi] Tentu saja dengan mendudukkan mahasiswa atau angkatan muda sebagai agent of democracy, maka lakon yang harus dimainkan oleh mahasiswa menjadi lebih “politis” dan struktural sifatnya dibandingkan lakon-lakon sebelumnya yang berwatak kultural. [xxxvii]

Dengan retorika “demi rakyat”, “demi demokrasi” dan dibarengi dengan pengalaman belajar bersama LSM/LPSM, maka ruang gerak di pinggiran panggung, yang relatif lebih leluasa untuk berimprovisasi, kini tidak lagi berada dalam kampus tetapi telah bergeser ke luar kampus. Pergeseran ini agak meleset dari dugaan semula, bahwa sebagai akibat penghancuran organisasi intra kampus dan akibat kontrol birokrasi universitas yang sangat ketat, aktivitas politik mahasiswa akan kembali ke organisasi ekstra universitas. [xxxviii] Kenyataannya tidak demikian. Di samping kelompok-kelompok kecil independen yang dibentuk di luar kampus maupun di dalam kampus untuk tujuan diskusi maupun studi, mahasiswa mulai bersentuhan dengan organisasi sosial kemasyarakatan (non-partai, non-ekstra) yang langsung berhubungan dengan kelompok yang diklaim akan diperjuangkan oleh mereka. Karena itu tak mengherankan jika beberapa tahun kemudian, subyektivitas yang diteriakkan itu bertemu dengan persoalan konkret yang dihadapi kelompok masyarakat tertentu, yakni para petani yang kehilangan tanahnya, pedagang kaki lima yang tergusur, dan beberapa kalanga menengah dan menengah bawah kota yang terkena penggusuran tanah. Mahasiswa 80-an menemukan penampilan atau peranannya yang khas lewat komite-komite sebagai juru bicara “rakyat” dalam bentuk aksi dan advokasi terhadap para “korban pembangunan” tersebut.

Pertunjukan pun kembali berulang, dengan kisah yang sedikit berbeda tapi dengan plot dan lakon yang sama: parodi dan tragedi; diskusi, demonstrasi, ditangkapi, diinterogasi, dihakimi, masuk bui. Namun berbeda dengan kisah 1974 atau 1978, para pemeran tokoh mahasiswa dalam melodrama ini menempuh akhir terpenggal tragis: tidak dapat menyelesaikan lakonnya sebagai mahasiswa. [xxxix] Panggung pun sempit dan sesak bagi sebuah pertunjukan kecil di bawah bayang-bayang mitos agung tentang “mahasiswa sebagai pejuang rakyat”. Cahaya lampu jutaan watt terang benderang menyoroti panggung menampakkan hegemoninya, dan rakyat menonton di luar panggung. Lalu lakon apa lagi yang akan ditampilkan?

Mistifikasi Struktur Kelas

Berulangnya kegagalan lakon yang dimainkan gerakan mahasiswa merupakan konsekuensi logis dari upaya demitologisasi setengah hati yang dilakukan oleh para bekas aktivis mahasiswa maupun para aktivis pasca-1978. Walau begitu kegagalan ini tidak dapat ditimpakan sepenuhnya ke tangan para aktivis tersebut. Pandangan dan gagasan yang dominan tentang peran mahasiswa juga merupakan pandangan resmi penguasa yang terus disebarkan sebagai dasar legitimasi untuk memperoleh dukungan kaum muda itu. Negara memandang bahwa mahasiswa merupakan “harapan bangsa”, sehingga perlu memainkan peran untuk kemajuan bangsa dan negara seperti “terjun ke desa” atau “membangun daerah”. Dalam batas-batas yang ditentukan sendiri oleh negara, mahasiswa juga diperbolehkan melakukan “politik praktis” tetapi disalurkan melalui lembaga-lembaga politik dan organisasi kepemudaan. Sebaliknya mahasiswa melihat bahwa unsur-unsur di dalam aparat negara juga bisa melakukan kesalahan dalam menjalankan pembangunan atau modernisasi. Sebagai “calon intelektual” dan “agen modernisasi”, mahasiswa bertugas menjalankan “fungsi kontrol sosial” dengan kritik yang membangun dan bertanggung jawab. Jadi, persepsi mahasiswa tentang peran mereka sendiri dan “ideologi” negara tentang mahasiswa pada hakekatnya sama sekali tidak bertolak belakang. Mahasiswa menerima tawaran untuk memainkan peranannya dalam panggung dan lakon yang dikehendaki negara, dan sebaliknya negara mampu mengarahkan lakon seraya menjaga batas-batasnya.

Tentu saja, panggung yang disediakan dan skenario yang ditawarkan negara tidak harus diterima sepenuhnya. Pasang surut gerakan mahasiswa menunjukkan bahwa ada pola-pola resistensi tertentu yang dikerjakan mahasiswa untuk menolak dan keluar dari panggung tersebut. Walaupun demikian gagasan dominan yang menguasai hampir semua aktivitas mahasiswa tetaplah ideologi yang dominan. Oleh karena itu perlu memeriksa bukan hanya mengapa terjadi proses mitologisasi tentang peran sosial mahasiswa, tetapi lebih jauh lagi mengapa mitos tersebut bisa terus bertahan, bahkan dipertahankan, padahal upaya demitologisasi juga dilakukan?

Salah satu jawabannya karena semua upaya demitologisasi di atas tidak pernah meletakkan mahasiswa dalam posisinya yang lebih struktural. Alasan atau dalih yang dikemukakan biasanya bersifat kultural dan penuh permakluman. [xl] Misalnya pandangan psiko-sosial yang menyatakan bahwa memang bukan peran dan tanggung jawab mahasiswa untuk melakukan perubahan sosial-politik. Mahasiswa hanyalah katalisator bagi adanya perubahan. [xli] Sehingga sangat berlebihan untuk menuntut mereka dengan segala macam peran yang seharusnya dijalankan oleh kekuatan politik non-mahasiswa. Walaupun demikian tetaplah tidak memadai untuk menjawab mengapa — kendati selalu “gagal” dan “kalah” — gerakan mahasiswa terus muncul dan harapan tentang peranan mereka sebagai agen perubahan masih didengung-dengungkan. [xlii] Karena itu perlu dilihat posisi sosial mahasiswa dalam konteks sosial historis yang lebih konkret, yakni memeriksa basis material di mana gagasan tentang peran tersebut berdiri dan terus dihidupi.

Selama ini posisi mahasiswa di dalam struktur kelas tak pernah diperiksa, sehingga bukan hanya terjadi kekaburan, tapi juga pengaburan yang dihegemoni oleh negara. Hal ini disebabkan, karena pertama, posisi kelas sosial mahasiswa sebenarnya tidak jelas. Ada paradoks di dalam batas-batas lokasi kelas dari mahasiswa. Di satu pihak, mereka tidak terlibat dalam proses produksi komoditi sehingga bukan bagian dari kelas pekerja, tetapi di lain pihak mereka justru berada di dalam lembaga reproduksi kapitalisme, yakni universitas. Mereka bukan borjuis, juga bukan pekerja. Kalau pun mau diperjelas posisi sosial historisnya, kurang lebih mahasiswa berada dalam situasi pra-kelas. Artinya, mahasiswa merupakan kelompok sosial yang memasuki suatu tahap persiapan kelas yang khusus, yakni semacam jalur (trajectory) yang berkaitan dengan karier dan profesi tertentu di masa depan [xliii].

Dalam analisis ini tidak terlalu berguna memeriksa asal-usul kelas dari keluarganya, karena yang paling penting adalah melihat: “ke posisi mana mahasiswa akan bekerja” atau “akan memasuki karier dan profesi apa setelah mereka lulus.” Karena determinasi pra-kelasnya itu, maka kepentingan-kepentingan politik dan corak kesadaran kelasnya pun bisa berubah-ubah, bergantung dari gagasan atau ideologi apa yang dominan menguasai kehidupan masyarakat dalam kurun sejarah tertentu yang konkret dan spesifik. Pada satu titik tertentu, mahasiswa bisa menjadi juru bicara untuk dirinya sendiri, misalnya jika mereka mengartikulasikan protes-protes tentang sistem pendidikan, uang kuliah, atau menuntut kebebasan yang lebih besar. Pada titik yang lain, mahasiswa menjadi juru bicara kelompok lain dan bertindak atas nama kelas atau kelompok yang tertindas, seperti yang diartikulasikan melalui kritik-kritik dan gerakan protes mereka sepanjang dua dasawarsa ini. Tapi yang terakhir ini juga tetap tergantung pada ideologi dominan tertentu yang menguasai masyarakat. Seperti sudah saya tunjukkan terdahulu, gagasan yang dominan adalah gagasan tentang peran mahasiswa sebagai agen modernisasi, pembaru dan pelopor perubahan bagi bangsa dan demi negara. Kendati gagasan dominan ini merupakan mitologi, tetapi karena mitos tersebut dibutuhkan dan dipegang oleh kekuatan yang hegemonik, yakni negara, maka mitologi itu tetap bisa diwujudkan.

Penyebab kekaburan struktural yang kedua, karena sistem sosial yang ada di Indonesia adalah kapitalisme pinggiran, yakni suatu bentuk kapitalisme yang telah mengalami distorsi struktural akibat kolonialisme. Dalam perkembangannya sejak kemerdekaan hingga masa Orde Baru, sistem kapitalisme pinggiran ini tidak menghasilkan suatu kelas borjuasi yang tangguh, yang relatif mandiri terhadap negara. Kelas kapitalis yang penting justru tumbuh dari dalam tubuh negara dan didorong oleh negara berkat eksplorasi kekayaan alam hasil hutan dan minyak mentah. [xliv] Kondisi historis semacam ini menyebabkan kelas borjuasi yang muncul tidak dapat menjalankan tugasnya seperti kelas borjuasi yang tumbuh di Eropa. Karena itu negara juga memiliki otonomi yang besar dan memungkinkannya mendominasi seluruh kelas yang ada di masyarakat, [xlv] kemudian menegakkan hegemoninya hanya atas nama negara itu sendiri.

Universitas: Aparat Negara Warisan Kolonial

Untuk lebih memperjelas jalur kelas yang bakal ditempuh mahasiswa dalam kondisi struktural seperti itu, maka perlu dipertimbangkan posisi universitas di dalam masyarakat serta kaitannya dengan dominasi negara. Perguruan tinggi di Indonesia merupakan konsep dan lembaga borjuis yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial pada awal abad ke-20 — seperti THS (sekarang ITB) pada 1920 dan disusul fakultas hukum pada 1924 serta kedokteran pada 1925 — dalam rangka memperoleh tenaga kerja berketerampilan untuk mengisi jabatan-jabatan administrasi dan birokrasi negara kolonial. Kemudian dengan terbentuknya negara Republik Indonesia (RI), maka universitas kolonial beralih jadi universitas negeri (baca: negara). Ini bisa diamati bahwa universitas terkemuka atau terpenting di Indonesia seperti ITB, UI, UGM, Unpad, ITS, Unair, Undip, dan USU merupakan universitas negara (state university). Karena iitu dapatlah dipahami bagaimana universitas atau sistem pendidikan formal — yang di Eropa merupakan lembaga borjuis ini — di sini merupakan bagian dari aparat administrasi-birokrasi negara. Demikian pula, pembiayaan kebijakan pendidikan maupun orientasi para lulusannya diarahkan buat memenuhi kepentingan negara. Jika dulu kepentingan negara kolonial, maka kini kepentingan negara RI.

Melalui konsep NKK semakin jelas jalur yang mesti ditempuh mahasiswa untuk memasuki teknostruktur sebagai bagian dari jaringan industri. [xlvi] Universitas dilihat sebagai “pabrik” untuk melatih tenaga kerja, sedangkan mahasiswa jadi komponen yang bakal mengisi sistem produksi. Kondisi ini makin diperkuat dengan konsep Wawasan Almamater yang isinya, yakni institusionalisasi, profesionalisasi, dan transpolitisasi. Dengan demikian, “arah obyektif” universitas bagi mahasiswa jadi jelas, yakni universitas merupakan eskalator untuk pengisian teknostruktur. Yang berarti bahwa arah obyektif ini justru akan berfungsi mereproduksi dominasi negara. Sementara itu kondisi struktural ekonomi Indonesia hingga saat ini belum memasuki tahapan industrialisasi yang memadai, yang bisa melahirkan baik suatu kelas borjuasi industri maupun kelas pekerja yang tangguh. Industrialisasi di Indonesia malah meledakkan sektor jasa yang tidak “produktif.” [xlvii] Mahasiswa yang kemudian lulus (S-1) berbondong-bondong berebut tempat kerja di seputar manajer madya — sebuah karier dan profesi yang relatif aman dan nyaman — tanpa terganggu konjungtur krisis kapitalisme yang akut.

Demikianlah karena kekaburan dan pengaburan posisi kelasnya, mahasiswa tidak pernah berani secara jujur menyatakan kepentingan obyektifnya dalam diskursus yang secara simultan mendorong aksi atau protes-protes mereka. Ketakutan ini menjadi katarsis yang secara sistematis dimanipulasikan dalam hegemoni negara sedemikian rupa sehingga mahasiswa merasa terus terpanggil untuk memainkan peranannya dalam panggung-panggung mitologi tersebut. Di masa depan, hanya ada dua pilihan bagi gerakan mahasiswa untuk menghindar dari katarsis dan melakukan upaya demitologisasi yang sungguh-sungguh, yakni dengan segala ilusinya tetap bermimpi menjalankan “tugas suci” seperti borjuasi (kelas menengah) di Eropa: menegakkan demokrasi, atau bergabung bersama pekerja untuk mematangkan kontradiksi yang ada di dalam sistem kapitalisme.

Catatan: Tulisan ini pertama kali dimuat dalam Jurnal Prisma 10, Oktober 1991. Rezim Orde Baru telah tumbang, tetapi analisisnya mengenai gerakan mahasiswa masih relevan sehingga layak untuk kembali diperbincangkan, karena belenggu mitos yang masih mengakar di gerakan mahasiswa. Oleh karena itu, Semar UI memutuskan untuk mempublikasikan ulang tulisan ini, dengan harapan tulisan ini dapat menjadi pemantik bagi diskursus-diskursus lainnya terkait upaya autokritik dan demitologisasi terhadap gerakan mahasiswa.

__________________

[i] Diskursus tentang peranan mahasiswa bukan hanya diungkapkan melalui tulisan dengan referensi ilmiah dan liputan pers, tapi juga ikut dibentuk dari ruang-ruang diskusi dan seminar, dari buku-buku, pernyataan-pernyataan, selebaran, rapat-rapat umum dan mimbar bebas, dari aksi-aksi dan slogan-slogan, dari berbagai ritus peristiwa “bersejarah”, dan perbincangan informal yang dilakukan berbagai kalangan. Aksi-aksi dan protes-protes gerakan mahasiswa direproduksikan di catat dan dikisahkan kembali yang kemudian diterima di kepala mahasiswa sebagai identitas sosialnya. Karena keterbatasan waktu dan tempat, saya belum mengkaji lebih rinci dan mendalam text yang ada dalam diskursus tersebut.

[ii] Kita bisa catat beberapa yang penting Gerakan mahasiswa 1968 di Perancis yang nyaris menumbangkan Jenderal De Gaulle, Gerakan anti-rasis dan anti perang di kampus-kampus Amerika.

[iii] Bennedict R O’G Anderson, Reralusi Pemuda, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987).

[iv] Burhan D Magenda, “Gerakan Mahasiswa dan Hubungan dengan Sistem Politik Suatu Tinjauan,” Prama, No 12, Desember 1977.

[v] Arief Budiman, “Peranan Mahasiswa sebagai Inteligensia,”

[vi] Ibid, hal 57–58.

[vii] Orde Baru dilihat sebagai koreksi terhadap kebobrokan Orde Lama seperti menggejalanya korupsi Karena itu mereka melakukan koreksi atas keadaan yang masih berlanjut di masa Orde Baru “Mahasiswa Menggugat” muncul sebagai reaksi terhadap harga bensin dan melebarnya jurang kaya-miskin, Proyek Taman Miri dianggap mirip dengan proyek-proyek mercusuarnya Sukarno. Sedangkan Golput merupakan reaksi kesangsian mereka terhadap partai-partai politik yang ikut pemilihan umum.

[viii] Hal ini berhubungan dengan pemberantasan menggejalanya rambut gondrong di kalangan anak-anak muda kota bersamaan menyebarnya penggemar musik rock, yang dilaksanakan oleh anggota ABRI dan dibantu oleh Taruna Akabri Kepolisian yang sedang kerja praktek. Beberapa Dewan Mahasiswa (UM) dan Kesatuan Aksi Pelajar memprotes tindakan itu ke Kobes Bandung Pada 6 Oktober 1970 Rene Louis Conrad (mahasiswa ITB) tertembak mati akibat perkelahian dalam pertandingan sepakbola antara mahasiswa ITB dengan Taruna Akabri Kepolisian, lihat Mayapada, №89, 22 Oktober 1970.

[ix] Anef Budiman, Op. cit Kepentingan politik dalam arti ini, bahwa mahasiswa punya kontrol dan berhak mengajukan kritik terhadap pemerintahan, tetapi tidak bermaksud menguasai atau menjatuhkan pemerintahan.

[x] Ibid, hal 63

[xi] Arena di siri tidak boleh diartikan netral Di satu pihak panggung adalah catwalk di mana para pemam diarahkan dan dibatasi melalu “skenario”. Tetapo di lam pihak, gagasan tentang panggung itu sendiri (sistem poltik) yang membentuk dan mengarahkan subyektivitas mahasiswa.

[xii] Yang unik dibandimgkan dengan organisasi masyarakat manapun, orgarusasi mahasiswa bersifat “turn over” karena merekahanya menjadi mahasiswa dalam kurun waktu tertentu yang pendek dan terbatas Karena itu ada masalah diskontinuutas dalam organisasi mahasiswa untuk “mewariskan” norma-norma dan pikiran-pikiran yang mereka anut.

[xiii] Sejak pertengahan tahun 70-an, di kampus-kampus utama di Indonesia, organisasi intern mahasiswanya (Keluarga Mahasiswa) mulai menciptakan struktur orgarusasi yang sangat mirip dengan susunan formal sebuah lembaga negara. Walaupun Dewan Mahasiswa sudah terbentuk sejak akhir 50-an, tetapi mekarusme kelembagaan maupun organisasinya sangat jauh berbeda dengan DM periode awal 70an Di ITB dan UI, akhir 70-an misalnya, Keluarga Mahasiswa merupakan peniruan dari sistem Republik Amerika Serikat.

[xiv] Ketua IGGI JP Pronk yang berkunjung ke Jakarta disambut mahasiswa dengan aksi poster dan pernyataan ketidakpuasan terhadap kebijakan pembangunan Di samping itu, mahasiswa juga mempersoalkan Asisten Pribadi Presiden (Aspri), kekayaan pejabat, masalah Pertamina, dan korupsi.

[xv] Lihat Marmimar Mangiang, “Mahasiswa, Ilusi tentang Sebuah Kekuatan,” Prisma, №12, Desember 1981. Dalam dialog yang berlangsung 2 jam dengan Presiden Suharto, 85 mahasiswa mewakil 35 Dewan Mahasiswa (UM) dari Jakarta, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Denpasar, Semarang, Banjarmasin, Banda Aceh, Medan, Padang, Ujung Pandang, dan Purwokerto

[xvi] Dalam rangka menyambut kunjungan PM Kakuei Tanaka ke Jakarta berlangsung demonstrasi mahasiswa. Di luar unjuk rasa terjadi aksi massa yang merusak gedung (Proyek Senen) dan membakar mobil-mobil buatan Jepang, yang pada gilirannya mendapat konotasi negatif dengan sebutan “Malari” (Malapetaka 15 Januari). Masmimar Mangiang, loc. cit, hal. 101–102.

[xvii] Di balik “Gerakan 15 Januari” sebenarnya dukuti oleh friksi di dalam tubuh negara. Sebab, setelah peristrwa ini berlalu terjadi pengunduran diri Jenderal Soemitro dari jabatan Pangkopkamtib serta dinas kemiliteran.

[xviii] Masmimar Mangiang, Op, et, hal. 102–103.

[xix] Lihat laporan Fauzie Syuaib, “Organisasi Kemahasiswaan: Upaya Mencari Bentuk,” Prisma, №6, Jum 1987.

[xx] Lihat lapaoran Redaksi Prisma, “Pembangunan dan Kesempatan Kerja,” Prisma, №6, Juni 1987.

[xxi] Marsillam Simandjuntak, “Gerakan Mahasiswa Mencari Definisi?” Prisma, №2, April 1973.

[xxii] Marsillam Simandjuntak, Ibid., hal. 35.

[xxiii] Marsillam Simandjuntak, Ibid. Marsillam mengatakan bahwa tuduhan ini khas gaya mereka yang berkuasa, seperti halnya Sukarno menuduh aksi Tritura ditunggangi CIA (hal. 35). Atau seperti “Peristiwa 15 Januari 1974” maupun “Gerakan 1978” pemerintahan Orde Baru menuduh mahasiswa ditunggangi oleg faksi-faksi tertentu yang tidak puas kepada pemerintah atau barisan sakit hati.

[xxiv] Parakitri Tahi Simbolon, “Di balik Mitos Angkatan 66,” Prisma, №12, Desember 1977.

[xxv] Parakitri Tahi Simbolon, Ibid., hal. 55–56.

[xxvi] Masmimar Mangiang, loc.cit.

[xxvii] Ibid., hal. 107.

[xxviii] Jika setelah “Gerakan 15 Januari 1974” dominasi Negara terhadap perguruan tinggi ditunjukkan dengan keluarnya SK 028/1974 dari Menteri P dan K, setelah “Gerakan 1978” dikeluarkan SK Kopkamtib No. Skep 02/Kopkam/1978 yang membekukan Dewan Mahasiswa di seluruh perguruan tinggi, bahkan dilanjutkan dengan keluarnya SK Menteri P dan K №0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus disertai perangkat BKK.

[xxix] Masmimar Mangiang, loc.cit., hal. 106–107.

[xxx] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pedoman tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan, Rektoriat ITB, 1979.

[xxxi] Harry Wibowo (ed), “Paham Kebangsaan: Sudut Pandang dan Pengalaman Mahasiswa Purna 1978,” makalah dalam Pertemuan Kaum Muda tentang Paham Kebangsaan, diselenggarakan Harian Kompas, Pacet, Mei 1985.

[xxxii] Ibid., hal. 39–40.

[xxxiii] Misalnya, Heri Akhmadi, “Gerakan Moral Tidak Relevan Lagi,” Kompas, 16 Juni 1985. Dalam sebuah liputan tentang kelompok studi/diskusi, Harry Wibowo mengatakan: “Pilihan kami jelas, yakni menegakkan kekuatan rakyat…!” Kompas, 14 Mei 1986.

[xxxiv] Menarik untuk dicacat bahwa sebagian besar LSM/LPSM yang berdiri sejak 1970-an didirikan oleh para bekas aktivis mahasiswa.

[xxxv] Sjahrir, “Pilihan Angkatan Muda: Menunda atau Menolak Kekalahan,” Prisma, №6, Juni 1987.

[xxxvi] Sjahrir, Ibid., hal. 8–10.

[xxxvii] Ingat identifikasi peran mahasiswa sebagai resi. Arief Budiman, Op.cit., membedakan antara cara pandang yang cultural dan structural terhadap peranan mahasiswa. Meskipun dia mengaku seorang strukturalis, tapi untuk lebih bisa menjelaskan hubungan antara mahasiswa dan pemerintah di Indonesia, dia lebih condong pada pendekatan cultural. Kecenderungan “kulturalisme” ini direproduksi menjadi gagasan yang mempersepsi gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan mahasiswa sebagai cendekiawan muda.

[xxxviii] Seperti tersirat diperkirakan Masmimar Mangiang, loc.cit.
[xix] “Peristiwa 5 Agustus 1989” di kampus ITB mendapat pukulan telak hanya karena sebuah demonstrasi berskala kecil dalam rangka menyambut kedatangan Menteri Dalam Negeri, Rudini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah gerakan protes mahasiswa, pimpinan universitas memecat mahasiswa, sementara aparat negara memvonis keenam pelakunya masing-masing antara 3 sampai 3 tahun 3 bulan untuk tuduhan “pelanggaran pidana” yang sama dengan pasal tuduhan terhadap pimpinan mahasiswa di tahun 1978, tetapi aktivis ’78 hanya dihukum paling lama satu tahun penjara dan tidak dipecat dari universitas.

[xl] Lihat misalnya, “Gerakan Orang Muda, Gelombang yang tak Kunjung Mencapai Pantai,” Dialog para eksponen 66 dalam Prisma, №12, Desember 1977, hal. 25–47.

[xli] Pandangan tentang peran mahasiswa sebagai sekadar katalisator perubahan merupakan permakluman yang dominan pada periode gerakan mahasiswa pasca-1978, yang tercermin dalam makalah refleksi Harry Wibowo (ed.), Op.cit.

[xlii] Misalnya, Sjahrir, loc.cit.

[xliii] Erik Olin Wright, Class, Crisis, and the State, (London: New Left Books, 1985), hal. 92–93.

[xliv] Lihat Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital, (Sydney: Allen & Unwin, 1986).

[xlv] Hamza Alavi, “Class and State under Peripheral Capitalism,” dalam Hamza Alavi dan Teodor Shanin, Introduction to Sociology of ‘Developing Societies’, (New York: Monthly Review, 1982).

[xlvi] Lihat laporan Fauzie Syuaib, Op.cit.

[xlvii] Gejala yang paling terasa pada paruh akhir 80-an adalah bank, awal 90-an adalah pariwisata lewat “Visit Indonesia 1991”.

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!