Refleksi Idul Adha: Jangan Hanya Sapi atau Kambing, Qurbankan juga Kapitalisme!

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar
Published in
6 min readJul 20, 2021

Oleh: Amat*

Ilustrasi Evaluasi Idul Adha

Mereka yang miskin, makin miskin. Mereka yang kaya, makin kaya. Begitulah kapitalisme bekerja. Lebarnya jarak sosial diciptakan dari perbedaan akses sarana produksi yang selanjutnya membatasi akses sarana subsisten bagi sebagian besar orang. Akibatnya, sebagian besar orang menggantungkan hidupnya dengan menjual tenaga kerjanya (labour power). Curahan tenaga kerja mereka inilah yang kemudian menjadi keuntungan bagi mereka yang “beruntung” memiliki akses terhadap sarana produksi.

Sekilas tak ada yang salah dari pola itu. Sebagian orang menjual tenaga kerjanya dan kemudian mendapatkan upah darinya. Sayangnya, ceritanya tak sesederhana itu. Ketimpangan akses sarana produksi justru terjadi melalui proses perampasan paksa kekayaan sosial dari sebagian kelas sosial terhadap kelas sosial lainnya. Proletarisasi, begitu Marx memahami fenomena itu dari hasil penelusuran historisnya. Karenanya, pasrah terhadap keadaan dan menganggap ketimpangan yang dilembagakan ini udah dari sono-nya memang bukan jawaban yang seharusnya diterima. Alhasil, pandemi covid-19 ini pun sekadar menunjukkan kontradiksi dari sistem kapitalisme yang tak terelakkan.

Ketidakmampuan menjawab berbagai persoalan yang dimunculkan sistem kapitalisme ini akhirnya membuat kita berpaling dari kenyataan sesungguhnya. Sebagian berpaling kepada teori konspirasi bahwa virus covid-19 hanyalah upaya elite global untuk menanamkan microchip ke dalam kepala kita. Ada juga yang berpaling ke tafsiran rasis-cum-xenophobia bahwa virus ini merupakan “tentara Allah” untuk menghukum kaum Kafir. Tak sedikit yang memasrahkan diri begitu saja karena ada kekuatan hebat melampaui sains yang akan melindungi mereka. Bagi kelompok yang ini, virus sekadar makhluk Tuhan semata layaknya penulis dan pembaca.

Di sini, penulis tak mau berpanjang lebar dengan penjelasan biomedis berikut segala referensi temuan para virolog ataupun epidemiolog. Jadi, anggap saja teori konspirasi itu sebagai kelakar yang perlu ditertawakan layaknya puncak tertinggi komedi –kecuali pembaca termasuk golongan yang juga percaya pada konspirasi gerakan Komunisme Gaya Baru ala Jenderal Orba. Adapun terkait para penganut mazhab tafsir rasis-cum-xenophobia ataupun kelompok sejenisnya, gagasannyalah yang akan kita baca dan tafsirkan ulang. Tentu saja dengan analisis marxis.

Cerita-cerita yang kita temukan tentang pengikut mazhab tafsir rasis-cum-xenophobia di atas kembali menegaskan problem yang melulu berulang terkait praktik keberagamaan kita. Bahwa pemaknaan nilai-nilai agama secara harfiah dan sempit hampir selalu menimbulkan masalah pelik. Intoleransi, sentimen rasis, hingga paham takfiri yang sejatinya dicela dalam Islam selalu saja mencuat tiap tahunnya. Ironis bukan? Beragam problem itu justru muncul di negara dengan mayoritas penduduknya adalah seorang muslim.

Bagi penulis, akar persoalannya bukan karena derasnya arus budaya Barat yang berikutnya membuat umat berpaling dari nilai-nilai agama. Alih-alih faktor eksternal, umat Islam berpaling justru karena kegagalan mereka dalam mengaktualisasikan nilai-nilai agama. Hal itu sedikit banyak terkait erat dengan kegagalan intelektual Islam dalam melihat persoalan umat. Mereka cenderung berjarak dari problem sosial struktural yang dihadapi umat. Mereka lebih memilih duduk bersilaturahmi dengan penguasa di Istana Presiden, alih-alih membersamai kaum Mustadh’afin yang di berbagai tempat lahan pertaniannya dirampas, tempat tinggalnya digusur paksa, hingga hidupnya luntang-lantung akibat kapitalisme. Sebab, dalam pemikiran mereka, yang menjadi problem sosial umat hanya sekadar dekadensi moral, bukan struktur sosial kapitalisme yang melembagakan keserakahan segelintir umat dan ketimpangan sosial.

Kegagalan mengaktualisasikan nilai-nilai agama ini yang akan kita bahas lebih lanjut. Secara khusus terkait ritus ibadah qurban yang hari ini kita laksanakan, tapi struktur sosial kapitalisme yang melembagakan ketimpangan tak kunjung kita “qurbankan”. Sebab, jangan sampai agama hanya menjadi tempat berpaling kita dari realitas yang ada. Atau, meminjam Feuerbach, bahkan agama sekadar menjadi tempat keterasingan manusia dari dirinya sendiri.

Kisah Pengorbanan Nabi Ibrahim

Tepat hari ini, 20 Juli 2021, sesuai keputusan Sidang Isbat oleh pemerintah, seluruh umat Islam di Indonesia merayakan Idul Adha 1442 Hijriyah. Tak hanya soal ibadah Haji tentunya, Idul Adha yang tiap tahunnya kita rayakan ini berkaitan juga dengan ritus qurban. Secara etimologis, qurban ( قربان ) berakar kata qarabayaqrabuqurbaanan. Qurb memiliki arti “dekat”. Dengan imbuhan alif dan nun –qurban– berarti “kesempurnaan” sehingga sederhananya dapat kita artikan qurban sebagai “kedekatan yang sempurna”.

Dapat pula disebut al-udhhiyah ( أضحية ) yang berasal dari kata adhha. Makna addha berarti permulaan siang setelah terbitnya matahari dan waktu Dhuha.[1] Singkatnya, dinamakan Idul Adha sebab proses ritus berqurban biasanya dilaksanakan di waktu Dhuha usai salat Idul Adha. Adapun ibadah qurban itu sendiri diperintahkan oleh Allah Swt. berdasarkan Surat al-Kautsar. “Maka dirikanlah Salat karena Tuhanmu dan berqurbanlah.” (Q.S. al-Kautsar: 2).

Ibadah qurban yang kita saksikan sekarang sebenarnya berawal dari kisah Nabi Ibrahim a.s. yang mendapat perintah dari Allah untuk menyembelih putranya sendiri. Alkisah, sebelumnya dalam waktu yang cukup lama, Nabi Ibrahim tak kunjung memiliki seorang anak dalam pernikahannya dengan Siti Sarah. Usai menikah lagi dengan Siti Hajar, barulah Nabi Ibrahim dikaruniai seorang anak yang diberi nama Ismail. Selanjutnya, istri pertamanya, Siti Sarah pun akhirnya melahirkan seorang anak juga yang diberi nama Ishaq.

Akan tetapi, melalui mimpinya, Nabi Ibrahim justru mendapatkan perintah dari Tuhannya untuk mengorbankan putra pertama kesayangannya, yakni Ismail. Seorang putra yang kelahirannya dinanti begitu lamanya harus diqurbankan begitu saja. Dengan berlapang dada, Ibrahim dan Ismail pun menerima perintah tersebut. Kisahnya pun berakhir dengan digantinya Ismail dengan seekor domba yang besar dan gemuk. Lalu, Ibrahim menyembelih domba tersebut sebagai tebusan putranya.[2]

Lantas, apa yang dapat kita maknai dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim di atas? Kita jangan lagi memaknai ritus berqurban ini dengan pemaknaan yang sempit layaknya mereka para penganut mazhab tafsir rasis-cum-xenophobia. Dibandingkan sekadar memaknai ritus ibadah qurban sebagai kegiatan seremonial belaka, sudah seharusnya kita menggali makna filosofis di balik ritus qurban ini.

Simbolisasi Pengorbanan dalam Meruntuhkan Kapitalisme

Apa yang tersirat dari kisah Nabi Ibrahim a.s. di atas ialah bahwa apa yang dikorbankan merupakan sesuatu yang dianggap sangat berharga. Tak layak disebut berqurban bila bukan sesuatu yang berharga untuk dikorbankan. Dengan begitu, maka ritus berqurban sejatinya merupakan simbolisasi pengorbanan yang perlu ditempuh dalam sebuah perjuangan. Pengorbanan merupakan conditio sine qua non segala bentuk perjuangan. Termasuk pula perjuangan meruntuhkan sistem kapitalisme yang banyak mudharat-nya ini.

Di sini, kita dapat lanjutkan dengan kisah Che Guevara dan Tan Malaka sebagai contoh pengorbanan dalam memperjuangkan sistem yang lebih adil bagi seluruh umat insaniyah. Mereka berani berkorban dengan apapun demi perjuangan yang ditempuhnya.

Dapatlah kita berandai, jika saja Ernesto Che Guevara tidak tertarik menjelajahi Amerika Selatan dan tetap teguh di jalur profesinya, mungkin kita hanya akan mengenalnya sebagai seorang dokter. Pada akhirnya, sebagaimana diketahui, Che memilih pindah ke Meksiko dan mengenal Fidel Castro hingga berjuang bersama dalam Movimiento 26 de Julio (Gerakan 26 Juli). Ia memilih menapaki jalan terjal revolusi yang mengharuskannya mengorbankan seluruh hidupnya. Layaknya Nabi Ibrahim, Che mengorbankan segala yang dimilikinya demi sebuah perjuangan.

Padahal, Commandante bukan seorang yang sedari kecil tertarik dengan politik. “Saya tidak mementingkan persoalan sosial semasa muda dan saya tidak pernah mengambil bagian dalam perjuangan pelajar atau aktivitas politik di Argentina,” ucapnya.[3] Sejak kecil, ia memang sudah terlanjur susah dengan penyakit asmanya.

Tak berhenti di penggulingan diktator Fulgencio Batista, bersama rakyat Kuba yang dicintainya, Che tetap setia pada cita-cita revolusinya dengan melawan kekuatan reaksioner Amerika Serikat dalam Invasi Teluk Babi tahun 1961. Hingga di ujung usianya pun, Che memilih tetap bersusah payah membantu proyek revolusi di Bolivia yang kemudian justru membawanya pada kematian.

Hal serupa juga dapat kita temui pada sosok Tan Malaka. Andai Tan Malaka lebih memilih tetap mengejar cintanya pada wanita Minang yang didambakannya, tentu tak perlu repot ia berpindah-pindah persembunyian dari kejaran polisi militer Jepang. Andai orang yang disebut bung Karno “mahir dalam revolusi” itu tak sudi mengorbankan apapun demi cita-cita revolusinya, tak perlu repot pula ia berganti-ganti nama samaran dengan Ilyas Husein, Hasan Gozali, Ong Song Lee, hingga Alisio Rivera.

Tapi, sejarah tak perlu mengenal istilah “Andai” untuk membuktikan bahwa cita-cita revolusi memang mengharuskan sebuah pengorbanan. Alhasil, meski menelan peluru tentara dari negara yang didirikannya sendiri, api perlawanannya Tan Malaka tetap berkobar hingga kini.

Pada akhirnya, kita memang harus mengaktualisasikan nilai-nilai pengorbanan dalam kisah Nabi Ibrahim dalam bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas ini. Sebagaimana diperingatkan Misbach dahulu bahwa sebagai pengikut Nabi Muhammad s.a.w., di zaman modal (baca: kapitalisme), satu-satunya cara mengikuti Nabi Muhammad adalah dengan melawan kapitalisme.[4] Mengapa melawan kapitalisme? Sebab, sistem inilah yang melembagakan sifat hewani manusia –keserakahan– yang harus diqurbankan.

Wallahu a’lam bishawab.

*Penulis merupakan anggota Semar UI

KEPUSTAKAAN

[1] Buya Yahya. Fiqih Qurban. Cirebon: Pustaka Al-Bahjah. Diambil dari http://buyayahya.org/wp-content/uploads/2018/08/FIQIH-QURBAN.pdf

[2] Penulis mendasarkan kisah ini dari Tafsir Al-Munir Jilid 12. Hlm. 118–123.

[3] Gonzales, Mike. (2004). Che Guevara dan Revolusi Kuba. Diambil dari https://judicalsophie.files.wordpress.com/2008/12/che-guevara-dan-revolusi-kuba.pdf

[4] Shiraishi, T. (1997). hlm. 360

Az-Zuhaili, Wahbah. (2018). Tafsir Al-Munir Jilid 12. Jakarta: Gema Insani.

Gonzales, M. (2004). Che Guevara dan Revolusi Kuba. Penerbit Bookmarks. Retrieved from https://judicalsophie.files.wordpress.com/2008/12/che-guevara-dan-revolusi-kuba.pdf

Gonzales, M. (2007). Invasi Teluk Babi: Simbol Kemenangan Castro terhadap Amerika Serikat. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912–1926. (H. Farid, Translate.) Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tempo. (2010). Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Yahya, B. (2018). Fiqih Qurban. Cirebon: Pustaka Al-Bahjah. Retrieved from http://buyayahya.org/wp-content/uploads/2018/08/FIQIH-QURBAN.pdf

Detik.com. (2021, Juli 10). Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1442 H Jatuh pada 20 Juli 2021. Retrieved Juli 15, 2021, from https://news.detik.com/berita/d-5638688/pemerintah-tetapkan-idul-adha-1442-h-jatuh-pada-20-juli-2021#:~:text=Pemerintah%20selesai%20menggelar%20sidang%20isbat,jatuh%20pada%2020%20Juli%202021.

Tagar.id. (2020, Februari 16). UAS: Corona Tentara Allah Lindungi Muslim Uighur. Retrieved Juli 15, 2021, from https://www.tagar.id/uas-corona-tentara-allah-lindungi-muslim-uighur

--

--

Serikat Mahasiswa Progresif UI
Kolumnar

Memulai langkah pembebasan kaum tertindas dengan membangun gagasan dan gerakan progresif!