4 Fitur Tidak Umum Bahasa Indonesia

Fitur-fitur bahasa Indonesia yang tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan bahasa lain di dunia.

Lutfhi Variant Hanif
Komunitas Blogger M
7 min readMar 21, 2021

--

Kita sebagai orang Indonesia tentunya sudah tidak asing dengan apa-apa saja yang dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia; begitu-begitu saja dan tidak ada yang aneh. Tetapi, kalau kita melihat keluar, dalam hal ini pada bahasa di seluruh dunia yang telah diteliti oleh para ahli bahasa, kita bisa menyadari betapa aneh dan, mungkin, uniknya bahasa Indonesia, setidaknya dari beberapa fitur bahasa yang telah ditemukan para ahli bahasa. Berikut adalah fitur-fitur yang membuat bahasa Indonesia tidak umum dibandingkan bahasa-bahasa lainnya.

1. Pengulangan untuk menandakan bentuk jamak

Sebagai orang yang pernah menekuni bahasa Inggris, salah satu hambatan yang pernah saya temui adalah bentuk jamak. Dalam bahasa Inggris, bentuk jamak umumnya ditandai dengan akhiran ‘-s’ (house menjadi houses, table menjadi tables, dan lain-lain). Tetapi, hal ini tidak selalu benar karena bahasa Inggris juga memiliki irregular noun (child tidak menjadi childs tetapi children, goose tidak menjadi gooses tetapi geese, dan lain-lain).

Bahasa Indonesia, sementara itu, tidak memiliki aturan atau sifat seperti itu. Apa bentuk jamak kata ‘X’? Ulangi saja katanya (rumah menjadi rumah-rumah, meja menjadi meja-meja). Dalam Linguistik, fenomena ini dikenal sebagai reduplikasi, atau lebih spesifiknya bentuk jamak dengan reduplikasi lengkap.

Ternyata, strategi reduplikasi ini tidaklah umum. Salah satu strategi paling populer untuk menandakan bentuk jamak adalah dengan menggunakan akhiran, seperti bahasa Inggris. Bahasa Nagatman, misalnya, menandakan bentuk plural dengan akhiran ‘-re’:

a`ma-re
anjing-pl
“Anjing-anjing”

Strategi populer lainnya adalah dengan menggunakan awalan, seperti bahasa Anindilyakwa:

wirr-iyikwayiwa
pl-anak
“Anak-anak”

Ada juga bahasa yang menggabungkan kedua strategi di atas, seperti bahasa Misantla Totonac:

lii-šaaluh
pl-pot
“Pot-pot”

míŋ-kam-án
2.poss-keturunan-pl
“Keturunan-keturunanmu”

Strategi reduplikasi untuk menunjukkan bentuk jamak suatu kata benda itu sendiri merupakan fenomena yang tidak terlalu umum. Penelitian sejauh ini mencatat terdapat 7 bahasa lain selain bahasa Indonesia yang memiliki strategi ini.

2. Menghilangkan kata ganti untuk bersikap sopan

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Dalam Linguistik, terdapat konsep Kesopanan (Politeness) yang dapat menjelaskan bagaimana orang-orang bersikap sopan dalam berbahasa. Bersikap sopan di sini merujuk pada usaha untuk membangun dan menunjukkan relasi interpersonal, hubungan antar penutur yang terlibat, dengan cara mematuhi aturan-aturan dan atau norma-norma berbahasa yang ada. Salah satu aturan atau norma yang paling umum adalah terkait penggunaan kata ganti.

Bahasa Jerman, misalnya, mempunyai dua jenis kata ganti orang kedua, yaitu ‘du’ dan ‘Sie’. ‘du’ digunakan untuk merujuk pada orang kedua yang sudah kamu kenal dekat, misalnya teman:

Kannst du mir helfen?
Dapatkah kamu(kenal dekat) membantuku?

Sementara ‘Sie’ digunakan untuk merujuk orang kedua yang belum kamu kenal dekat:

Kannst Sie mir helfen?
Dapatkah kamu(belum kenal dekat) membantuku?

Bahasa Indonesia sendiri memiliki hal yang sekilas mirip dengan hal di atas. Misalnya, kata ganti ‘saya’ sering dianggap sebagai bentuk formal dan bersifat lebih sopan, sementara ‘aku’ bersifat tidak terlalu formal dan menunjukkan kedekatan ketimbang kesopanan. Atau, kata ‘kamu’ yang memiliki sifat seperti kata ‘aku’ dan ‘anda’ yang memiliki sifat yang kurang lebih seperti ‘saya’. Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan kalau konsep Kesopanan dalam bahasa Indonesia ditunjukkan dengan cara yang berbeda.

Djenar misalnya mengatakan kalau kata ganti orang pertama ‘aku’ dan ‘saya’ telah berubah fungsinya. ‘Aku’ dan ‘saya’, menurut penelitian Djenar, dapat muncul dalam baik konteks ‘formal’ dan ‘informal’ dan tidak sepenuhnya menunjukkan sifat sopan atau tidak sopan sebagaimana konsep Kesopanan gambarkan.

Sneddon, dalam bukunya tentang gramatika bahasa Indonesia, menjelaskan kalau bahasa Indonesia menggunakan strategi lain untuk menunjukkan kesopanan; dengan menghapus atau meniadakan kata ganti orang kedua. Dalam situasi dimana penutur bahasa Indonesia bertemu dengan orang yang belum dikenal, Ia dapat merasa kebingunan dalam memilih kata ganti orang kedua yang tepat; ‘kamu’ memiliki konotasi kedekatan atau, dalam beberapa situasi, keintiman, sementara ‘anda’ terlalu impersonal dan terkesan dingin. Sebagai solusinya, orang Indonesia dapat menghilangkan kata ganti orang kedua dalam kalimatnya untuk menunjukkan kesopanan:

(kamu/anda) Tinggal di mana?
Where do you live?

(kamu/anda) sekarang sedang apa?
What are you doing right now?

Strategi menghilangkan kata ganti orang kedua untuk menunjukkan kesopanan ini diamati muncul dalam bahasa-bahasa di Asia Timur dan Asia Tenggara, seperti Jepang, Thailand, dan Vietnam. Sejauh ini, ada 7 bahasa yang dicatat memiliki strategi ini, salah satunya adalah Indonesia.

3. Dengan ditemani dan Dengan menggunakan

Photo by William Recinos on Unsplash

Dalam bahasa Indonesia, kita dapat menunjukkan hubungan ditemani (komitatif) dan menggunakan (instrumental) dengan menggunakan kata ‘dengan’:

Saya makan dengan sendok (menggunakan)
Saya main dengan teman-teman (ditemani)

Hal ini juga berlaku pada bahasa Inggris:

I play with heart (menggunakan)
I come to the party with my family (ditemani)

Lalu ada juga bahasa yang membedakan penanda kedua hubungan tersebut. Bahasa Hungaria, misalnya, menggunakan ‘lal’ untuk menunjukkan hubungan menggunakan, sementara ‘val’ untuk menunjukkan hubungan ditemani:

Tol-lal — — — — ír-ok.
pulpen-
WITH — menulis-1sg
“Saya menulis dengan pulpen” (Menggunakan)

Jan — is — — megjelenik — barát-já-
val.
Jan — juga — muncul.3sg — teman-poss.3sg-WITH
“Jan juga muncul dengan temannya.” (ditemani)

Tetapi, bahasa Indonesia tidak hanya menggunakan satu sistem saja. Bahasa Indonesia juga memiliki kata selain ‘dengan’ yang dapat menunjukkan hubungan ditemani. Contohnya adalah kata ‘sama’:

Dia — datang — sama — teman-temannya (ditemani)
3sg — come —
WITH — friend-pl-poss.3sg.
“He/She comes with his/her friends.”

Menariknya, kata ‘sama’ hanya bisa digunakan untuk menunjukkan hubungan ditemani. Kita tidak menggunakan kata ‘sama’ untuk menunjukkan hubungan menggunakan. Contohnya, kita tidak bisa mengatakan, “Saya makan sama sendok” ketika kita ingin menunjukkan hubungan menggunakan. Hal ini membuat bahasa Indonesia diklasifikasikan sebagai bahasa dengan tipe campur dalam bentuk kalimat dengan ditemani dan dengan menggunakan.

4. Bentuk kalimat kata kerja ditransitif ‘memberi’

Photo by Ben White on Unsplash

Kalian pasti pernah mendengar kata kerja transitif dan intransitif. Simpelnya, kata kerja transitif adalah kata kerja yang harus memiliki objek sebagai temannya, misalnya (objek ditebalkan) “Saya mengambil buku dari lemari.”. Sementara itu, kata kerja intransitif adalah kata kerja yang tidak membutuhkan objek sebagai temannya, misalnya, “Saya tidur kemarin malam.”.

Lalu, apa itu kata kerja ditransitif? Kata kerja ditransitif adalah kata kerja yang harus memiliki dua objek, objek langsung dan objek tidak langsung, sebagai temannya. Contohnya adalah kata kerja ‘memberi’:

Saya memberi Dudung sebuah buku

Sifat penting lainnya adalah kita bisa mengubah susunan kalimat di atas:

Saya memberi sebuah buku kepada Dudung

Dalam kedua kalimat di atas, ‘sebuah buku’ memiliki peran sebagai objek langsung, dalam arti yang diberikan oleh ‘saya’, sementara ‘Dudung’ memiliki peran sebagi objek tidak langsung, atau penerima objek langsung. Bahasa Indonesia tidak membedakan bentuk objek, baik objek langsung dan tidak langsung, dalam kalimat kata kerja ditransitif. Hal ini, tampaknya, tidak terlalu umum.

Salah satu strategi yang paling umum adalah dengan menandai objek tidak lansung, atau penerima. Bahasa Krongo, misalnya, membedakan objek tidak langsung menggunakan awalan (ditebalkan):

N-àdá-ŋ — — — — — — -àʔàŋ — bìitì — à-káaw
Saya-PFV.memberi-TR — Saya — air —
DAT-orang
“Saya telah memberi air pada orang itu”

Strategi lainnya adalah dengan menandai kedua objek yang menemani kata kerja ditransitif. Bahasa Panyjima menandai objek yang menjadi teman bagi kata kerja ditransitif (ditebalkan):

Ngatha — — -yukurru-ku — mantu-yu —- yinya-nha.
Saya.NOM — Anjing.
ACC — daging.ACC — memberi.PST
“Saya telah memberi anjing itu sebuah daging”

Hal ini bisa jadi karena bahasa Indonesia sendiri tidak memiliki kasus grammatika, penanda untuk menunjukkan peran kata yang ditandai oleh kasus tertentu, misalnya kasus Akusatif (ACC) sebagai penanda penderita dan Nominatif (NOM) sebagai pelaku. Tetapi, terdapat bahasa-bahasa yang memiliki kasus grammatika sebagai fiturnya dan tetap tidak membedakan objek langsung dan tidak langsung, misalnya Khanty yang memiliki kasus grammatika lokatif, yang menunjukkan lokasi, dan translatif, yang menunjukkan perubahan atau proses perubahan.

Dari beberapa fitur tersebut, kita telah melihat bagaimana bahasa Indonesia dapat dikatakan tidak umum, dan, dari beberapa fitur, bisa dikatakan unik. Tetapi, harus diingat bahwa pandangan tersebut ada karena kita membandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa-bahasa lain; fitur-fitur bahasa Indonesia di atas tidak dapat dikatakan tidak umum jika kita tidak memiliki dan mengetahui bahasa-bahasa lainnya yang berada di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, menyelamatkan dan melestarikan bahasa-bahasa lain, khususnya yang sudah hampir punah, menjadi sebuah misi penting disini. Karena dengan melihat dan mempelajari bahasa-bahasa lain, kita sendiri bisa mendapatkan perspektif baru tentang bahasa Indonesia.

Referensi:

  1. Seluruh contoh kalimat kecuali bahasa Indonesia, Inggris, dan Jerman saya ambil dari wals.info
  2. Anugrawati, N., Strid, J. E., Haryanto, M. M., & Salija, K. (2020). Politeness Strategies of Indonesian Students in Mediated Communication.
  3. Brown, P. (2015). Politeness and language. In The International Encyclopedia of the Social and Behavioural Sciences (IESBS),(2nd ed.) (pp. 326–330). Elsevier.
  4. Conners, T. J. (2015, July). Pronouns and other people referring expressions: Shifting reference in Indonesian. In The Thirteenth International Conference on Austronesian Linguistics (13-ICAL).
  5. Djenar, D. N. (2008). Which self? Pronominal choice, modernity, and self-categorizations. International journal of the sociology of language, 2008(189), 31–54.
  6. Gil, D. (2004). Riau Indonesian sama: Explorations in macrofunctionality. Typological Studies in Language, 58, 371–426.
  7. Malchukov, A., Haspelmath, M., & Comrie, B. (2010). Ditransitive constructions: a typological overview. Studies in ditransitive constructions: A comparative handbook, 1, 64.
  8. Sneddon, J. N., Adelaar, K. A., Djenar, D. N., & Ewing, M. (2012). Indonesian: A comprehensive grammar. Routledge.
  9. Stolz, T., Stroh, C., & Urdze, A. (2007). WITH (OUT): On the markedness relation between comitatives/instrumentals and abessives. Word, 58(1–3), 63–122.
  10. SturtzSreetharan, C. L. (2009). Ore and omae: Japanese men’s uses of first-and second-person pronouns. Pragmatics, 19(2), 253–278.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
Komunitas Blogger M

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.