Antara Lampu Ruang Tamu, Fenomena Lookism dan Persepsi Masyarakat

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
7 min readMay 6, 2024
Manhwa Lookism (sumber gambar: popstation.id)

Aku duduk berdiam diri di ruang tamuku selama hampir sejam, menunggu ide menulis datang yang terkadang munculnya bisa saja di jam-jam yang terbilang “aneh”. Terkadang ketika aku sedang berjalan menuju sebuah tempat, ide itu muncul entah darimana. Atau ketika sedang mandi, terkhususnya menggosok gigi, maka ide-ide tiba-tiba saja terbesit dan muncul di pikiranku. Ini yang membuat mandiku terkadang menjadi lama dan mulutku yang penuh dengan pasta gigi sudah terasa pahit.

Aku biasanya menulis di malam hari, sekitar jam sepuluh hingga dua belas malam. Namun, kondisi libur sekolah, atau tamat sekolah bisa dikatakan, waktuku menjadi semakin panjang dan membosankan. Ini paradoksal menurutku. Ketika masih berseragam sekolah dulu ingin cepat-cepat untuk libur, namun ketika sudah waktunya tamat sekolah malahan, waktu terasa begitu membosankan dan rasanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun merupakan suatu hal yang biasanya pengangguran lakukan.

Oleh karena itu aku memutuskan untuk menulis di kala fase libur menuju kuliah ini. Ini bisa menjadi medium pelepas bosanku, dan terkadang ketika selesai menulis membuat perasaanku menjadi lega dan pikiranku enteng.

Namun, kembali lagi ke masalah ide menulis tadi. Sejak sejam berdiam diri di ruang tamu, padahal biasanya aku menulis di kamarku sendiri, namun entah mengapa aku saat ini ingin di sana, aku belum mendapatkan satu idepun. Otakku terasa buntu, namun tatkala melihat lampu ruang tamuku yang putih bergemerincing layaknya gelas wine menggantung di atas sana, dalam hatiku terbesit begini: cantik juga lampunya, padahal aku sudah delapan belas tahun di rumah ini namun aku tak terlalu memperhatikan terlalu detail bahkan soal lampu yang ada di ruang tamu.

Dari anggapan itu, aku tiba-tiba mendapatkan sebuah ide untuk menulis. Mengapa aku menaruh perhatian pada lampu itu? Apakah karena lampu itu kelihatan cantik? Lalu mengapa jika kalau kelihatan cantik, maka perhatianku langsung tertuju padanya?

Aku senang sekali. Sepertinya mekanisme ini juga terjadi pada manusia. Aku ingin menulis soal bagaimana bentuk wajah dan fisik pada seseorang memberikan hak istimewa dalam masyarakat.

Lookism dan Persepsi Masyarakat

Di banyak perusahaan sekarang, apalagi startup yang bergerak di kota-kota besar, apabila memberikan lowongan pekerjaan pasti salah satu persyaratannya ialah berpenampilan menarik. Hal ini terlihat tercantum pada paling atas, dan merupakan salah satu persyaratan utama. Aku tidak tahu apakah penampilan fisik mempengaruhi kualitas kerja, namun bagaimana peranan lookism di banyak bidang pada masyarakat begitu melekat dan menjadi suatu hal yang begitu baku menarik untuk dilihat.

Setiap orang memang mencintai keindahan, begitu pula dengan penampilan fisik dan wajah. Persepsi mengenai keindahan dan estetika merupakan sifat alamiah dan biologis yang terjadi pada otak manusia. Dan pandangan-pandangan mengenai keindahan akan sesuatu kini merambah pada ranah sosial, ekonomi, bahkan entertainment.

Akan tetapi, yang menjadi permasalahan ialah persepsi akan keindahan mengenai bentuk tubuh dan wajah yang begitu masif menyebabkan suatu ketimpangan sosial. Peranan media sosial dan internet juga memperparah kondisi ini. Iklan dan film yang menampilkan aktor serta aktris dengan standar kecantikan pada masyarakat yang terkadang tidak logis menyebabkan pandangan soal lookism menyeruak pada persepsi masyarakat dan berimplikasi dengan bidang-bidang lain, terkhususnya dunia pekerjaan.

Lookism merupakan suatu pandangan yang baru muncul akhir-akhir ini, tepatnya pada akhir 1970-an. Lookism ialah suatu tindakan diskriminasi sosial berdasarkan penampilan fisik seseorang. Penelitian mengenai lookism didukung oleh studi yang dilakukan oleh Langois (2000) yang mengeksplorasi stereotip budaya mengenai standar kecantikan dan daya fisik dengan mengambil sampel daya tarik wajah dari tahun 1932 hingga 1999. Hasil studi ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan persepsi positif masyarakat mengenai seseorang yang berpenampilan fisik dan wajah yang dinilai menarik oleh standar masyarakat pada umumnya. Mereka yang dianggap menarik secara fisik akan dinilai memiliki perilaku dan sifat yang lebih positif dibanding dengan seseorang yang dinilai tidak menarik oleh standar masyarakat.

Fenomena ini terjadi ketika suatu individu dibandingkan dengan standar kecantikan umum pada masyarakat sehingga memunculkan stereotip berdasarkan kecantikan wajah dan bentuk fisik. Hal ini bisa saja merugikan dan menguntungkan salah satu pihak. Ketimpangan ini juga menaikkan standar ekonomi pada masyarakat. Pekerja yang dinilai lebih menarik akan memiliki kecenderungan mendapatkan upah yang lebih tinggi dan promosi jabatan dibanding pekerja yang memiliki fisik yang di bawah rata-rata dan cacat fisik. Selain itu, kehidupan pernikahan seseorang yang dianggap menarik secara fisik dinilai lebih puas dan bahagia dibanding dengan yang tidak. Atau pada bidang pendidikan, siswa dan guru yang dinilai menarik secara fisik akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik dibanding dengan yang tidak.

Di AS sendiri, terdapat penambahan premi upah dimulai dari 1 persen hingga 13 persen untuk orang yang berpenampilan di atas rata-rata. Sedangkan pada studi yang dilakukan di Inggris pada tahun 2000 terhadap 11.000 orang Inggris menemukan bahwa adanya penurunan gaji bagi pekerja yang tidak menarik secara fisik. Pada pekerja pria mengalami penurunan gaji sebesar 4 persen hingga 15 persen, sedangkan pekerja perempuan sebesar 11 persen. Hal ini dilihat dari standar kecantikan yang menjadi parameter terhadap syarat dari berpenampilan menarik seperti tinggi badan, warna rambut yang pirang, hidung mancung, dan lain sebagainya.

Fenomena lookism akan semakin parah jika menyangkut pada ranah seksisme, ageisme (diskriminasi umur) dan rasisme. Selain itu, stereotip mengenai keyakinan agama juga mempengaruhi. Seseorang yang berpenampilan fisik seperti suku atau agama tertentu yang dianggap negatif oleh suatu masyarakat akan lebih mudah mendapatkan diskriminasi dibanding seseorang yang terlabel pada suatu keyakinan atau suku yang lebih diterima.

Namun begitu, upaya perlindungan hukum pekerja dari fenomena lookism juga sudah diperjuangkan. Seperti pada negara bagian AS misalnya, Michigan yang menjadi negara bagian pertama yang secara eksplisit melarang diskriminasi dari berat dan tinggi badan, juga Santa Cruz, San Fransisco dan Washington DC. Komisi Equal Employment Opportunity dewasa ini telah memandang bahwasanya obesitas merupakan penyakit fisik yang dihubungkan pada disabilitas. Hal ini terlihat pada Undang-undang Penyandang Disabilitas pada tahun 1990 yang melarang diskriminasi berdasarkan berat badan. Namun, sebagian besar yurisdiksi AS juga memiliki pandangan lain bahwa lookism merupakan pandangan yang normal dan tidak melanggar hukum.

Di Indonesia sendiri pada dasarnya perlindungan pekerja dari fenomena lookism juga sudah ditetapkan. Pada pasal 86 ayat 1 UU tahun 2003 Ketenagakerjaan menerangkan bahwasanya pekerja memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Sedangkan, pada UU №13 tahun 2003 juga menegaskan bahwa pekerja dan buruh dilindungi dari diskriminasi atas dasar apapun dan menamin kesamaan kesempatan dalam pekerjaan.

Akan tetapi, pada prakteknya masih banyak perusahaan yang menetapkan persyaratan berpenampilan menarik pada lowongan pekerjaan yang dicantumkan. Hal ini beralasan terkait dengan bidang pekerjaan yang diperlukan seperti resepsionis, dan lain sebagainya. Hal ini sepertinya sah-sah saja jika memang dihubungkan dengan jenis pekerjaannya, namun untuk pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik, masih saja kerapkali terjadi.

Seharusnya, perusahaan menilai pekerja dari kualitas dan skills yang ditampilkan dan bukan hanya dari standar fisik dan kecantikan wajah.

Manhwa Lookism

Aku akan membahas sedikit mengenai manhwa lookism. Sejujurnya aku tidak terlalu membaca manhwa, namun sedikit mengambil kesimpulan atas fenomena ini pada manhwa tersebut.

Fenomena mengenai lookism dipopulerkan oleh manhwa dari Korea Selatan. Manhwa ini menceritakan seorang tokoh utama bernama Park Hyung Seok yang selalu dibully oleh teman-teman sekolahnya akibat fisiknya yang dibawah rata-rata. Fisik yang pendek, gendut dan wajah yang tidak tampan.

Namun, hal ini berubah begitu drastis ketika suatu hari dirinya terbangun di dalam tubuh yang sama sekali berbeda. Tubuh yang atletis, wajah yang tampan, hidung mancung dan kulit yang menawan sesuai dengan standar kecantikan orang Korea Selatan. Manhwa ini mengeksplorasi ego dan persepsi masyarakat soal standar kecantikan pada tubuh seseorang.

Park Hyung Seok kini menjadi sosok idola dengan tubuh barunya. Dia dianggap sebagai orang yang berkualitas dan interaksi sosial dengan orang di sekitarnya menjadi berbeda. Dia dikenal dan dipandang. Dirinya menyadari bahwa penampilan fisik dan wajah begitu amat mempengaruhi interaksi sosial dengan masyarakat.

Fenomena lookism pada manhwa ini mempengaruhi hubungan interpersonal seseorang.

Kembali pada Ruang Tamu

Aku melihat lagi ke arah lampu ruang tamu tadi. Pengaruh baik akan memang cenderung mengarah pada seseorang atau suatu hal yang dianggap cantik. Hubungan interpersonal yang dipengaruhi oleh lookism mempersempit persepsi mengenai interaksi sosial itu sendiri. Interaksi sosial kini hanya sebatas pengaruh penampilan fisik dan kecantikan wajah, lalu mempersampingkan kebaikan hati, kedermawanan dan kerendahan hati.

Selain itu, pop-culture dan media sosial juga memperkeruh kondisi ini. Karakter utama pada film biasanya digambarkan dengan karakter yang baik dengan wajah yang diatas rata-rata dibanding karakter lain. Begitu juga dengan sosok penjahat yang digambarkan pada orang yang jelek dan buruk rupa.

Media sosial memberikan ruang yang bebas untuk fenomena ini. Pengaruh filter yang masif dengan mengedit foto selama berjam-jam demi memenuhi standar umum masyarakat dinilai begitu penting. Persepsi masyarakat akan tendensi memprioritaskan penampilan fisik membatasi sebagian kelompok orang demi menjaga kualitas standar kecantikan diri dan kelompoknya sendiri. Banyak orang hanya akan berteman dengan seseorang yang dianggap memiliki kecantikan fisik yang setara dengan kelompoknya sendiri. Bahkan, sebagian besar pasangan juga menilai pasangan dari penampilan fisik yang sesuai dengan standar masyarakat, walaupun memiliki sifat yang buruk dan dirinya tahan berlama-lama berhubungan dengan orang tersebut.

Tapi, apapun itu ya sudahlah. Tetap menjadi seseorang yang baik dan yah, jangan menilai seseorang dari pandangan yang sempit. Itu akan merugikan diri sendiri dan membatasi diri untuk berkembang ke arah yang lebih baik lagi. Berteman dengan tulus, bukan dari variabel-variabel yang tidak masuk akal.

Thank you.

Sumber:

Ayto, J. (1999) Twentieth Century Words. Oxford University Press, New York

G, Jacqueline. Lookism. University of East Anglia.

Granleese, J., and Sayer, G. (2006). Gendered ageism and “lookism”: a triple jeopardy for female academics. Women in Management Review, Vol 21, No 6, 500–517.

Harper, B. (2000) Beauty, stature and the labour market: a British cohort study. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, Vol 62, 771–800.

Langlois, J.H. et al., (2000) Maxims or myths of beauty? A meta-analytic and theoretical review. Psychological Bulletin, Vol. 126, 390–423.

Takáč, P. (2020). Current issues in aesthetics and beyond: Revisiting lookism. Ethics & Bioethics (in Central Europe), 10 (1–2), 59–68.

--

--