Hidup, Mati
Apa Kabar Kematian?
Terima kasih, Ayah.
Jumat pagi, pukul 09.30 WIB. Seperti biasa Saya mematikan alarm yang berdering di telepon genggam. Mengucek mata, memandang atap, dan berkata dalam hati, “Apakah boleh 5 menit lagi? Sepertinya tidak.” Sebab ada online meeting yang harus Saya hadiri pukul 10.00 WIB. Beranjak ke kamar mandi, buang air kecil, membilas muka, dan menggosok gigi.
09.58 WIB, Saya memasuki Google Meets. Terdapat 4 rekan kerja yang sudah hadir terlebih dahulu. Senyap, sebab client belum memasuki link yang diberikan Account Executive Saya. 10.00 WIB, client akhirnya join dan rekan kerja Saya menyapanya dengan ucapana selamat pagi yang amat lembut di telinga.
10.01 WIB, telepon genggam Saya berdering. Ternyata panggilan vidio datang dari Ibu Saya yang berjarak 1,761 km. Cukup jarang beliau menghubungi Saya di jam segini. Dengan percaya diri Saya menolak panggilan tersebut, dan mengetik, “Aku sedang meeting mah. Nanti aku telepon kembali ya.” Belum sempat Saya kirim pesan tersebut, satu bubble text dari Ibu muncul di layar yang mengatakan, “Aldi, papa meninggal.”
10 detik Saya diam dan menatap kosong pintu yang ada di hadapan Saya. Tanpa berlama-lama, Saya langusng leave meeting dan mengirim pesan ke rekan kerja Saya kabar duka ini, agar ia mem-back up bagian Saya. Belum ada 5 detik ia membalas, “Cabut lu, udah sana.” Saya langsung menelpon Ibu usai memberitahukan berita ini ke rekan dan atasan Saya.
Tarik nafas, minum, dan berusaha tegar sudah coba Saya lakukan. Namun, baru 1 kata yang dilontarkan Ibu, air mata Saya langsung menetas dari kelopak mata seorang pria 25 tahun ini. Bagaimana bisa seseorang tidak menangis ketika mendengar tulusnya lirih dan pilu dari suara sang Ibu? Ia menjelaskan kronologinya, tertatih-tatih. Saya hanya bisa diam, dan berusaha tenang dengan berkata, “Tenang, coba minum air putih terlebih dahulu.” dimana air mata juga sudah membanjiri wajah Saya. Betapa bodohnya Saya.
“Kita hanyalah partikel kecil yang sedang menaiki eskalator menuju kematian, maka rendah hatilah.”
Sejak kecil, Saya memang tidak pernah memiliki sosok Ayah. Ini merupakan kali ketiga Ibu menikah sebab yang pertama, dan kedua juga meninggal terlebih dahulu. Wah, betapa kuatnya mental beliau, bukan?
Saya jadi malu ketika mengeluh akan pekerjaan, hehe. Kendati Saya tidak dekat dengan almarhum, namun rasionalitas Saya tentu bermain. Bagaimanapun, Ayah menyayangi Ibu dan adik Saya. Saya yakin betul akan hal itu.
Beliau adalah tipe manusia yang sangat berbeda dengan Saya. Ia sangat lurus, tertata, dan idealis. Sedangkan Saya adalah tipe yang radikal, sporadis, dan pragmatis. Mungkin itu yang membuat komunikasi Saya dan almarhum kurang begitu berjalan.
14 tahun kurang lebih kami hidup bersama, berada di satu atap sebelum saya meneruskan pendidikan ke Jakarta, dan bekerja di sini. Terima kasih ayah, atas kamera canon yang kau berikan atas keberhasilan Saya meraih 10 besar murid dengan nilai tertinggi saat UN SMP.
Terima kasih ayah, untuk Yamaha Vixion yang telah kau hadiahkan kepada ku karena berhasil masuk SMA terbaik di daerah. Terima kasih atas tenaga dan waktu yang telah kau berikan untuk menafkahi kami. Terima kasih atas atap dan kasih sayang yang telah kau berikan kepada Ibu, dan adikku. Beristirahatlah, kali ini giliran ku…
Al-fatihah.