Pscyhology and Self Improvement

Apakah Stoikisme Benar-Benar Cacat?

Bermula dari keresahan terhadap salah satu konten yang lewat di For Your Page (FYP) TikTok beberapa waktu yang lalu.

Sahashika Sudantha
Komunitas Blogger M

--

Sebuah komentar di konten TikTok tersebut.

Pada video tersebut, seorang pengguna menunjukkan sebuah ilustrasi tentang perdebatan filsafat, seperti ingin menjelaskan mana yang lebih baik, dan satu diantaranya adalah Stoikisme. Namun, dari yang saya tangkap ilustrasi tersebut adalah jembatan bagi pengguna tersebut untuk menyampaikan konten utama beliau, yaitu membahas apakah Stoikisme merupakan filsafat yang cacat.

Dalam argumentasinya, ia menyampaikan bagaimana dikotomi kendali yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh Stoik merupakan cara pandang dalam berpikir yang tidak bisa diterapkan ke manusia yang penuh akan perasaan. Ia bahkan beragumen bahwa:

Alih-alih memaknainya sebagai cara pandang untuk bersikap, tetapi malah membuat [manusia] menjadi terlampau bodo amat-an. Kita menjadi tidak peduli dengan perasaan orang lain.

Memang, Stoik seburuk itu?

Menjawab “Apakah” dengan Pemahaman

Sejarahku dengan Stoikisme sebenarnya berlangsung sejak lama. Ketertarikan ini berasal dari salah satu buku yang banyak dibaca dan dibahas orang pada beberapa tahun yang lalu. Namun di sisi lain, daya tarik filsafat bagi saya adalah seperti magnet yang unik. Unik karena membuatku bertanya “Mengapa ada yang mau mengobarkan waktunya untuk membahas cara berpikir orang lain?”

Aku mungkin mengerti mengapa tidak banyak orang yang mau repot-repot terjun ke dalam ilmu ini. Aku yakin, jika kamu tertarik terhadap filsafat dan kita membicarakannya di depan umum, akan ada setidaknya satu orang yang berkata di dalam lubuk hatinya: jangan sok-sokan filosofis deh. Padahal, filsafat adalah ilmu yang kita terapkan setiap hari.

Seperti layaknya politik, rasanya kita sering menemukan banyak orang yang dengan bangga mengatakan untuk “malas berpolitik”. Namun, salah satu definisi dari politik sendiri adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Mau kamu melakukan tawar-menawar dengan abang-abang jualan di pasar, sampai minta uang bulanan ke mama-papa, tanpa sadar yang kita lakukan adalah berpolitik.

Kita tidak usah jauh-jauh bertanya kepada Doktor Filsafat atau menonton video bapak Rocky Gerung untuk memahami sejauh itu tentang apa definisi dari filsafat. Mari kita lihat bagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata yang sederhana ini dan melihat bahwa bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang akal budi dan pikiran. Suatu ilmu yang memiliki anggapan, gagasan, dan pandangannya tersendiri.

Filsafat

  1. n pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya
  2. n teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan
  3. n ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi
  4. n falsafah

Falsafah

  1. n anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling dasar yang dimiliki oleh orang atau masyarakat; pandangan hidup

Banyak orang yang malas berfilosofis, tetapi dalam kesehariannya mereka suka menggosip tentang orang lain yang terbangun atas asumsi-asumsi yang mereka berikan. Itulah mengapa tidak sulit bagi program televisi untuk menarik perhatian para kaum kepo di dunia. Padahal kata Kepo sendiri berarti rasa ingin tahu yang berlebihan atas urusan orang lain. Lantas rasa ingin tahu itu berangkat darimana jika bukan dari anggapan, gagasan, dan cara pandang kita sendiri sesuai yang kita mau?

Stoikisme memang mengajarkan apa yang mereka sebut sebagai Dikotomi Kendali, yang berarti bahwa kendali dalam hidupmu terbagi menjadi ke dalam dua hal yang saling berlawanan (definisi dari dikotomi). Yang satu adalah apa yang bisa kamu kendalikan, sedangkan yang satu lainnya merupakan hal yang di luar kendali kamu. Oleh karena itu, para Stoik dianjurkan untuk berfokus kepada hal yang bisa kamu kendalikan saja.

Hal itu bisa saja merupai tindakan kamu, cara berpakaian kamu, sampai perasaan kamu pasca diselelingkuhi pacarmu yang sudah lama itu. Sedangkan hal yang tidak bisa dikendalikan seperti pikiran dan tindakan orang lain, serta hal-hal yang umumnya bukan hasil langsung dari tindakan kamu sendiri.

Sebagai contoh, kamu mempunyai kendali penuh untuk menulis apa saja di Medium tetapi kamu tidak mempunyai kendali atas respon apa yang akan kamu dapatkan dari tulisan kamu tersebut. Daripada kamu repot-repot memusingkan komentar negatif yang akan (dan bisa saja tidak) hadir di kolom komentarmu, kenapa tidak berfokus kepada kontenmu saja. Dengan kata lain, kenapa harus bersusah-susah menaruh perhatian yang berada di luar kendali kita?

Banyak orang salah paham bahwa Stoikisme mendorong ketidakpedulian terhadap orang lain. Padahal, Stoikisme mengajarkan ketenangan pikiran dan pengendalian diri. Marcus Aurelius, salah satu filsuf Stoik terkenal, menekankan pentingnya menjalani hidup dengan kebajikan, termasuk berbuat baik kepada orang lain. Dalam Meditations, ia menulis, “Manusia ada untuk satu sama lain. Maka, ajari mereka atau bersabarlah dengan mereka.”

Kecacatan yang Keliru

Sesungguhnya Stoikisme adalah filosofi yang mengajarkan pengendalian diri, ketenangan pikiran, dan penerimaan terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita. Salah satu permasalahan terbesar dari artikel ini adalah bagaimana seorang Stoik merespon sebuah kabar duka. Kembali lagi, Stoikisme tidak mengajarkan untuk menjadi acuh tak acuh atau nirempati terhadap kesedihan, melainkan mengajarkan cara untuk menghadapi duka dengan bijaksana dan tenang.

Para Stoik percaya bahwa emosi negatif yang berlebihan, seperti kesedihan yang mendalam, berasal dari cara kita memandang peristiwa tersebut, bukan dari peristiwa itu sendiri. Epictetus dalam Enchiridion menekankan bahwa bukan peristiwa yang mengganggu kita, tetapi penilaian kita terhadap peristiwa tersebut.

Seorang Stoik yang baik akan merespon kabar duka dengan cara berikut:

  1. Mengakui perasaan tanpa terlarut dalam emosi: Para Stoik mengajarkan bahwa wajar untuk merasakan kesedihan ketika mendengar kabar duka. I mean, siapa yang tidak? Namun, mereka juga percaya bahwa kita harus menjaga emosi tersebut dalam batas yang wajar dan tidak membiarkannya menguasai kita sepenuhnya. Sepertinya saya pernah membaca salah satu tulisan Stoikisme tentang kesedihan, yang mengatakan hal seperti: kita tidak bisa mencegah perasaan kesedihan, tetapi kita bisa menghindari terbawa berlarut-larut oleh kesedihan tersebut.
  2. Menerima kenyataan dengan bijaksana: Stoikisme mengajarkan pentingnya menerima kenyataan seperti adanya. Dalam menghadapi kematian, para Stoik mengingatkan bahwa kematian adalah sesuatu yang tak terhindarkan dan pasti. Dalam film Gladiator, kalau tidak salah terdapat kalimat seperti “Kematian tersenyum kepada kita semua; yang bisa kita lakukan hanyalah tersenyum kembali kepadanya.” Dan jika kita perhatikan, semua agamamu memiliki pandangan yang serupa tentang akhir hidup yang fana.
  3. Menunjukkan empati secara tepat: Meskipun Stoikisme sering disalahartikan sebagai filsafat yang dingin dan acuh, sebenarnya Stoikisme mengajarkan pentingnya kebajikan, termasuk empati dan kepedulian terhadap sesama. Seorang Stoik akan menunjukkan dukungan dan kepedulian kepada orang yang berduka. Mereka akan hadir dan memberikan bantuan nyata, sambil tetap menjaga ketenangan dan kebijaksanaan mereka sendiri. Sesuai dengan pandangan tentang apa yang bisa dikendalikan (yaitu respon kita) dan apa yang tidak bisa dikendalikan (yaitu perasaan orang lain).

Lantas, Kecacatan apa yang Mereka Maksud?

Kebahagiaan adalah hidup sesuai dengan alam — Marcus Aurelius.

Pandangan bahwa Stoikisme membuat orang menjadi tidak peduli dengan perasaan orang lain tentu adalah salah kaprah. Stoikisme mengajarkan pengendalian diri dan kebijaksanaan dalam menghadapi kehidupan. Dengan memahami Stoikisme secara utuh, kita dapat melihat nilai-nilai positif yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai ketenangan dan kebahagiaan.

Misalnya, jika seorang Stoik mendengar kabar kematian seorang teman dekat, dia akan mengakui rasa sedih yang muncul. Namun, dia tidak akan membiarkan kesedihan itu menguasai dirinya. Dia akan menerima kenyataan kematian tersebut dengan bijaksana, mengingat bahwa semua manusia adalah fana. Dia juga akan berusaha untuk hadir bagi keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan, memberikan dukungan emosional dan praktis.

Filsafat, termasuk Stoikisme, adalah alat untuk memahami dan menghadapi kehidupan dengan lebih baik. Bukannya mengabaikan perasaan orang lain, Stoikisme justru mengajarkan kita untuk menjadi lebih bijaksana dan rasional dalam bertindak, sehingga kita dapat menjalani hidup dengan lebih baik dan bermakna. Stoikisme bukanlah tentang acuh tak acuh terhadap perasaan orang lain, melainkan tentang menjaga ketenangan pikiran dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan.

Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Untuk masukan dan saran silahkan menghubungi saya melalui surel saya, atau sekedar menambah jaringan melalui media masa saya.

--

--

Sahashika Sudantha
Komunitas Blogger M

International Relations graduate with a focus on the issues of Middle-East conflict, especially Palestine. Currently writing on several platforms.