Arsitektur yang tak Kasat Mata

Menelisik Puisi dalam Dimensi Ruang

Dinand S
Komunitas Blogger M
4 min readOct 20, 2020

--

Wu Guanzhong : A Big Manor, 2001

Tiga puluh jeruji bertemu di tengah sebuah roda; namun lubang kosong yang tercipta di tengah lah yang menjadi guna

Tanah liat dibentuk menjadi sebuah bejana; namun ruang kosong didalamnya lah yang dipakai untuk menaruh benda

Jendela dan pintu dipasang di sebuah kamar; namun ruang kosong di dalamnya lah yang membuat kamar tersebut dapat ditinggali

Hal-hal yang berwujud dapat menguntungkan;

Namun yang tak berwujud lah yang produktif

-Laozi (550 SM)

Melalui pelajaran sejarah di sekolah saya pertama kalinya mendengar nama dari penulis puisi di atas. Hanya sekedarnya saya tahu nama tersebut yang ternyata bukan nama asli melainkan nama gelar, beserta aliaran ajarannya yang terkenal : Daoisme. Mungkin bila lebih dari itu, sekedar hafal — Karena sistem pendidikan sekolah secara tidak langsung mengharuskannya.

Pembelajaran mengenai nilai-nilai filosofis Daoisme justru baru mulai saya sentuh saat masa kuliah jurusan arsitektur, melalui buku yang berjudul Space in Architecture karya Cornelis Van de Ven, salah satu buku yang mengubah cara pandang saya terhadap arsitektur, serta menginspirasi saya dalam menulis esai ini. Berbagai macam teori ruang memenuhi hampir seluruh isi buku tersebut, sehingga tak luput juga filosofi ruang dalam ajaran Dao.

Mungkin kita tak tersadar ketika pemikir barat menjelang era modern mulai kembali memperdebatkan esensi dari arsitektur, ajaran klasik di dunia timur beribu tahun lampau sebenarnya sudah melangkah maju lebih dahulu. Melalui sebuah puisi bertemakan kekosongan ruang dalam karya literatur berjudul Dao De Jing yang termashyur, Laozi telah mempengaruhi dasar pemikiran prihal arsitektur oleh orang barat kemudian.

Pada era klasik, kita akan menangkap lebih jelas suatu kontras pemikiran barat dengan timur dalam hal metafisikia. Ketika Plato memikirkan partikel dan zat yang teraba dan terlihat, ataupun Leukippos dan Democritus yang melahirkan filsafat atomisme, Laozi justru lebih menyelami nilai-nilai dari kekosongan.

Kekosongan atau yang kita dapat namakan dengan istilah ‘ruang’, memang juga menjadi bahan diskusi yang selalu menarik perhatian bagi kaum intelektual di barat. Saya pun bisa mengambil contoh mulai dari matematikawan Yunani seperti Euclid yang mengembangkan teori geometri, Johannes Kepler dengan teori astronominya yang membahas ruang-ruang antariksa di luar sana, sampai Albert Einstein pada zaman modern yang mengkaitkan ruang dengan waktu sebagai sesuatu yang tak terpisahkan.

Namun demikian, tetap ada yang terlambat bagi bangsa eropa dalam memandang entitas ruang. Ya, bisa dikatakan mereka telat 25 abad lamanya ketimbang seorang Laozi dalam hal memaknai konsep ruang sebagai seni.

Pada bidang keilmuan arsitektur sendiri, tema ruang sebagai unsur terpenting merupakan hal yang baru. Dalam dunia klasik barat, yang dipegang teguh adalah gagasan trinitas Vitruvius, bahwa arsitektur harus memenuhi 3 syarat utama : firmitas (kekuatan), utilitas (fungsi), dan venustas (keindahan). Poin yang terakhir disebut, kala itu diaplikasikan sebatas dalam bentuk hiasan atau ornamen pada bangunan.

Bila kita berbicara seni dari sudut pandang Hegel, arsitektur sebelum abad 20 termasuk seni golongan rendah. Filsuf Jerman tersebut mengklasifikasikan hirarki seni dari yang tingkat rendah ke tingkat tinggi berdasarkan komponen materiil yang dikandung objek seni. Semakin objek seni tidak bermateri atau imateriil seperti musik dan puisi, maka ia berada di kelas atas. Sedangkan semakin objek tersebut bermateri seperti patung dan lukisan maka ia berada di kelas rendah, sehingga arsitektur era klasik termasuk juga di dalamnya dikarenakan komponen pembentuknya.

Terlepas dari setuju atau tidaknya masing-masing kita terhadap pandangan Hegel, bagaimanapun juga arsitektur menjadi berhasil naik kelas sejak era modern abad 20 ketika para pemikir dan arsitek eropa menjadikan konsep ruang sebagai esensi dari arsitektur. Alih-alih penggunaan ornamen sebagai hiasan, mereka lebih menghargai penggarapan konsep keruangan yang lebih kaya, serta penampilan minimalis yang jujur mengekspresikan ruang apa adanya. Mereka akhirnya menyadari bahwa ruang yang tidak bermateri, tidak terlihat dan tidak teraba, merupakan seni yang dapat menggugah perasaan manusia.

Arsitektur yang berpuisi

Maya Lin, in 1982

Pada 1982, seorang mahasiswi bernama Maya Lin menghebohkan dunia arsitektur. Ia berhasil memenangkan kompetisi desain bertemakan nasionalis untuk Vietnam Veterans Memorial di Washington, D.C.

Karya Lin sempat menimbulkan kontroversi luar biasa, sebab alih-alih ia membuat monumen menjulang sebagai penghormatan terhadap nilai kepahlawanan para veteran, malah ia membuat memorial yang memotong dan menenggelamkannya ke tanah, menciptakan suatu pengalaman ruang yang lebih ‘membumi’ atau ‘menunduk’ daripada ‘mendongak’.

Sisi dinding terbentuk pada tanah tersayat tersebut dilapis batu granit hitam yang tertorehkan nama-nama 58.000 prajurit Amerika Serikat yang menjadi korban. Ya, korban. Maya Lin tidak menganggap mereka sebagai pahlawan, melainkan sebagai korban politik para penguasa.

Ketika Lin pertama kali survei ke lokasi sebelum proses perancangannya, ia menulis :

“I imagined taking a knife and cutting into the earth, opening it up, an initial violence and pain that in time will be heal.”

Vietnam Veterans Memorial

Menurut saya, karya Lin sangat puitis. Arsitektur Lin berbicara bahwasanya ia tidak menyerukan patriotisme melainkan duka cita yang mendalam. Ia seakan mengajak kita berdialog dan membuka renungan, apakah perjuangan para prajurit Amerika Serikat pada perang Vietnam ketika itu merupakan sesuatu yang heroik, atau justru lebih tepat dimaknai sebagai ‘paksaan’ oleh negara?

Memang sudah sewajarnya arsitek lebih peka terhadap isu humanisme dan kebudayaan seperti ini. Kita perlu menyadari bahwa arsitektur adalah produk budaya, maka ia haruslah juga dapat berpuisi, tidak hanya melulu tentang teknis dan fisik.

Rekan-rekan arsitek, mari kita selain merancang bangun proyek, juga membangun puisi dalam ruang, sebuah arsitektur yang tak kasat mata.

Salam,
Ferdinand S

--

--

Dinand S
Komunitas Blogger M

Architect. Interested in art, culture, history & philosophy