Penanggulangan Bencana secara Sosiologis

Masih lekat diingatan bencana yang secara beruntun menyambut tahun 2021. Lantas bagaimana sosiolog melihatnya? dan apa solusi yang bisa dihasilkan untuknya?

Risyad
Komunitas Blogger M
4 min readMar 13, 2021

--

Tercatat di setiap tahun, pasti terjadi bencana yang merugikan Indonesia, misalnya saja Banjir di Jakarta pada awal tahun 2020, dan kini terjadi lagi di awal tahun 2021.

Banjir di wilayah Kemang, 20 Februari 2021, sumber : ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Banjir di wilayah Kemang, 20 Februari 2021, sumber : ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Semakin modern suatu masyarakat, maka akan semakin tinggi juga tingkat suatu bencana dan resikonya, terkhusus di negara berkembang.

Begitulah yang dikatakan oleh Rudy Pramono (2016) dalam artikel jurnal yang beliau tulis, yaitu “Perspektif Sosiologis dalam Penanggulangan Bencana”. Penelitiannya sangat penting untuk dipahami dan diterapkan oleh lembaga masyarakat, karena banyaknya masalah yang terjadi dalam penanggulangan bencana itu sendiri sehingga membutuhkan solusi yang tepat untuk menyelesaikannya.

Selama ini sering kali terjadi ketidakseragaman pemikiran antara pemerintah dan masyarakat dalam penanggulangan bencana. Hal ini pun menjadi penyebab utama dalam munculnya konflik yang berkepanjangan, atau bahkan memperburuk keadaan pasca-bencana. Ketidakseragaman ini adalah menjadi masalah yang cukup penting, dan membutuhkan pendekatan yang berbeda dari baisanya.

Pentingnya pendekatan Sosiologis dalam menanggulangi Bencana

Secara umum, pendekatan sosiologis berbeda dari pendekatan selainnya. Pendekatan yang umum digunakan dalam menyelesaikan bencana adalah psikologis, administrasi, dan pendekatan-pendekatan yang biasa digunakan dalam mitigasi bencana lainnya.

Perbedaannya adalah terletak pada isu yang diberi perhatian lebih, yaitu sosiologi berfokus kepada pola perilaku secara kolektif, persepsi masyarakat, serta pengalaman emosional yang dialami ketika sedang berada dalam kondisi yang mengancam nyawa mereka.

Mengutip pendapat dari Dyer dan McGoodwin dalam (Pramono, 2016), bahwa pemerintah sering kali abai terhadap bagian-bagian masyarakat tersebut, sehingga dalam penyikapan terhadap bencana menjadi tidak tepat, bahkan akan selalu terjadi penolakan.

Walau sebenarnya tidak hanya pemerintah, namun lembaga eksternal lain, seperti LSM, Perguruan Tinggi, dan lembaga-lembaga lain yang terlibat pun melakukan hal yang sama.

Secara sosiologis, bencana pasti dapat diketahui dari kerusakan pola sosial dan ekonomi komunitas. Kerusakan ini ditandai dengan terjadinya sesuatu yang tidak wajar dari pola normal yang biasa terjadi. Namun dalam pendefinisiannya, biasa dilakukan oleh otoritas tertentu yang sering kali tidak sepenuhnya tepat.

Padahal, dalam suatu masyarakat, terdapat Local Wisdom yang sudah diwariskan sejak zaman dahulu perihal tentang definisi bencana serta penyikapannya. Misalnya saja kita dapat melihat masyarakat Simeuleu memiliki Local Wisdom yang berhasil menyelamatkan mereka dari Tsunami 2004 silam.

Salah satu tradisi masyarakat simeleu, yaitu nandong, sumber : Rifkianto/detikcom

Namun, sekali lagi, Pemerintah dan lembaga eksternal lainnya, seolah sedang bersaing dan berkompetisi dengan local wisdom yang ada. Seolah hal-hal yang bersifat tradisional akan selalu menghambat dan cenderung diabaikan dalam mitigasi. Local wisdom dianggap lebih baik digantikan dengan ilmu teknologi modern.

Sedangkan, jika hal ini dilakukan, artinya masyarakat dipaksa untuk patuh dan tunduk terhadap instruksi lembaga eksternal, yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan, penolakan, dan mitigasi bencana pun tidak berjalan dengan semestinya.

Mitigasi Bencana secara Sosiologis dapat menjadi Alternatif

Integrasi antara local wisdom dan teknologi modern perlu dilakukan. Bukan dalam bentuk persaingan yang menentukan pihak yang win and lose, tapi integrasi yang saling mendukung dan mengefektifkan penanggulanan bencana.

Dalam Mitigasi Bencana, Pramono dalam penelitianya membagi ke dalam 4 tahap. Pertama, tahap respon, yaitu proses dinamika sosial yang terjadi saat terjadinya bencana. Kedua, tahap pemulihan, yaitu dampak secara jangka panjang pasca-bencana, seperti terjadinya traumatis, kerusakan ekonomi, bahkan konflik yang terjadi.

Selanjutnya ketiga, tahap kesiagaan, yaitu proses yang seharusnya dilakukan, yaitu berusaha mengintegrasikan ilmu masyarakat lokal dan ilmu modern dalam memutuskan penyelesaian terhadap bencana di kemudian hari.

Terakhir mitigasi bencana, yaitu proses menilai apakah masyarakat setempat sudah dapat mengatasi bencana atau tidak. Dalam mitigasi bencana juga diperlukan model kepemimpinan yang dapat melakukan pengendalian sosial yang tepat dalam bencana, tidak bersifat koersif yang dapat mengundang penolakan.

Maka dari itu, dibutuhkan seseorang atau kelompok, yang mampu menjadi pemimpin yang bersifat vertikal maupun horizontal. Berarti ia bersifat sejajar dengan masyarakat, namun disisi lain ia mampu mengendalikan masyarakat. Hal ini penting, sebab masyarakat tidak akan merasa ditekan, dan menjadi lebih bebas dalam memutuskan solusi.

Selain itu, dalam pendekatan sosiologis, pengelolaan bencana perlu menerima dan mendengarkan masukan dari seluruh elemen masyarakat, agar masyarakat juga merasa bertanggung jawab dan memiliki ikatan kelompok yang penting untuk dibangun.

Kemudian juga melibatkan lembaga penanggulangan bencana lokal, baik dalam membumikan metode pengelolaan bencana yang sudah disepakati, maupun dalam memutuskan tindakan secara cepat dan tepat sesuai kondisi masyarakat lokal.

Terakhir rerus menerus mengembangkan mitigasi bencana secara fleksibel, sesuai dengan perkembangan zaman dan karakter masyarakat lokal.

Sumber:

Pramono, Rudy (2016). Perspektif Sosiologis dalam Penanggulangan Bencana. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18, №01, 441–464. DOI : 10.14203/jmb.v18i1.342

--

--