Belajar dari Multatuli: Menemukan Kebenaran melalui Akal Sehat

“Kebenaran adalah anak waktu, bukan anak otoritas.”

Indah Raudha J
Komunitas Blogger M
3 min readJul 1, 2024

--

“Nak, jika mereka memberitahumu bahwa aku adalah bajingan yang tidak memiliki keberanian melakukan keadilan…, bahwa banyak ibu yang meninggal karena kesalahanku…, ketika mereka berkata bahwa ayah melalaikan tugas yang telah mencuri berkah dalam kepalamu…, oh Max, Max, beritahu mereka betapa menderitanya aku!” — Multatuli

Pada suatu pagi yang biasa, setelah menyelesaikan sesi yoga, saya membuat jus pisang strawberry favorit saya. Sambil itu, saya menyempatkan waktu untuk mencari buku di rak-rak buku adik saya. Saya ingin mencari sesuatu di luar rutinitas daily meditation yang biasa saya baca. Adik saya, yang sedang menempuh pendidikan di jurusan ilmu politik, memiliki koleksi buku yang sangat relevan dengan minatnya. Setelah mencari cukup lama, saya menemukan sebuah novel klasik yang menarik berjudul “Max Havelaar” karya Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama samaran “Multatuli”.

Nama Multatuli, yang berarti “Aku telah banyak menderita” seorang penulis dan pejabat kolonial Belanda yang dikenal karena keberaniannya mengungkap ketidakadilan.

(Drama yang tidak dipublikasikan)

Petugas Pengadilan : Tuanku, ini adalah orang yang membunuh Babbie.

Hakim : Orang itu harus digantung. Bagaimana dia melakukannya?

Petugas Pengadilan : Dia memutilasinya menjadi potongan kecil lalu mengawetkannya.

Hakim : Itu merupakan kesalahan yang paling besar, dia harus digantung.

Lothario : Tuanku, saya tidak membunuh Babbie! Saya bahkan memberinya makan dan merawatnya… Saya bisa menghadirkan saksi yang akan menjelaskan bahwa saya adalah orang yang baik, bukan pembunuh.

Hakim : Kau harus digantung! Kau memperburuk kejahatanmu dengan kesombongan. Adalah tidak pantas bagi seseorang yang dituduh bersalah, menganggap dirinya sebagai orang yang baik.

Lothario : Tapi, tuanku, saya memiliki saksi-saksi untuk membuktikannya. Dan karena saya dituduh membunuh…

Hakim : Kau harus digantung! Kau telah memutilasi Babbie, mengawetkannya, dan kau sangat percaya diri… Tiga kesalahan besar. Siapa Anda, hai wanita?

Wanita : Saya Babbie…

Lothario : Terima kasih Tuhan! Tuanku, Anda dapat melihat bahwa saya tidak membunuhnya!

Hakim : Hm… ya… baiklah! Tapi bagaimana dengan pengawetan?

Babbie : Tidak, tuanku, dia tidak mengawetkan saya. Sebaliknya, dia sangat baik terhadap saya. Dia adalah pria yang mulia!

Lothario : Anda dengar, tuanku, dia berkata bahwa saya adalah orang yang baik.

Hakim : Hm… jadi yang berlaku adalah kesalahan yang ketiga. Petugas, bawa orang ini, dia harus digantung. Dia bersalah atas sikapnya yang sombong. Catat, kutip dalam mukadimah pertimbangan tentang Kepala Keluarga Lessing…

Dari contoh drama sederhana ini, dapat disimpulkan bahwa drama menggambarkan ironi dan kebingungan dalam sistem hukum. Lothario dituduh membunuh Babbie dengan tuduhan mengerikan bahwa ia memutilasi dan mengawetkan tubuhnya. Meskipun Lothario bersikeras bahwa ia tidak bersalah dan bahkan memiliki saksi yang membuktikan kebaikannya, hakim tetap bersikeras untuk menghukumnya atas dasar kesombongan dan ketidakmauan untuk mengakui kesalahannya. Bahkan ketika Babbie muncul sebagai saksi hidup yang memberitahu hakim bahwa Lothario sebenarnya adalah pria baik yang merawatnya dengan baik, hakim tetap mempertahankan keputusannya untuk menggantung Lothario.

Ini menunjukkan kegagalan sistem hukum dalam memberikan keadilan yang adil dan memperburuk tragedi yang telah terjadi. Keputusan hukum yang terburu-buru dan tidak adil, bahkan setelah kebenaran telah terungkap dan identitas yang salah telah diketahui, bersama dengan sikap sombong hakim, mengungkapkan kegagalan sistem hukum dalam menyediakan keadilan yang sejati.

Dalam dunia yang dipenuhi dengan berbagai informasi dan pendapat, kemampuan untuk berpikir kritis semakin vital. Multatuli menggunakan akal sehat dan logika untuk menyoroti ketidakadilan dalam tulisannya. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis berarti tidak hanya menerima informasi secara pasif, melainkan aktif mempertanyakan dan menganalisisnya. Proses ini melibatkan evaluasi terhadap bukti yang ada, analisis terhadap argumen yang disampaikan, serta mempertimbangkan berbagai sudut pandang yang berbeda.

Lebih dari sekadar menerima informasi tanpa kritis, kemampuan berpikir kritis juga mencakup tantangan terhadap status quo dan pencarian akan kebenaran yang mendasarinya. Multatuli tidak hanya menulis tentang ketidakadilan, tetapi juga berani mengungkapkannya kepada dunia. Kita perlu belajar untuk tidak hanya memahami kebenaran, tetapi juga berani berbicara dan bertindak berdasarkan kebenaran tersebut, meskipun mungkin menghadapi risiko atau penolakan.

Penggunaan akal sehat dan kritik terhadap ketidakadilan sosial dan politik, seperti yang diusulkan oleh Multatuli dalam karyanya, tidak hanya relevan namun juga mendesak dalam konteks Indonesia saat ini. Dengan mengambil inspirasi dari pendekatan Multatuli yang rasional dan berbasis bukti, masyarakat Indonesia dapat lebih aktif dalam mengungkap dan mengatasi korupsi, mengurangi ketimpangan sosial, memperjuangkan hak asasi manusia, serta membangun kesadaran politik dan pendidikan yang lebih baik untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan ketidakadilan adalah tugas yang abadi dan bahwa kebenaran, meskipun sering kali pahit, adalah fondasi dari masyarakat yang adil dan beradab.

Sampai jumpa!

--

--

Indah Raudha J
Komunitas Blogger M

Hulla! Exploring the depths of great books and capturing their essence.