Belajar Tentang Hati, Dari Hati

Karunia Safitri
Komunitas Blogger M
6 min readSep 17, 2024
Sumber gambar: rri.co.id

Rentetan notifikasi itu terus berdenting di ponsel saya, ketika saya sedang menangis tersedu-sedu minggu lalu. Semuanya berasal dari sahabat dan teman-teman saya. Ada yang menanyakan kondisi saya, memberi saya afirmasi positif, mengirimi postingan dari akun-akun terpercaya, meminta saya melakukan ini itu, dan memotivasi agar saya tidak lama-lama bersedih.

Pada kondisi normal, kita mungkin akan menyepakati bahwa wajar bagi seseorang untuk memberikan respons demikian kepada orang yang sedang sedih. Akan tetapi, pada perspektif orang yang sedang berduka ternyata respons tersebut tidak sepenuhnya tepat.

Bukan berarti berbagai respons sebagaimana yang dilakukan teman-teman saya tersebut salah, melainkan bisa dilakukan dengan cara yang lebih tepat dengan menyesuaikan kondisi psikologis seseorang.

Nah, selama masa perkuliahan sebagai mahasiswa komunikasi, saya mendapat setidaknya 5 mata kuliah terkait psikologi, salah satunya psikologi komunikasi.

Pada mata kuliah tersebut saya belajar bagaimana memberikan respons komunikasi yang tepat sesuai dengan psikologis komunikasi orang. Setidaknya ada beberapa besaran emosi manusia, dan yang paling sering kita hadapi adalah marah, sedih, kecewa, dan bahagia.

Pada dasarnya, manusia butuh dan menyukai validasi, selama kadarnya cukup. Apabila kurang, manusia akan merasakan dinamika dalam psikologisnya.

Contoh, ketika manusia kurang air maka akan merasa haus. Sedangkan ketika berlebih kadar airnya maka manusia juga tidak bisa memiliki kondisi tubuh yang seimbang. Perasaan dan validasi bagi manusia juga sama. Hal ini selaras dengan kebutuhan dasar manusia menurut Maslow adalah kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta kasih, aktualisasi, dan harga diri.

Maka dalam proses merespons kondisi seseorang agar bisa menjadi bentuk komunikasi yang sesuai kondisi psikologisnya, kita bisa bersikap berdasar rumus VES. Validasi, empati, solusi. Validasi, akui perasaan mereka dengan sewajarnya. Akan lebih baik lagi bila sesuai dengan gaya bahasa, budaya komunikasi, dan karakter yang melekat dalam individu tersebut.

Empati, berarti kita turut serta dalam emosi yang dirasakannya dan bersikap sesuai dengan kebutuhannya. Solusi, merupakan tindakan yang dibutuhkan dan dilaksanakan dalam proses atau sesudah proses komunikasi tersebut terjadi.

Sebagai contoh, ketika teman kita sedang sedih atau bahkan berduka, maka kita bisa menyikapi kurang lebih demikian:

“Nggak ada yang mudah dengan kehilangan, apalagi kehilangan orang yang kita sayangi, di momen-momen penting di hidup kita seperti saat ini” (validasi).

“Aku mungkin belum merasakan kepergian seorang ibu sebagaimana yang kamu alami, dan belum sepenuhnya bisa merasakan yang kamu rasakan, tapi aku bisa merasakan ketika orang yang aku sayangi pergi, pasti rasanya sakit dan tidak nyaman” (empati).

Kalau ada hal-hal yang kamu butuhkan dan aku berkapasitas untuk membantu, kabari aku ya. Jangan sungkan, kamu tidak sendiri terutama dalam melewati masa berduka ini” (solusi).

Terdengar adem, ya?

Ketika kondisi diri sedang penuh dengan emosi, ada kalanya kita belum butuh solusi. Saya katakan belum, bukan berarti tidak butuh. Emosi yang penuh diibaratkan dengan gelas yang penuh namun terus diisi air.

Ia akan meluber dan berdampak pada lingkungan sekitarnya bukan? Perasaan manusia juga sama. Aristoteles sendiri mengatakan bahwa manusia perlu untuk merasakan dan meluapkan berbagai emosi, salah satunya marah.

“Siapa pun bisa marah. Marah itu mudah, tetapi marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal yang mudah.”

Pada kondisi yang menghasilkan emosi kuat seperti marah, sedih, atau bahkan berduka, amigdala (otak manusia pada bagian yang memproses emosi) akan aktif. Bagian otak ini juga mendapat informasi lebih dulu, dibandingkan dengan bagian otak untuk berpikir rasional.

Hal inilah yang memungkinkan manusia untuk bersikap emosional saat menghadapi stimulus luar biasa. Daniel Goleman menggambarkan bahwa pada saat tertentu, kinerja otak yang demikian mampu menyelamatkan manusia, namun bisa jadi justru mencelakakan manusia pada kesempatan lain.

Maka dari itu, penting bagi kita untuk menjadi seseorang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan emosi.

Pada saat emosi sedang bergejolak inilah, selain seorang perlu untuk menyampaikannya dengan cara yang baik, sang pemberi respons pun perlu menyikapi dengan tepat.

Apabila tidak berkapasitas, kita bisa meminta waktu sejenak atau menyatakan bahwa sedang tidak berkapasitas untuk merespons. Ini merupakan bentuk memberikan perhatian, namun tidak mengesampingkan fitrah kita dan tidak pula melanggar batasan kita.

Kembali ke cerita sedih saya di awal tulisan ini. Pada saat itu, saya akhirnya menyadari bahwa saya butuh untuk menyalurkan cerita dan uneg-uneg secara tepat. Selain karena sungkan dengan orang lain yang pastinya punya kehidupan dan kesibukannya namun bersedia meluangkan waktunya untuk saya, saya juga memiliki dinamika lain.

Seperti menjaga hubungan dengan mereka tetap baik yang juga berimplikasi pada mereka tidak turut merasakan dinamika berlebih yang saya rasakan, dan suatu bentuk mekanisme pertahanan bahwa saya tidak siap untuk dihakimi secara berlebih.

Memang, tidak semua manusia bisa memberikan respons sebagaimana yang kita harapkan. Toh, sebetulnya kita juga tidak perlu semua manusia merespons seperti itu. Beberapa respons positif, waktu sejenak untuk merasakan dan menyikapi emosi, ada kalanya itu sudah cukup bagi manusia dewasa kini.

Dan benar saja, salah satu respons yang cukup menyesakkan saya dapati.

“Kan, aku sudah bilang dari dulu”

Kita memang tidak bisa mengendalikan hal-hal di luar kita, termasuk respons orang lain terhadap kita. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca agar kita semua memiliki kesadaran dan meningkatkan kepekaan terhadap orang-orang di sekitar kita, di saat dunia semakin tidak baik-baik saja.

Bagi jiwa yang tengah bersedih, penghakiman adalah tambahan hukuman. Sebab mereka sudah lelah dan berat karena penghakiman yang berasal dari diri mereka sendiri. “Andai aku begini, andai aku begitu, andai dia hidup lebih lama” dan andai-andai selainnya.

Ungkapan seperti “sabar ya, dia sudah tidak sakit lagi” mungkin berniat baik, tapi tanpa kita sadari sebenarnya kalimat itu merupakan bentuk mengakui perasaan keluarga yang pergi, namun mengesampingkan perasaan keluarga yang tengah ditinggalkan.

Jiwa yang kembali ke pangkuan ilahi sudah paripurna dengan urusan dunia, namun yang ditinggalkan bagaimana? Kepergian keluarga merupakan luka yang begitu dalam bagi orang terdekat yang ditinggalkan, dan ini sering kali kita abaikan.

Padahal, manusia perlu waktu untuk bisa sembuh dari luka fisik, seperti luka bakar maupun luka akibat kecelakaan; sekalipun tingkatannya kecil seperti terkena jarum.

Lantas, mengapa manusia yang tengah mengalami sakit hati harus diburu-buru untuk sabar, move on, bangkit, dan sejenisnya? Tanpa disuruh sabar, mereka nantinya akan sabar, sesuai dengan kemampuan dan tingkatannya masing-masing.

Jika Tuhan memberikan masalah dan perasaan sesuai dengan kemampuan hambanya, dan memberikan kesempatan bagi hambanya untuk bisa memperbaiki diri dan keadaan setelah menghadapi masalah, pantaskah kita untuk meminta mereka untuk bisa segera kuat?

Tiap manusia unik, karena memiliki kepribadiannya masing-masing. Perbedaan kepribadian berdampak pada perbedaan respons terhadap stimulus.

Dosen psikologi saya mengatakan bahwa jumlah kepribadian di dunia, sama dengan jumlah penduduk dunia. Meskipun ada tipologi kepribadian yang memudahkan dalam menganalisis kepribadian seseorang seperti MBTI, Big Five Theory, namun itu semua tetap tidak mengubah fakta bahwa manusia memiliki keautentikannya masing-masing. Manfaat analisis kepribadian, akan berpengaruh terhadap analisis bagaimana seseorang menghadapi stimulus.

Apakah dia membutuhkan kelekatan dengan orang sekitar ketika berdua, apakah dia ingin waktu sendiri terlebih dulu, atau justru ingin mendapatkan kontak fisik erat.

Bagi saya, didengar, divalidasi, dan memerlukan waktu sejenak sudah cukup. Tapi ada beberapa orang yang saya kenal lebih memilih untuk menutup diri sejenak ketika menghadapi stimulus tertentu, dan bercerita kemudian. Lagi-lagi, di saat seperti inilah perlunya kita meningkatkan kepekaan.

Jiwa manusia diibaratkan garpu dan sendok. Ia memiliki kemampuan berpikir dan merasa. Pada saat menghadapi dan memberikan respons yang melibatkan penyelesaian atau penyikapan rasional, kita menggunakan kemampuan berpikir kita. Namun pada saat menghadapi dan memberikan respons terkait perasaan, tentulah kita memerlukan hati kita. Perkataan dan penyikapan dari hati, akan sampai pula kepada hati.

***

Hari ini (10 September -red) adalah hari pencegahan bunuh diri sedunia. Tapi saya tidak ingin membahas hal tersebut secara mendalam karena bukan keahlian saya.

Namun saya pernah ada pada fase berpikir bahwa “sepertinya, dunia akan baik-baik saja kalau aku tidak ada”. Sebagian besar orang yang mengerti dinamika saya hingga saya memunculkan pernyataan itu berkata “sabarlah, kamu nggak perlu bicara kepada yang berwenang. Nanti akan ada balasannya sendiri. Aku tahu itu berat untuk diam, tapi sepertinya itu lebih baik”.

Dan ada satu pernyataan yang menjadi salah satu pertimbangan saya untuk meminta pertolongan kepada ahlinya.

“Rasanya berat, aku juga lelah karenanya. Berkatalah pada yang berwenang, terlepas apa pun yang terjadi, berbicara dan meminta pertolongan bukanlah suatu kesalahan”

Respons itulah yang turut membantu saya pada akhirnya. Kita tidak pernah tahu pasti dampak apa yang bisa terjadi akibat respons yang kita berikan. Namun respons sederhana yang baik dan tepat, ada kalanya adalah penyelamat.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk menginspirasi atau mengajak tindakan bunuh diri. Apabila Anda merasa tertekan, berat, dan ketidaknyamanan yang mengganggu, sampaikan pada orang terdekat atau meminta bantuan professional.

--

--

Karunia Safitri
Komunitas Blogger M

Seseorang yang suka bercerita, dan mengambil pembelajaran dari berbagai cerita || Memiliki minat dan perhatian khusus pada psikologi dan politik