Benarkah Cinta yang Tulus Itu Ada?

Katanya, yang tulus yang hanya memberi dan tak harap kembali.

Rizky Phalosa
Komunitas Blogger M
6 min readJul 10, 2024

--

Bunga Aster putih dan kata-kata hangat yang baru-baru ini saya terima

Cinta sejati dan kasih sayang yang tulus nyatanya tidak ada, dan tidak akan pernah ada sampai kapan pun. Semua bentuk cinta tidak lebih dari hanya transaksi semata. Cinta sering kali dibangun atas dasar saling membutuhkan dan saling menguntungkan.

Semua orang ada maunya, semua cinta ada harapnya.

Bahkan cinta Ayah dan Ibu padaku,
bahkan cinta mereka yang konon katanya sahabat,
bahkan cinta pada diriku sendiri.

Setidaknya itu pikir yang pernah ada dalam benakku beberapa waktu lalu.

Belum genap sebulan, di sore menjelang jam pulang kerja, bersama ketiga rekan kerja seniorku, kami berbincang santai sembari menyelesaikan beberapa tugas.

Dalam bincang itu, salah satu kakak seniorku menanyakanku pertanyaan

Katanya, “Ky, apa ayat dari Al-Qur’an yang paling kamu suka dan kenapa?”

“Hmm ….” Aku berpikir sejenak, “Ah … ada, Kak Dessy!”

Aku membuka laman Al Qur’an daring, menggulir daftar surah dan ayat, dan memintanya menunggu, “Sebentar, coba kucari dulu, ya.”

“Ah, ketemu.” Aku menyebutkan dan menjelaskan singkat salah satu firman Tuhan yang hari-hari itu baru saja mengena untukku.

“Nah, kalau Kakak apa?” tanyaku balik.

“Coba buka Surah Al Baqarah di ayat ke-286.”

Aku tidak begitu ingat apa yang kami bincangkan kemudian, tetapi dalam bincang itu ia memperlihatkan catatannya perihal firman Tuhan kesukaannya. Terima kasih untuk Kak Dessy karena sudah berkenan berbagi catatan ini.

Tiba-tiba, aku teringat masih kecil saat aku selalu mendengar bahwa cinta yang sebenar-benarnya adalah cinta yang memberi kasih sayang, tulus tanpa berharap kembali.

Kata guruku, cinta yang tulus itu seperti cinta dari ibu kepadaku. Tidak hanya guru, kata orang-orang pun demikian. Namun, sekiranya ada yg bilang tidak, itulah yang kupahami dari lagu “Kasih Ibu” yang sering aku dan teman-teman TK-ku nyanyikan dahulu.

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

“Hmm … benar juga,” kataku mengiyakan makna cinta yang tulus dari sana.

Meski aku tidak jarang ketahuan hanya pura-pura tidur siang, Ibu tidak pernah lupa menyediakanku susu hangat di pagi hari.

Meski aku sering ceroboh memecahkan piring dan gelas, ibu selalu ingat membelikan nuget dan karage kesukaanku ketika ia pergi berbelanja.

Meski ibu perlu memarahiku untuk belajar mengahadapi ujian sekolah, ibu tidak lupa selalu memberiku bekal makanan dan kecupan hangat di dahi sebelum pergi.

Meski hingga kini masih banyak harapan ibu yang belum kupenuhi, ia tidak pernah berhenti menyayangiku, bahkan sejak lebih dari dua dekade hingga saat ini.

Kamu pun demikian, kan?

Ketika beranjak dewasa, aku mulai kembali mempertanyakan apa sebenarnya makna cinta. Sebab, setelah aku kembali memikirkannya pada bincang di kantor itu, sepertinya cinta sejati hanyalah ilusi saja. Ia tak pernah benar-benar ada.

Dalam konteks ini, cinta yang aku maksudkan adalah dalam bentuk kasih (affection), sebab kasih dapat mencakup berbagai bentuk cinta dan sayang, baik itu antara, keluarga (parental/filial), pasangan (romantic), teman (platonic), dan sesama makhluk hidup (universal).

Jika menilik definisi KBBI, kata ‘sejati’ dapat berarti murni dan tanpa campuran, yang berarti cinta sejati adalah cinta yang tidak bercampur dengan hal-hal lain di baliknya—termasuk ekspektasi dan harapan yang membersamainya, persis seperti gambaran kasih ibu yang ada pada lirik lagu tadi. Penulis lagunya bilang,

“Hanya memberi tak harap kembali.”

Maka, cinta sejati dapat didefinisikan sebagai cinta yang memberikan kasih tanpa berharap timbal balik. Namun, definisi ini tentu bermasalah sebab, jika kita ulik lebih jauh, setiap orang yang mencintai pasti memiliki ekspektasi terhadap siapa yang dicintainya.

Oleh sebab itu, jenis cinta apa pun tentu tidak dapat dikatakan sebagai cinta yang tulus karena, sekali lagi, meski kedua atau salah satu dari keduanya mencintai dan mengasihi, sadar atau tidak ia memiliki harapan, baik itu harap supaya mereka melakukan, meninggalkan, mendapatkan, atau melepaskan sesuatu untuknya sendiri atau siapa yang ia cintai.

Contoh harap yang sekiranya secara tidak sadar hadir dalam rasa cinta kita adalah ketika kita memberi sapa pada teman, tetapi ia tidak membalasnya. Apakah kita akan tetap terus menyapanya di setiap temu selanjutnya?

Jika kita memberi bantuan uang kepada seorang tunawisma di jalanan dan ia justru menggunakannya untuk berjudi, apakah kita akan tetap dengan senang hati memberinya di lain waktu?

Kedua contoh tersebut mengisyaratkan bahwa secara tidak sadar kita selalu memiliki harapan supaya mereka yang kita kasihi itu berperilaku baik terhadap kita atau dirinya sendiri.

Dalam diskusi dengan rekan kerjaku itu, definisi cinta sejati yang aku sebutkan memang belum kami temukan kontranya. Memang begitu adanya. Setiap kita tidak akan pernah lepas dari yang namanya harap dan ingin.

Selepas diskusi itu, selama beberapa hari aku terus berefleksi.

Ada yang terasa janggal sebab jika menurut definisi itu, cinta ibu pun tidak dapat dikatakan cinta yang tulus. Padahal, cinta dan kasih ibu sampai kapanpun adalah cinta yang paling tulus.

Makin menggunakan definisi, makin aneh terasa bagiku. Sebab, meski Tuhan memberi segala berbagai macam nikmat kasih sayang pada hamba-Nya, ia pun memerintahkan hamba-Nya untuk mengabdikan hidup mereka pada-Nya, dan berbuat baik kepada sesama ciptaan-Nya. Tuhan memiliki keinginan untuk kita.

Jadi, apakah kasih Tuhan kepada hamba-Nya tidak tulus? Apakah kasih Ibu kepada anaknya tidak tulus?

Pertanyaan itu terus menghantuiku.

Setelah aku kembali berefleksi selama beberapa hari, rasanya hal itu mustahil.

Tuhanlah yang menciptakan rasa kasih sayang pada manusia, maka justru Dia-lah yang seharusnya dapat paling tulus memberi kasih dan cinta.

Pikir saja. Meski kita masih sering melupakannya, Tuhan tidak pernah melupakan kita, baik di saat senang maupun sedih, suka atau duka.

Meski kita tidak jarang masih menyia-nyiakan waktu, hingga saat ini Tuhan masih memberikan kesempatan ke pada kita untuk kembali pada-Nya.

Cinta Tuhan bersifat sempurna, abadi, dan tanpa syarat. Tuhan senantiasa mengasihi kita tanpa henti meski kita tidak selalu sadar atau menghargai cinta-Nya. Cinta Tuhan tidak pernah berubah oleh waktu dan situasi.

Aku jadi ingat pada salah satu pesan dari Tuhan yang dititipkan pada Nabi kita. Teman-teman muslim mungkin pernah mendengarnya.

“Wahai anak Adam, sepanjang engkau memohon dan berharap kepadaku, maka akan aku ampuni apa yang telah kamu lakukan dan aku tidak peduli. Wahai anak Adam, jika dosa-dosamu setinggi awan di langit, kemudian engkau meminta ampunan kepadaku, maka akan aku ampuni. Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau datang membawa kesalahan sebesar dunia, kemudian engkau datang tanpa menyekutukanku dengan sesuatu apa pun, pasti aku akan datang kepadamu dengan ampunan sebesar itu pula.”

Dari pesan Tuhan itu, aku dapat menyimpulkan bahwasanya cinta sejati adalah nyata keberadaannya dan cinta itu tidak akan pernah ada tanpa dibersamai oleh harapan kebaikan pada siapa yang dicintainya meski harapan itu nantinya terwujud atau bahkan sebaliknya.

Dari definisi itu, cinta sejati hanya dapat dimiliki oleh Tuhan. Tetapi, dari definisi itu pula, meski tidak sempurna tetap benar, cinta ibu pun cinta sejati. Sebab, kasih sayang ibu akan selalu hadir sampai kapan pun meski kita belum mampu untuk memenuhi harap dan inginnya.

Harapannya, kita memahami bahwa cinta yang benar-benar tulus adalah cinta yang mengusahakan segala apa yang baik dan terbaik untuk siapa yang kita cintai, meski harapan yang kita miliki untuknya tidak selalu tercapai, meski ingin kita tidak selamanya terwujud.

Cinta sejati tidak pernah egois, cinta yang tulus tidak perlu harus berbalas. Sebagaimana cinta ibu pada anaknya, sebagaimana cinta Tuhan pada hambanya.

Terima kasih Ka Dessy, Ka Gita, Ka Raisa, Ka Delia, dan Ko Yusti.

Hai, aku Rizky, persona di balik tulisan ini. Kalau kamu menyukai tulisan ini, jangan lupa untuk tinggalkan komentar, ketuk tombol claps, dan bagikan kepada orang terdekatmu!

Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan ini!

Sila kunjungi tulisanku lainnya:

--

--

Rizky Phalosa
Komunitas Blogger M

Every month, I share my stories and insights. Mostly about human nature, though I do like to sprinkle in some thoughts on language science. Let's connect!