Ber(biasa)lah, Me(nerima)lah

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
Komunitas Blogger M
6 min read3 days ago
Photo by Joanna Kosinska on Unsplash

Hari ini, saya lumayan sedih. Tapi tidak berlama-lama dalam bersedih. Karena saya mungkin sudah belajar "cara-nya".

Awal

Tepat tanggal 17 Juli 2024, sore hari, saya sedang duduk bersila di atas trotoar. Pada salah satu perempatan jalan yang ada di Surabaya. Sendiri, menghadap gedung tinggi yang masih dalam proses pembangunan, sembari mendengarkan saut-sautan klakson mobil yang begitu ramai. Juga menikmati nasi kotak dan beberapa camilan hasil dari event ilmiah nasional di salah satu kampus kawasan Jawa Timur. Begitu tenang, mengamati lalu lalang sekitar, merasakan keadaan secara seksama. Hingga tiba-tiba saya berpikir, "Mengapa kita selalu, dan harus menerima kenyataan?".

Jadi awalnya, satu bulan lalu, saya mendapati informasi dari kawan satu kelas di perkuliahan mengenai adanya event ilmiah nasional. Salah satu kategorinya karya tulis ilmiah dengan topik "Sustainable Agriculture". Ia lalu menawari untuk membuat kelompok, dan segera menjadwalkan proses pengerjaan, menentukan dosen pembimbing, dan lain-lain. Saya bingung untuk memutuskan, apakah mencoba semaksimal mungkin agar dapat pengalaman lagi, atau memilih takut tidak ikut event lalu menyesal.

Akhirnya saya putuskan untuk ikut event tersebut, meskipun dengan waktu pengerjaan yang sangat singkat. Berjalan menentukan isi, dan premis-premis hasil keresahan. Menjadikan satu eksplorasi kita, untuk memudahkan dalam mengembangkannya ke dalam karya tulis. Pertimbangan saya, dalam waktu satu bulan adalah hal yang beresiko jika saya dan kelompok harus keluar-masuk laboratorium untuk meracik inovasi baru. Sangat tidak memungkinkan.

Saya berpikir ulang, bagaimana memaksimalkan garapan kita, dengan waktu yang singkat namun dengan pembahasan atau keluaran karya ilmiah yang sekiranya "oke" tanpa harus ke laboratorium. Setelahnya, saya menemukan untuk membahas sisi yang menitikberatkan pada sosial-ekonomi. Bermula dari premis mengenai isu-isu aktual, kerawanan pangan dunia, keseimbangan ekonomi, dan restorasi lingkungan. Sebenarnya itu sudah lama ada di pikiran, hanya perlu digali lebih dalam lagi, menganalisa bagian mana yang bisa kita temukan titik masalah-solusi.

Sisi Lain

Memperhatikan konflik antar negara, permainan politik-monopoli oleh negara "besar" ke negara-negara dibawahnya. Apalagi ditambah adanya program pemerintah yang seringkali inkonsisten. Saya memperhatikan adanya sistem yang begitu kompleks, menjebak masyarakat dalam kurungan anti-berkembang.

Merawat angka kemiskinan, menolak perubahan karena sudah nyaman dengan "tawaran-tawaran manis" dari beberapa oknum yang berasal dari luar untuk mempertahankan pasar bisnis mereka. Percaya atau tidak, tapi saya sudah mendapatkan informasi ini langsung dari beberapa mereka yang "terlibat" secara detail.

Ada banyak sebenarnya hasil analisa saya perihal semacam itu, jika berminat sharing langsung saja secara pribadi. Nah, dari latar belakang seperti itu saya menyadari jika program bawaan kami akan sulit jika hanya menggantungkan pada kebijakan-kebijakan. Sehingga saya berpikir untuk menciptakan solusi yang sederhana, memetakan pusat daur ulang sampah rumah tangga, restorasi lingkungan mikro, dan mandiri pangan dengan lingkup terkecil (mensubtitusi kekosongan asupan pangan).

Harapannya keseimbangan ekonomi akan tercipta, berkurang beberapa sudut pengeluaran, agar masyarakat tidak perlu bingung lagi untuk mengeluarkan uang "berlebih" demi kepentingan memenuhi kosongnya perut. Mereka akan lebih fokus mengalokasikan dana keluarganya untuk kepentingan pendidikan, atau bahkan fokus pada pekerjaannya.

Terlebih lagi, saya menyadari bahwa tidak perlu perubahan yang melulu besar, cukup kecil namun tersebar secara tepat. Pun juga saya kadang sedikit bingung, dengan adanya penelitian sebanyak itu di Google, mengapa hanya sedikit yang bisa di aplikasikan secara nyata.

Hanya pertanyaan bocah ingusan seperti saya. Bukan merendahkan hasil penelitian semacam itu, tapi nyatanya saat ini masyarakat hanya butuh solusi cepat guna mengisi ruang kosong ketika program jangka panjang sedang dijalankan.

Juga yang sering terjadi hanya berhenti di penelitian, dan tidak berlanjut ke pengembangan-implementasi. Semakin parah juga, ketika program-program yang ada hanya digunakan untuk keperluan "mencairkan" pendanaan, dalam perjalanannya hampir tidak ada follow-up dan pendampingan yang akuntabel. Sungguh siklus yang benar-benar beranjak permanen, template program pemerintah yang itu-itu saja, melanggengkan keterpurukan negara.

Kaitan Menerima

Singkatnya, karya tulis kita sudah terkemas sedemikian rupa, supaya menjadi perencanaan yang benar-benar holistik. Detailnya tidak saya jelaskan disini. Tapi setidaknya proyeksi yang sudah berbentuk karya ilmiah ini akan saya lanjutkan untuk keperluan pengajuan ide proposal yang berdampak nyata, jika memungkinkan, ya berusaha aja dulu.

Karena, ya balik lagi, banyak penelitian tidak menjamin akar permasalahan terjawab (tidak semua memang, beberapa). Kecenderungan pemenuhan administratif-kuantitatif didorong begitu maksimal, hingga melupakan "esensi" yang jauh lebih mendalam terhadap kualitas.

Akhirnya, tiba waktu ketika kelompok saya menunggu pengumuman hasil penjurian online dan pemberkasan. Bersyukur sekali kita mendapat posisi ke-empat, sebelum nanti nya akan diakumulasikan dengan nilai presentasi.

Beberapa minggu kemudian, saya sudah melakukan presentasi. Memaparkan dalam waktu yang singkat secara maksimal, kemudian berharap jika akan memberikan hasil yang maksimal pula. Meskipun terkadang perasaan berharap dan menerima saling berebutan mendominasi diri saya.

Yap, singkatnya, hasil sudah diumumkan. Kelompok saya mendapatkan posisi ke-empat lagi, tidak beranjak ke atas ataupun ke bawah. Saya bingung, terdiam sejenak. Sedikit menerima, lalu berubah lagi menolak.

Meyakinkan diri untuk menerima hasil, benar-benar berusaha tidak mengungkit faktor-faktor eksternal sebagai kambing hitam atas hasil posisi tersebut. Karena itu hanya akan membesarkan ego, memberi makan ego. Dan buruknya saya sering merasa si paling wah, padahal itu adalah pikiran terkonyol manusia, paling "merasa".

Disitu saya berkata pada diri sendiri, "Dirimu sudah cukup sering berada pada posisi kecewa, jadi tidak perlu berlarut-larut. Evaluasi saja dirimu, daripada menyalahkan orang lain yang mungkin saja kamu kurang teliti dalam mengerjakan hasil karya tulis itu".

Saya lalu berkemas dan lekas pergi dari tempat acara, karena saya juga belajar untuk tidak meromantisasi kekecewaan. Ya meskipun sejujurnya banyak sekali masalah yang berputar hanya karena proses berpikir kita acak kadut, tidak bisa memilah.

Saya mencoba menghibur diri dengan mengatakan bahwa keikutsertaanmu kali ini adalah hal yang patut diberi applause. Karena siapa sangka dalam waktu satu bulan, hasil karya ilmiah itu bisa berada di posisi empat bersandingan dengan hasil karya mahasiswa di kampus-kampus besar lainnya (sisi narsistik). Itu benar-benar diluar dugaan, apalagi ketika mengetahui fakta bahwa kebanyakan mahasiswa yang ikut, justru mengajukan karya tulis hasil keluaran dosen atau kakak tingkat di tahun-tahun sebelumnya dari kampus mereka (sisi mencari pembenaran).

Kemudian mereka kembangkan, dan mungkin saja, mungkin, tidak benar-benar menelitinya lebih lanjut. Percayalah, banyak hal tidak masuk akal. Tapi kembali lagi, kalimat-kalimat itu hanya membuat kita semakin bodoh, karena tidak mempercayai sepenuhnya kenyataan yang terjadi.

Akhir

Bahkan dewan juri yang memberimu posisi empat justru mendatangimu ketika event selesai, mengatakan bahwa ide itu bisa didiskusikan dengan pihak kampus dan pemerintah daerah setempat.

Saya lalu menanyakan alasan beliau mengatakan hal tersebut, ucapnya, "Banyak sekali penelitian-penelitian yang memang berinovasi dan kreatifnya luar biasa. Tapi hanya sedikit yang mempertimbangkan segala aspek secara detail seperti karyamu, bahkan menampilkan akar masalah yang selama ini ditutup-tutupi karena pihak peneliti takut keberadaannya tidak aman.

Mereka berdiri di permukaan kenyataan, tidak benar-benar menyelami masalah". Saya menyadari memang banyak manusia yang lebih menjaga eksistensi (pekerjaannya, kenyamanan hidupnya, dan semacamnya), itu wajar, tapi patut dipikirkan jika sudah ekstrem hingga membiarkan adanya "penyimpangan".

Saya melontarkan argumen, atas masalah yang saya resahkan selama ini, "Saya merasakan ada pola pikir yang berkembang ditengah masyarakat, pikiran kapitalis. Masyarakat ditekan untuk hanya berpikir pada pengembangan diri sendiri saja, dan lupa untuk memperhatikan sesama manusia disekitarnya. Tidak lain karena akhir-akhir ini banyak "kepalsuan perhatian" antar manusia, memang memahami, tapi selalu ada kepentingan dibaliknya. Benar-benar yang tulus sulit ditemukan.

Meskipun ini hanya sekedar asumsi, tapi banyak sekali orang-orang yang terjebak pada keinginan tervalidasi secara pribadi, tapi tidak berusaha berkembang bersama, menciptakan dampak yang benar-benar kolektif". Sekalipun hidup memperkaya diri memang tidak salah, tapi entahlah, dari diri saya sendiri, "orang kaya" adalah mereka yang bermanfaat.

Tidak perlu lebih jauh lagi, keresahan saya tentang hal tersebut kemungkinan akan saya bahas di artikel lainnya. Semoga saja.

Saya mencoba selalu belajar, belajar lagi, dan benar-benar merasa diri ini memang tempat yang paling inkonsisten. Atas kejadian yang menimpa, kita denial menerima kenyataan. Saya mencoba menyadari untuk segera berpikir, menghilangkan negatifnya emosional yang menggerogoti diri ini, tidak akan saya kasih keleluasaan. Karena perasaan penolakan tersebut membuat saya berhenti pada momen-momen menyedihkan, tidak merelakan saya untuk berkembang lebih jauh lagi. Koreksi dirimu dengan kesadaran, meskipun itu berulang berkali-kali.

Ditulis dengan mendadak, dan dengan campuran pikiran yang apa adanya.

– Ahmad Dzaki Akmal Yuda

--

--

Ahmad Dzaki Akmal Yuda
Komunitas Blogger M

Just sharing stories, and perspectives as outlined in writing, or you could say 'typing'. Find me on IG (@akmalyudaa).