Berkenalan Dengan Bahasa Melalui Ilmu Linguistik

Lutfhi Variant Hanif
Komunitas Blogger M
8 min readJul 10, 2021
Photo by Jr Korpa on Unsplash

Hal yang sering saya temukan saat mempelajari ilmu Linguistik, baik secara pribadi melalui buku atau saat pada di ruang kuliah, adalah tentang bagaimana kaburnya definisi sebuah bahasa.

Setiap mata kuliah Linguistik yang saya temui secara tidak langsung menawarkan penjelasan yang berbeda-beda tentang apa itu bahasa. Kaburnya definisi bahasa yang saya temukan ini sempat membuat saya berpikir kalau saya telah gagal sebagai mahasiswa Linguistik, “Bagaimana mungkin seorang mahasiswa tidak mengerti definisi dari objek atau fenomena yang dipelajarinya?” batin saya.

Untungnya, kegelisahan saya ini diamini oleh salah satu dosen di mata kuliah tingkat akhir. Beliau mengatakan bahwa penelitian kami di semester akhir nanti akan tergantung pada definisi bahasa yang kami gunakan.

Penjelasan beliau membuat saya tenang bahwa ternyata bukannya saya gagal memahami apa itu bahasa selama empat tahun masa kuliah, tetapi karena memang definisi bahasa itu cukup situasional dan kontekstual.

Dari pengalaman tersebut, saya kemudian tersadar betapa banyak hal yang masih kita ketahui tentang bahasa. Hal ini menjadi daya tarik bagi ilmu Linguistik sendiri karena ternyata hal-hal yang telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup kita masih menyimpan banyak sekali misteri dan pertanyaan.

Di tulisan saya kali ini, saya ingin berbagi sudut pandang serta mengenalkan pembaca dengan bahasa. Ya, salah satu perasaan yang hanya bisa didapatkan dari mempelajari ilmu Linguistik adalah berkenalan (lagi) dengan bahasa.

Tetapi, saya tidak ingin terlalu teknis dan teoritis, yang sering kali bisa membuat siapapun bosan. Kita akan berkenalan dengan bahasa dengan melihat pengalaman dari seseorang yang pernah hidup tanpa bahasa: Helen Keller.

Helen Keller dan Hidup Tanpa Bahasa

Helen Keller
Helen Keller (sumber: Wikipedia)

Helen Keller mungkin adalah nama yang sudah tidak asing lagi bagi beberapa pembaca. Beliau adalah salah satu orang penyandang disabilitas yang paling berpengaruh. Walaupun beliau tidak bisa melihat dan mendengar, beliau dapat menyelesaikan kuliah, menulis beberapa buku, dan menjadi seorang aktivis.

Ya, karena disabilitasnya, Helen tidak dapat membaca dan juga berpartisipasi dalam percakapan seperti orang pada umumnya. Dalam buku biografinya berjudul Story of My Life, Helen membagikan ingatannya tentang kehidupannya sebelum Ia mendapatkan edukasi dan berkenalan dengan bahasa:

“Have you ever been at sea in a dense fog, when it seemed as if a tangible white darkness shut you in, and the great ship, tense and anxious, groped her way toward the shore with plummet and sounding-line, and you waited with beating heart for something to happen? I was like that ship before my education began, only I was without compass or sounding-line, and had no way of knowing how near the harbour was. “Light! give me light!” was the wordless cry of my soul, and the light of love shone on me in that very hour.”

(“Pernahkah Anda berada di laut dalam kabut tebal, ketika tampaknya seolah-olah kegelapan putih yang pekat mengurung Anda, dan kapal besar Anda, tegang dan cemas, meraba-raba jalannya menuju pantai dengan terombang-ambing dan tali yang berbunyi, dan Anda menunggu dengan jantung berdebar sampai sesuatu terjadi? Saya seperti kapal itu sebelum pendidikan saya dimulai, hanya saja saya tidak memiliki kompas atau tali perum, dan tidak memiliki cara untuk mengetahui seberapa dekat saya dengan pelabuhan. “Cahaya! beri aku cahaya!” adalah seruan tanpa kata dari jiwaku, dan cahaya cinta menyinariku pada saat itu juga.”)

- Helen Keller dari Story of My Life

Cerita Helen Keller sangat dramatis dan ,menurut saya, menangkap dengan baik tentang bagaimana kehidupan seseorang sebelum Ia mengenal bahasa. Helen merasa tidak punya kendali terhadap hidupnya. Ia tahu bahwa kehidupannya sedang berjalan dan sedang menuju suatu hal yang tidak bisa Ia bayangkan, sebagaimana kapal di laut yang terombang-ambing beraharap menemukan sebuah pelabuhan.

Tetapi, Helen tidak tahu di mana dirinya berada dalam kehidupan. Ia tidak memiliki kompas ataupun alat untuk menghubungkan dirinya dengan realitas di sekitarnya. Kehidupan Helen terus berjalan walaupun Helen tidak tahu dirinya dimana dan apa yang sedang terjadi di sekitarnya.

Untungnya, cahaya yang diinginkan Helen dalam hidupnya pun tiba melalui perantara Anne Sullivan. Anne adalah instruktur pribadi Helen. Ia adalah sosok yang memperkenalkan Helen pada bahasa dan, secara tidak langsung, dunia.

Cerita mengatakan kalau Anne meneteskan air di tangan Helen dan menuliskan kata ‘air’ di telapak tangan Helen. Saat itulah Helen berjumpa dengan salah satu keajaiban bahasa: keterkaitan suatu fenomena dengan sebuah kata.

Perjumpaan Helen dengan bahasa tertuang dalam biografinya dengan tidak kalah dramatisnya dengan kisah hidupnya tanpa bahasa. Helen menuliskan:

The living word awakened my soul, gave it light, hope, joy, set it free!”

(“Kata-kata telah membangkitkan jiwaku, memberikannya cahaya, harapan, kegembiraan, dan membebaskannya.)

Menurut saya, cerita Helen Keller merupakan salah satu cerita terbaik untuk menjelaskan pada seseorang betapa kuatnya sebuah bahasa. Terlebih lagi, cerita Helen merupakan salah satu cerita yang juga memiliki pesan yang inspiratif.

Tetapi, ada satu hal yang kurang. Beberapa pembaca mungkin menyadari kalau cerita Helen Keller tidak menjelaskan apa itu bahasa. Kita melihat bagaimana memperoleh bahasa dapat merubah kehidupan seseorang. Tetapi, apa itu sebenarnya bahasa?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, inilah saatnya kita berkelanan dengan ilmu Lingustik.

Bagaimana Linguistik Memahami Bahasa

Linguistik, atau ilmu bahasa, memiliki beberapa sudut pandang untuk menjawab pertanyaan ‘apa itu bahasa?’. Dua dari beberapa paham yang paling terkenal adalah paham formal dan fungsional.

Paham Formalis dalam Ilmu Linguistik

Noam Chomsky, salah satu pelopor paham formal dalam Ilmu Linguistik
Noam Chomsky, salah satu pelopor paham formal dalam Ilmu Linguistik (Sumber: Wikipedia)

Paham formal dalam ilmu Linguistik menganggap bahwa bahasa dapat didefinisikan dalam sebuah rumus seperti sebuah rumus matematika. Salah satu tokoh yang terkenal, atau bahkan bisa dianggap sebagai pelopor, adalah Noam Chomsky.

Chomsky mendefinisikan bahasa sebagai kumpulan kalimat yang jumlahnya terhingga atau tak terhingga, yang masing-masing panjangnya terhingga dan dibentuk dari kumpulan elemen yang jumlahnya terhingga.

Pandangan Chomsky ini sangat revolusioner pada masanya. Untuk pembaca yang sedikit mengenal bidang Pengolahan Bahasa Alami (PBA) atau Kecerdasan Buatan, pasti sudah tidak asing dengan nama beliau dan ide beliau tentang bahasa, salah satunya Phrase Structure Rules di bidang Sintaksis.

Ide Chomsky sangat membantu pengembangan dan pemodelan bahasa dengan komputer karena kini orang-orang tahu bahwa bahasa dapat didefinisikan sebagai kumpulan kalimat yang tidak terbatas dan mematuhi sejumlah aturan. Dengan menggunakan aturan-aturan yang telah dijelaskan oleh ilmuwan bahasa, kita dapat membantu mesin memahami bahasa manusia.

Untuk beberapa pembaca, mungkin definisi bahasa dari paham formal terlalu kaku, atau bahkan rasanya melewatkan unsur-unsur terpenting dari bahasa, khususnya fungsi sosial.

Saya tidak mengatakan kalau bahasa adalah fondasi dari semua kegiatan sosial, tetapi kita rasanya bisa setuju bahwa semua tindakan berbahasa adalah sebuah tindakan sosial.

Ide atau sentimen di atas bukanlah pendapat pribadi saya semata. Banyak ilmuwan bahasa yang juga merasa demikian dan berpikir bahwa paham formal telah mengabaikan salah satu dimensi yang utama dari bahasa yaitu dimensi sosial.

Pendapat tersebut melahirkan banyak paham-paham dalam ilmu Linguistik, salah satunya adalah paham fungsional. Paham fungsional sendiri terdiri dari berbagai paham lainnya. Di artikel ini kita hanya akan membahas salah satu yang paling terkenal yaitu Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Paham Fungsionalis dalam Ilmu Linguistik

M.A.K Halliday, salah satu toko besar paham fungsional dalam Ilmu Linguistik
M.A.K Halliday, salah satu tokoh besar dalam paham fungsional ilmu Linguistik (Sumber: The Sydney Morning Herald)

LSF adalah sebuah pendekatan yang memandang bahasa sebagai alat untuk bertukar makna. Dalam LSF, bahasa dikatakan memiliki tiga jenis makna:

  • Makna Interpersonal: Makna yang menunjukkan kedekatan sosial antara pelaku bahasa
  • Makna Ideasional: Makna yang menunjukkan representasi pengalaman dari pengguna bahasa
  • Makna Tekstual: Makna yang menunjukkan interaksi antara makna interpersonal dan ideasional sebagai teks dan konteks.

Dalam cerita Helen, misalnya, kita bisa memahami betapa bahagianya Helen saat Ia telah menemukan bahasa dari perspektif paham fungsional.

Dengan bahasa, Helen dapat menunjukkan kedekatan dan rasa terima kasihnya kepada ibunya atau pada Anne yang telah merawat dirinya. Dengan bahasa juga Helen dapat merepresentasikan pengalaman hidupnya dan berbagi bersama orang-orang yang mungkin pernah merasakan apa yang pernah Ia alami.

Di luar cerita Helen, sebagaimana paham formal dari Chomsky memiliki pengaruh besar pada bidang teknologi, seperti PBA dan Kecerdasan Buatan, paham fungsional dari Halliday memiliki pengaruh yang cukup besar pada bidang ilmu sosial.

Salah satunya adalah bidang Analisa Wacana. Dengan menggunakan paham fungsional, para ahli bahasa dapat meneliti ketimpangan kekuatan dalam sebuah teks, misalnya dari segi interpersonal dimana satu pihak lebih dominan untuk menentukan jenis hubungan antar pembicara.

Selain itu, paham fungsional juga memiliki aspek praktis dimana LSF cetusan Halliday dapat membantu guru-guru untuk membuat kurikulum pelajaran bahasa dengan lebih baik. Misalnya, dengan menggunakan pendekatan fungsional, guru-guru dapat mempersiapkan jenis dan mengajarkan fungsi dan ciri-ciri sebuah teks dengan lebih baik.

Formal dan Fungsional: Definisi Mana Yang Lebih Tepat?

Setelah membaca penjelasan singkat tentang bagaimana paham formal dan fungsional mendefinisikan bahasa, pembaca mungkin berpikir: mana yang benar?

Apakah bahasa dapat didefinisikan sebagai suatu kumpulan aturan yang sangat besar yang mengatur bagaimana kita menghasilkan kalimat? Atau mungkin bahasa adalah tentang makna apa yang kita tukarkan ketika merangkai kalimat?

Jujur saja, rasanya saya bukan orang yang tepat untuk menentukan jawaban dari pertanyaan besar tersebut.

Di sini, perkataan dosen tingkat akhir saya bisa terdengar lebih jelas bahwa hasil penelitian kami di semester akhir akan bergantung pada definisi apa itu bahasa yang kami gunakan. Intinya: belum ada definisi bahasa yang mutlak dikatakan benar.

Terdengar klise, mungkin, tetapi sejauh ini rasanya saya pribadi belum pernah menemukan definisi bahasa yang dapat merangkum sepenuhnya fenomena yang sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari.

Jika definisinya terlalu umum, maka ada kemungkinan kita mengabaikan sifat-sifat bahasa yang spesifik. Terlalu spesifik, maka ada kemungkinan kita mengabaikan sifat-sifat bahasa yang lain.

Kembali lagi pada pikiran saya di awal tulisan ini, untuk sesuatu yang telah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari, bahasa masih banyak menyimpan misteri dan pertanyaan.

Empat tahun yang saya habiskan di bangku kuliah untuk mempelajari bahasa telah memberikan sebuah pengalaman yang mungkin tidak akan saya temukan di tempat lain.

Melalui ilmu Linguistik, saya telah berkenalan lagi dan lagi dengan bahasa. Tiap perkenalan memberikan saya pandangan baru tentang hal yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita.

Semakin sering saya berkenalan dengan bahasa, semakin asing, unik, dan luar biasanya bahasa itu sendiri. Dan hingga kini, saya masih belum berhenti untuk terus berkenalan lagi dengan bahasa, dan saya ingin mengajak pembaca untuk melakukan hal yang sama.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
Komunitas Blogger M

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.