Bersyukur Bukan Solusi Insecure

Rafael
Komunitas Blogger M
4 min readJun 16, 2020
Sumber Gambar: SpongeBob SquarePants, “Squidward yang Tampan”

Akhir-akhir ini, gue sering banget melihat orang-orang yang nge-posting berbagai keluh kesah mereka di media sosial, tentang ketidak percayaan mereka terhadap diri sendiri. Bisa disebut dengan istilah, insecure.

Menurut gue itu hal yang wajar. Karena, beberapa orang cenderung gak bisa mengetahui kelebihan diri sendiri, ketimbang kelebihan orang lain. Dan orang lain itu juga gak tau kelebihannya, dibanding mengetahui kelebihan orang lain, dan begitulah seterusnya.

Dari mulai pasang story di IG sampai nge-tweet panjang x lebar di twitter isinya pasti kata-kata mutiara yang isinya hanya menjadi obat penenang sesaat.

Kenapa gue bisa bilang hal seperti itu hanya menjadi obat penenang sesaat?

Ya, karena tiap kali ada orang yang nge-posting hal tersebut pasti ada kata: Bersyukur.

Sumber Gambar: https://twitter.com/uttazt_/status/1225409759785828353

Lah, gila lo, ya? bersyukur itukan suatu keharusan kok lo ngomong gitu?

Sabar, sebelum gue dihujat sana sini, dengerin penjelasan gue dulu!

Disclaimer: Sebelumnya gue mau bilang kalau insecure sama iri hati itu beda. Mungkin ada beberapa kasus yang membuat keduanya jadi relevan. Tapi, hal yang mendasari kedua prilaku negatif itu gak sama. Tadinya gue mau menjelaskan ini dalam satu artikel, tapi itu pasti bikin artikel gue kepanjangan. Mungkin lain waktu bisa gue jelasin.

Kebanyakan orang bilang kalau insecure itu hanya dialami oleh kaum cewe, itu salah. Cowo juga, kok. Walaupun kebanyakan dari kaum kita gak secara terang-terangan mengakui itu, tapi gue yakin, hampir semua kalangan dari milenium dan Gen Z, pasti pernah insecure, apapun itu gender-nya.

Gue pernah merasakan insecure, dan pernah juga mencurhatkan masalah ini kebeberapa temen. Dan tanggapan mereka semua pasti bilang, “Udahlah, lo harus banyak-banyak bersyukur pokoknya!” ya, walaupun gak semua kalimatnya seperti ini, tapi ujung-ujungnya, solusi dari menghadapi ke-insecure-an pasti dengan cara bersyukur.

Sebenernya gak ada yang salah dalam penggunaan kata bersyukur, hanya saja, beberapa orang kurang paham makna dari kata bersyukur itu sendiri. Sebelum gue paham bahwa bersyukur itu bukanlah solusi mengatasi insecure, gue meng-iya-kan semua tanggapan dari teman-teman, bahwa bersyukur adalah jalan keluar satu-satunya untuk menghadapai ke-insecure-an. Dan ternyata itu salah.

Bersyukur merupakan sebuah makna dari suatu kejadian, bukan sebagai kata di dalam kalimat untuk menuntaskan masalah.

Banyak orang salah kaprah tentang ini. Seolah-olah semua orang harus mengucapkan kata bersyukur sebagai jalan pintas menuju kebebasan untuk tidak merasa insecure, tanpa mengetahui betul apa penyebabnya. Ibaratkan kita menyatakan perang kepada suatu hal yang tidak kita ketahui siapa kaum yang akan kita serang. Semua ini hanya akan menimbulkan pertanyaan yang mengada-ada pada akhirnya.

Jika kita ingin terbebas dari rasa insecure, memegang kata bersyukur bukanlah solusi. Mencari penyebab dari rasa insecure adalah jalan terbaik menuntaskannya.

Salah satu penyebab paling nyata adalah pandangan orang lain yang menganggap semua hal yang menarik berdasarkan apa yang mereka suka, dan kita sebagai orang yang tidak termasuk ‘menarik’, tidak dapat berpikir secara kritis mengenai hal ini.

Semua ini dipengaruhi oleh penggunaan sosial media yang berlebihan, menurut gue. Sosial media sebagai ajang kesempurnaan manusia untuk berekspresi secara luas, menyebabkan beberapa orang sulit berpikir secara kritis dan juga luas, mengenai fenomena insecure ini. Pertanyaan yang mendasari peryataan gue ini adalah:

Bagaimana cara manusia dapat menyikapi masalah insecure-nya, jika kesempurnaan dapat diatur secara luas di media sosial?

Sama halnya dengan sistem imun di dalam tubuh, mempelajari virus yang menyerang, agar kelak, virus tersebut dapat diatasi dengan baik di kemudian hari. Pikiran juga perlu sistem imun seperti tubuh, agar kelak dapat mempelajari pola pikir manusia yang selalu menomor satukan kesempurnaan secara terbuka, seperti: Orang cantik/ganteng itu hidungnya mancung, mukanya gak berjerawat, putih, mulus, punya HP iPhone, uangnya banyak, naik mobil, dan hal lain yang menjadi tolak ukur kesempuranaan.

Namun, bagaimana cara pikiran kita dapat mengatasi hal tersebut di dunia nyata, sementara media sosial selalu membantu kita untuk tetap bisa mengatur kesempurnaan?

Bagaimana pikiran kita dapat terbiasa untuk mempelajari omongan orang lain, jika media sosial sudah membantu kita untuk terlihat sempurna?

Percayalah, jika kita terus-menerus ingin terlihat sempurna di media sosial, sekecil apapun omongan negatif orang lain di dunia nyata, akan selama-lamanya membuat kita merasakan insecure. Bagaimana tidak, dunia nyata bukanlah ajang kesempurnaan yang dapat diatur secara luas, bukan?

Inilah penyebab nyata yang harus dituntaskan secara kritis.

Jika kita dapat menyelesaikan sebuah masalah dengan mempelajari penyebabnya, dan bukan mencari jalan pintas, inilah makna bersyukur yang sebenarnya.

--

--