Bertani pun Butuh Privilese

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
4 min readFeb 24, 2023

Kembang rosela berkelir putih kemerahan menyembul dari ketiak-ketiak batang di balik rimbun dedaunan. Tak ada aroma yang menguar, bahkan ketika lubang hidung dengan mahkota bunga tidak berjarak. Namun, wujudnya yang utuh bersama pohon tempat ia tumbuh mampu membuat otak saya memutar ulang suatu ingatan.

Pohon rosela yang terhampar di depan sepasang mata merupakan anakan yang tumbuh liar dari pohon-pohon yang saya dan dua teman tanam dua tahun silam.

Selepas kuliah, saya coba menjalani peruntungan dengan bertani. Pertimbangannya bukan sekadar hitung-hitungan untung atau rugi, tapi sedikit banyak dipengaruhi oleh hasrat jiwa yang berapi-api. Sejak memutuskan mengambil konsentrasi Hukum Agraria, Adat, dan Islam di semester 6 perkuliahan, ketertarikan saya untuk belajar tentang pertanian mulai mekar.

Keinginan tersebut diilhami oleh kondisi sosial yaitu masyarakat berprofesi petani yang mendominasi di kabupaten tempat saya tumbuh besar, Temanggung. Meski saya tidak terlahir dari keluarga petani, kondisi sosial yang demikian cukup memberi motivasi. Lebih-lebih, ketika melihat kenyataan bahwa banyak petani sebagai kelas sosial hidupnya kurang beruntung — jika tak bisa disebut miskin, merana, melarat, dan sebagainya.

Ada renjana yang tersemai dalam diri: apa kondisi yang demikian bisa saya ubah? Pemikiran yang jika dibiarkan meliar malah berdampak buruk karena pemiliknya akan merasa sebagai seorang juru selamat.

Bermodalkan pas-pasan — ilmu, pengalaman, dan materi — saya mengajak dua orang teman untuk memulai menapaki apa yang telah saya rencanakan. Dalam sekejap, sepetak lahan sempit di belakang rumah telah disesaki bedeng-bedeng untuk ruang tumbuh benih dan bibit. Lahan tersebut kepunyaan orang lain, tidak dimanfaatkan selama bertahun-tahun.

Dulunya, merupakan lahan persawahan yang sampai sekarang masih terlihat jelas bekas teraseringnya. Waktu itu, kami coba menanam sorgum dan rosela. Tak ada kendala. Keduanya tumbuh subur dengan hasil panen yang bagus. Namun, hal itu tidak serta-merta membuka jalan mulus untuk bertani. Justru dari sini kami disadarkan bahwa bertani pun butuh privilese.

Lahan sempit yang kami tanami jelas tidak bisa untuk subsisten — cukup untuk konsumsi diri sendiri pun keluarga — apalagi sampai menjual kelebihannya. Oleh karenanya, kami bersiasat: mencari lahan untuk disewa.

Membeli tanah jelas tidak masuk akal karena nyata-nyata modal kami terbatas. Sekalipun kami punya cukup uang, mungkin hanya bisa membeli tanah dengan luasan ala kadarnya. Siapa yang tak tahu bahwa di masa sekarang harga tanah melonjak tak keruan karena banyak spekulan?

Membayangkan harga tanah saja cukup membuat gemetar. Masing-masing keluarga kami pun bukan tuan tanah. Kami ingin bertani, tapi tak punya bekal tanah.

Pikir kami, gampang menemukan tanah untuk disewa, ternyata semua bayangan itu runtuh seketika. Di Temanggung, lahan-lahan pertanian sudah penuh oleh penggarap. Sebagian petani menggarap lahannya sendiri, tapi kebanyakan menggarap lahan milik orang lain dengan menyewa atau skema bagi hasil.

Kondisinya pun tidak ideal, mungkin sama seperti kondisi di Jawa pada umumnya, yaitu tiap keluarga petani rata-rata hanya menggarap lahan-lahan sempit semata. Baik menggarap lahan sendiri atau menyewa, mayoritas luasan lahan kurang dari satu hektare — atau malah kurang dari setengah hektare.

Sebenarnya masih ada petak-petak sawah lain yang belum ada penyewanya, tapi ongkos yang diajukan membuat kami menghela napas panjang. Jika berhitung, tak akan sebanding antara modal yang dikeluarkan dengan hasil nantinya.

Dalam masa pencarian, kami mendapati kenyataan bahwa di luar sana, tanah-tanah yang penuh sesak oleh penggarap dengan luasan tak layak untuk bertani bersebelahan dengan tanah-tanah yang menganggur.

Alasannya beragam, mulai dari simpanan untuk masa depan sampai akan dialihfungsikan untuk pembangunan. Jika disewakan untuk bercocok tanam, mungkin keuntungan terbesar berdasar perjanjian tetap jatuh pada pemilik tanah bukan petani penggarap. Bukan kah yang demikian cukup untuk menggambarkan bahwa bertani pun butuh privilese seperti akses atas tanah?

Masalah yang kami hadapi ini masih tergolong sederhana. Kami belum berkeluarga dan masih punya penghasilan yang cukup dari bidang lainnya, sehingga keberlangsungan hidup kami tak bergantung pada bertani.

Namun, mari kita bayangkan bagaimana nasib para petani penggarap lahan sempit alias petani gurem: mereka berkeluarga; menyekolahkan anak; kebutuhan harian seperti makan, air, listrik, dan bahan bakar tak mengenal libur; berobat jika dirinya atau anggota keluarga sakit; uang sosial ketika ada hajatan atau kabar duka; sampai membayar utang berikut bunganya. Pengeluaran yang mengalir deras tak dibarengi pemasukan yang rimbun.

Lahan sempit berarti hasil panen yang sangat terbatas. Belum lagi dihajar harga pasar yang sama liarnya dengan pertaruhan di atas meja judi. Ditambah lagi soal rantai tata niaga yang mengular, sedangkan petani penggarap ada di posisi paling rentan. Tanpa jaminan sosial dan ekonomi apa-apa, banyak keluarga petani mengalami himpitan reproduksi sederhana (Bernstein, 2019: 146).

Saya pun harus menunda atau mungkin mengubur harapan untuk bertani sejak muda. Tanpa privilese, salah satunya berupa tanah dengan luasan yang layak, kesejahteraan petani masih sebatas menggantung di awang-awang.

Penulis: Iqbal Abizars

--

--