Buaya-Buaya yang Tak Dimengerti

Anggit Rizkianto
Komunitas Blogger M
7 min readJul 6, 2020
Gambar: Elena Mikhaylova/123rf.com

Pertama-tama saya ingin meluruskan bahwa buaya yang saya maksud dalam tulisan ini adalah buaya sungguhan. Maksudnya adalah buaya dalam makna lugas, bukan kias.

Bukan buaya yang suka memanfaatkan perempuan yang tengah bersedih di sosial media dengan mengirim pesan “Lho kok sedih? Kenapa? Sini cerita.” Bukan pula buaya yang tak tahu diuntung, sudah memiliki pasangan yang memegang kuat komitmen tapi masih saja flirting sana-sini tak sadar kalau tampang di bawah standart, maka label buaya darat pun disematkan.

Maka dari itu, tidak perlu repot-repot menggunakan pendekatan ilmu semantik untuk memahami tulisan ini karena buaya yang dimaksud adalah hewan reptil berkaki empat dan hidup di air.

Buaya, kerap jadi korban simbolisasi oleh manusia untuk mengolok-olok para pria hidung belang (Foto: https://twitter.com/PoetryGladies_)

Pagi itu, selepas subuh saya sudah keluar rumah, tujuan saya adalah menyusuri Sungai Lenggang sambil ditemani sinar matahari pagi yang perlahan muncul. Memotret aktivitas orang-orang di pinggir sungai dengan cahaya yang masih lembut tentu akan sangat menarik, demikian yang ada di pikiran saya.

Sayangnya, apa yang saya dapatkan jauh dari apa yang saya harapkan. Sungai tampak sepi, sama sekali tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia. Hanya ada perahu-perahu nelayan dan sampan yang tertambat di tepi sungai. Air sungai tampak kotor dan keruh. Permukaan airnya terlihat tenang dan tak ada riuh, seolah menyampaikan pesan bahwa sungai tengah murung. Warnanya cokelat dan agak gelap, menampilkan citra diri yang sedang muram.

Seketika saya tersadar, sungai yang selalu disebut Andrea Hirata dalam novel-novelnya itu kini telah berubah. Saya pun tidak banyak mengambil gambar, semangat saya pagi itu telah dibunuh oleh ekspektasi sendiri. Sambil sedikit melamun, sesaat pikiran saya pun terbang ke masa lalu.

Dahulu, Sungai Lenggang ini penuh keceriaan. Di pinggir sungai banyak anak-anak yang bermain air ataupun berenang. Kadang juga ada orang dewasa, yang mengambil air sungai untuk mandi serta mencuci pakaiannya. Dengan air yang masih jernih, kadang kita juga bisa melihat dasar sungai dan ikan-ikan di dalamnya.

Seketika lamunan saya buyar, tiba-tiba seorang bapak-bapak datang menghampiri dan menyapa.

“Lagi apa, Bang?” bapak itu bertanya.

“Motret-motret aja Pak, di sekitar sini,” saya pun menjawab seadanya.

“Wartawan, Bang?”

“Bukan, Pak.”

Bapak-bapak itu tampaknya seorang nelayan, ia berlalu begitu saja menuju pinggiran sungai, kemudian naik ke perahu yang sedang sandar. Saya lalu mendekat dan meminta izin untuk mengambil gambar, mengabadikan apa yang sedang dikerjakannya di atas perahu.

“Boleh-boleh aja Bang, hehe,” jawabnya saat saya meminta izin untuk memotret.

Untuk mendapat hasil foto yang terkesan natural, saya mencoba mengajak bapak-bapak nelayan itu ngobrol santai, sambil terus membiarkannya mengerjakan sesuatu yang entah apa di atas perahu. Ia sibuk dengan pekerjaannya, saya sibuk dengan kamera sambil bertanya hal-hal kecil.

Saya bertanya tentang kesibukannya sebagai nelayan, jenis ikan yang biasanya ditangkap, peralatan nelayan yang digunakan, waktu-waktunya mencari ikan, serta tempatnya menjual ikan.

Mencoba untuk sedikit akrab, saya juga bertanya tentang tempat tinggalnya dan asalnya. Dengan wajah sumringah, ia menjawab pertanyaan tetapi juga melempar pertanyaan yang sama kepada saya. Sebuah tata krama umum yang berlaku di masyarakat melayu. Sampailah kemudian saya bertanya tentang hal yang memang menjadi pertanyaan saya sedari tadi.

“Ngomong-ngomong, kenapa sekarang tidak ada lagi anak-anak yang berenang di sungai ya, Pak? Apa karena airnya kotor?”

“Sekarang banyak buaya, Bang.”

Belum sempat saya mengomentari jawabannya itu, bapak-bapak nelayan itu lantas lanjut bercerita.

“Seminggu yang lalu ada orang diterkam buaya waktu sedang mancing. Minggu sebelumnya lagi ada yang diterkam waktu sedang membersihkan perahu, orangnya nekat menceburkan badannya ke sungai padahal sudah diingatkan. Keduanya belum ditemukan jasadnya, Bang. Tapi biasanya pasti ditemukan, kalau tidak mengambang di sungai, biasanya ditemukan dengan pertolongan dukun.”

“Kira-kira banyak kasus buaya begini sejak dari kapan ya, Pak?”

“Wah, ya sudah cukup lama, Bang. Coba Abang tengok itu air sungai, kotor bukan main. Buaya-buaya di sungai ini jadi terganggu habitatnya. Kalau habitatnya terganggu ya mereka jadi sering muncul ke permukaan dan menganggu manusia. Apalagi kotornya air sungai karena ulah manusia sendiri. Orang-orang sini kalau mencari timah sudah gak tahu tempat. Gak peduli daratan gak peduli sungai semuanya digali, Bang.”

Sejenak saya mencoba memahami apa yang dijelaskan bapak-bapak nelayan. Penambangan timah memang sering menjadi masalah di Belitung. Di satu sisi timah memiliki nilai tinggi dan banyak masyarakat sangat tergantung pada hasil tambang yang menjadi bahan baku produk-produk apple itu. Sampai-sampai perusahaan Amerika Serikat itu berniat berinvestasi demi kelestarian tambang timah.

Namun, di sisi lain penambangannya sangat merusak lingkungan. Penambangan timah dilakukan dengan menggali tanah, bermeter-meter dalamnya.

Setelah itu, dengan menggunakan alat akan dilakukan penyedotan lumpur-lumpur yang terdapat dalam galian tanah untuk kemudian dibersihkan dan disaring sehingga didapatkan pasir jenis timah berwarna hitam.

Masalahnya, lahan untuk penggalian timah semakin sedikit. Sudah sangat banyak lubang-lubang besar bekas galian di daratan yang ditinggalkan begitu saja.

Maka dari itu, anak-anak Sungai Lenggang kerap kali menjadi sasaran penambang timah. Mereka menyedot dasar sungai untuk diambil timahnya. Akibatnya, tentu saja sungai menjadi kotor dan banyak ekosistem di dalam sungai terganggu.

Bapak-bapak nelayan tiba-tiba saja menghentikan pekerjaannya. Layaknya seorang guru, ia kemudian melanjutkan ceramahnya.

“Itulah dilemanya jadi masyarakat di sini, Bang. Menambang timah itu satu-satunya mata pencaharian sebagian orang di sini. Meminta mereka untuk beralih profesi tentu gak gampang, selain masalah kompetensi juga masalah mental. Ya kita tahu lah, timah itu selain gampang nyarinya, harganya juga lumayan. Padahal, timah tidak bisa diharapkan terus menerus. Bukan cuma perkara timah itu pasti akan habis dari perut bumi, tapi juga perkara risiko kerusakan lingkungan akibat penambangan. Asal Abang tahu, nelayan-nelayan di sini kian sulit. Sekarang ini kalau mau cari ikan kita tidak ada pilihan lain selain melaut. Ikan-ikan air tawar atau payau sekarang susah dicari karena ekosistem mereka sudah rusak. Bahkan ikan cempedik (ikan endemik Sungai Lenggang, Belitung Timur), yang nilai ekonominya paling tinggi sekarang hampir punah. Bukan bermaksud saya membela nelayan Bang, tapi ini soal masa depan anak cucu kita.”

“Apa tidak ada tindakan dari pemerintah?” saya pun bertanya.

Wajah bapak-bapak nelayan itu tampak masygul. Setelah menghela napas sebentar ia pun melanjutkan berbicara.

“Sudah ada aturannya, Bang. Menambang timah di sungai itu dilarang, bahkan ada dendanya dan orangnya bisa dipenjara kalau tertangkap. Tapi ya orang-orang di sini gak kehilangan akal, mereka sering beroperasi di malam hari, bahkan beberapa di antaranya ada yang menyogok petugas.”

Saya pun sesaat berpikir. Bukankah kerusakan lingkungan itu sudah begitu nyata, bahkan yang menjadi korban santapan buaya juga sudah begitu banyak.

“Apa masyarakat benar-benar tidak sepeduli itu dengan masalah ini? bukankah yang jadi korban santapan buaya sudah banyak?”, kali ini saya bertanya dengan menunjukkan ekspresi sedikit heran.

“Susah Bang kalau masalahnya urusan duit begini, mereka cuek. Sudah dijelaskan berkali-kali tapi gak pernah ngerti. Mereka yang peduli justru mengartikannya lain. Mereka gak pernah percaya kalau kemunculan buaya itu karena habitatnya terganggu. Bahkan, menurut mereka buaya itu bukan benar-benar buaya.”

“Maksudnya, Pak?”

“Ya itu bukan buaya, tetapi siluman. Orang sini percaya kalo itu buaya siluman, bahkan di antaranya ada yang manusia. Maksudnya manusia yang sedang menyamar jadi buaya alias buaya jadi-jadian yang tengah mencari tumbal. Biasa lah Bang, katanya itu sedang menuntut ilmu hitam.”

Masalah buaya siluman yang jadi kepercayaan masyarakat ini memang pernah saya dengar. Bahkan, masyarakat percaya bahwa terdapat kerajaan buaya di dasar Sungai Lenggang. Mereka membangun istana-istana yang sangat megah (menurut versi buaya).

Nah, buaya-buaya itu akan mencari tumbal di waktu-waktu tertentu. Entah apa yang diinginkan buaya. Oleh sebab itu, masyarakat meminta bantuan dukun untuk berkomunikasi dengan buaya. Atas saran dukun, masyarakat kemudian menumbalkan daging-daging ayam yang dilempar ke sungai untuk jadi santapan buaya.

Sungai Lenggang, Belitung Timur (Dokumen Pribadi)

Saya tidak ingat betul berapa lama saya berada di pinggir sungai dan berbincang-bincang dengan bapak-bapak nelayan itu. Namun, perbincangan itu cukup membuat saya termenung dan berpikir.

Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki kesadaran akan lingkungan saat kerusakan yang disebabkannya sudah terpampang nyata. Apalagi Belitung sudah pernah dilanda banjir besar dan buaya juga menjadi korbannya.

Barangkali di dunia buaya telah terjadi gonjang-ganjing akibat perbuatan manusia. Dunia mereka rusak, sehingga mereka bersepakat untuk melakukan protes kepada manusia. Namun sayangnya, protes itu disalahartikan oleh manusia, aspirasi dan tuntutan mereka tak pernah dimengerti atau dipahami.

Buaya pun bingung, bagaimana mungkin manusia yang punya akal dan terdidik tak mengerti tuntutan mereka. Manusia pun menjadi cemoohan di dunia buaya.

Kebingungan buaya semakin menjadi-jadi ketika kemunculan mereka sudah dianggap hal biasa. Bahkan, di antaranya ada yang menjadikannya konten sosial media.

Buaya, selain dikenal sebagai hewan yang paling setia (konon seekor buaya jantan hanya kawin sekali seumur hidupnya), juga dikenal sebagai salah satu hewan yang sangat gigih melindungi anak-anaknya. Seekor induk buaya tak akan membiarkan anaknya dimangsa hewan lain. Naluri mereka untuk bertahan hidup dan terhindar dari seleksi alam sungguh luar biasa.

Melihat kelakuan manusia yang tak peduli masa depan anak cucunya tentu membuat mereka geleng-geleng kepala. Seekor buaya kemudian berseloroh kepada buaya lainnya:

“Hei kawan, coba kau tengok itu kelakukan manusia-manusia. Mereka sering mengolok-olok kita dan membangga-banggakan diri sendiri sebagai makhluk berakal, sampai-sampai mereka lupa kalau juga punya naluri. Coba, mau makan apa anak cucu mereka kelak?”

Konon, kini di dunia buaya muncul kultur baru. Jika ada seekor buaya yang tidak peduli dengan anak cucunya maka ia akan dicemooh oleh buaya lainnya dan diolok-olok dengan: BAJINGAN! DASAR MANUSIA KAU!!

--

--