Cleopatra, Wu Zetian, dan Politik Ranjang
Napak Tilas Sang Primadona di Pusaran Kekuasaan
Sejarah mencatat jauh sebelum Raisa dan Isyana Sarasvati eksis di dunia hiburan Tanah Air hingga muncul ‘Hari Patah Hati Nasional’ jilid 1 dan 2, sekitar 4000 tahun lampau lahirlah seorang primadona di daratan Mesir Kuno. ‘Harta, Tahta, Cleopatra’ mungkin jadi jargon yang tepat menggambarkan apa yang ada dalam benak para lelaki di kawasan Mediterania saat itu — atau setidaknya bagi seorang Julius Caesar, diktator Romawi yang terbujuk rayu olehnya.
Ya, nama Cleopatra ini sangat populer dan begitu melegenda ke seantero dunia hingga sekarang. Tentu pembaca pun sering mendengarnya atau mungkin sudah menggali kisahnya lebih dalam lagi. Namun memang pada umumnya publik masih mempunyai persepsi yang tidak tepat pada sosok Cleopatra. Misalnya, orang-orang masih membayangkan bahwa Ratu Mesir itu adalah wanita yang cantik jelita, ataupun mengira dia keturunan Arab seperti mayoritas bangsa Mesir sekarang ini.
Perlu diketahui bahwa menurut sejarah Cleopatra merupakan keturunan Yunani yang berkuasa di Mesir, dan jangan salah juga bahwa pesona yang dimiliki seorang Cleopatra bukanlah dari kecantikan parasnya. Alih-alih feminin, Cleopatra lebih digambarkan sebagai sosok wanita maskulin pada peninggalan patung-patung ataupun koin-koin kuno. Daya tarik Cleopatra sendiri terwujud dalam kepintaran dan wibawa yang ia miliki. Ketenangan, kesabaran, kemampuan berbicara dalam 9 bahasa, serta kecakapan dalam berdiplomasi lah yang membuatnya berhasil menaklukkan hati Julius Caesar dan Markus Antonius.
Perbedaan persepsi mengenai citra Cleopatra serta-merta menjadi buah bibir dan topik yang menarik di ranah budaya pop. Kita bisa ambil contoh bagaimana film Cleopatra pada tahun 1963 yang diperankan Elizabeth Taylor telah membentuk citra Cleopatra secara umum, yang sebenarnya cukup berbeda dengan aslinya. Adapun isu whitewashing yang menyeruak ketika aktris Gal Gadot asal Israel mengumumkan dirinya akan memainkan peran sebagai Cleopatra.
Berkaitan dengan hal diatas, saya ingin sampaikan untuk sekedar meluruskan apa yang saya ketahui tentang sejarah : Cleopatra jelas memiliki darah Yunani, keturunan dari Ptolemeus 1 Sorter, seorang senapati pengawal Alexander Agung dari Makedonia yang kala itu telah menguasai Mesir. Akan tetapi penelitian terkini menduga ia memiliki ibu yang berkulit hitam asal Afrika, sehingga besar kemungkinan Cleopatra merupakan blasteran kulit putih-kulit hitam.
Meski begitu, saya tidak katakan bahwa sutradara yang membuat film bergenre fiksi sejarah — yang pada dasarnya tetap saja termasuk ranah fiksi yang sarat imajinasi, harus menerapkan kajian sejarah secara utuh ke dalam filmnya.
Wu Zetian : Cleopatra dari Timur
Bila Cleopatra mempunyai panggung di budaya pop yang marak, lain halnya dengan Wu Zetian. Sebagai salah satu wanita paling berpengaruh dalam sejarah Tiongkok, Wu Zetian memang mempunyai nama besar. Namun di luar pemerhati sejarah dan kebudayaan maupun orang-orang Tionghoa sendiri, siapa yang pernah dengar namanya?
Untuk mendapatkan gambaran begitu spesialnya Wu Zetian, perlu pembaca ketahui bahwa dia adalah satu-satunya perempuan yang secara resmi pernah menjadi Maharani (kaisar wanita) di sepanjang sejarah dinasti-dinasti Tiongkok. Ketika itu zaman Dinasti Tang (sekitar abad ke-7 M) yang umumnya dianggap sebagai puncak kejayaan peradaban Tiongkok, sehingga lahir pepatah “Tuntutlah ilmu sampai ke negri Cina”. Jika kita membuka buku sejarah, tercatat dinasti di Tiongkok bermula dari Dinasti Xia yang lahir pada 2070 SM hingga Dinasti Qing berakhir pada 1912 M. Itu artinya dalam kurun waktu 4000 tahun lamanya hanya ada satu perempuan yang berhasil menjadi kaisar, dan dialah seorang Wu Zetian!
Berbeda dengan Cleopatra yang mempunyai privilese darah biru, Wu berasal dari keluarga yang berada di luar kerajaan. Faktor ini ditambah dengan norma budaya Tiongkok kuno yang sangat kental membagi peran pria dan wanita menurut sifat Yin dan Yang — bahwa wanita tidak selayaknya menduduki kekuasaan dalam pemerintahan, membuat cukup mustahil baginya untuk menjadi seorang kaisar.
Jalan mulai terbuka ketika sang Kaisar Taizong mendengar kabar mengenai Wu, yang terkenal sebagai gadis cantik dan cerdas di kotanya. Sang Kaisar yang penasaran kemudian mendapatkannya untuk dibawa ke istana lalu dijadikan salah satu selirnya. Pada masa awal di istana ia masih dipandang sebelah mata. Namun seiring berjalannya waktu, sang kaisar semakin dibuat terkesan oleh kemampuan intelektualnya. Selain mampu berbicara tentang sejarah dan politik, ia juga dapat membaca dan menulis dengan baik. Wu mempunyai bakat sastra dalam dirinya, yang merupakan syarat mutlak untuk menjadi birokrat pada zaman Dinasti Tang.
Pesona dirinya terus memancar hingga ia memikat kaisar berikutnya, Kaisar Gaozong. Selanjutnya ia semakin bertekad memenuhi ambisinya terhadap kekuasaan dengan menjalankan intrik politik yang sangat kotor. Ia mendapat posisi sebagai permaisuri baru bagi Kaisar Gaozong dengan memfitnah sang permaisuri sebelumnya. Kemudian ia juga membunuh anak pertamanya sendiri, yang oleh Kaisar Gaozong telah diberi hak pewaris tahta. Keculasan lainnya adalah bagaimana dia mengatur kondisi secara sedemikian rupa sehingga anak termudanya yang naik tahta sebagai Kaisar Ruizhong, yang sebenarnya hanya untuk dijadikan ‘boneka’ oleh Wu Zetian.
Syahdan, benang basah akhirnya dapat ditegakkan Wu Zetian ketika Ruizhong menyerahkan tahta kepadanya. Wu Zetian dengan resmi menyandang gelar Maharani, menjadi kaisar wanita yang pertama dan satu-satunya dalam sepanjang sejarah Tiongkok.
Saya pikir menarik untuk kita membandingkan Cleopatra dan Wu Zetian. Sepak terjang mereka mempunyai kemiripan dengan segala perbedaan lingkup sosial-budaya serta anasir-anasir yang membentuk pribadi mereka.
Selaku keturunan pendiri wangsanya, Cleopatra sudah mendapat privilese dalam berpolitik sehingga tantangan terbesar baginya adalah bagaimana mendapatkan sekutu yang kuat di pusaran pengaruh Romawi saat itu. Ini berbeda dengan Wu Zetian yang harus berjuang mulai dari tingkat yang lebih rendah, dengan berusaha mendapat pengakuan terhadap eksistensinya di dunia politik lebih dulu.
Bila Cleopatra mempunyai kharisma yang maskulin dalam memerintah, Wu Zetian tampil lebih feminis dengan menampilkan dirinya sebagai ibu yang penuh kasih dan rasa simpati serta lebih mendayagunakan peran wanita di seluruh Tiongkok — padahal di balik layar dia menerapkan politik represi terhadap segala oposisi melalui pasukan rahasia yang dibentuknya.
Perihal politik ranjang, rekam jejak Cleopatra dan Wu Zetian mempunyai kemiripan. Saya pikir keduanya tidak dapat meraih tampuk kekuasaan tanpa menggunakan seks sebagai alat politik. Salah satu bagian terkenal dalam kisah Cleopatra adalah ketika ia meminta agar dirinya diselundupkan dalam gulungan karpet demi bertemu dengan Julius Caesar. Alhasil Cleopatra sukses merayu Caesar hingga ia sukses membentuk aliansi politik sekaligus hubungan romantis dengannya.
Tak jauh berbeda dengan Cleopatra, Wu Zetian dengan sukses memanfaatkan kelemahan laki-laki dalam menghadapi godaan seksual. Ia berhasil meluluhlantakkan tembok hati para kaisar pria sehingga terwujudlah panggung politik yang siap ia naiki. Mungkin baik Cleopatra maupun Wu Zetian mempunyai pikiran yang sama. Mereka sadar bahwa secara fisik mereka lebih lemah dibandingkan pria, namun ketika seks dan kelembutan wanita datang menggoda, acapkali pria kehilangan rasionalitasnya.
Bila kita amati fenomena ini sejalan dengan apa yang dikatakan Michael Foucoult. Menurut filsuf Prancis itu seks dan kekuasaan saling terkait. Seks dapat dijadikan instrumen menuju kekuasaan, yang bisa digunakan untuk mengendalikan lawan-lawan politik.
Daftar Pustaka :
· Bauer, S. W. (2007). The History of the Ancient World: From the Earliest Accounts to the Fall of Rome. New York: W.W. Norton.
· Bauer, S. W. (2010). The History of the Medieval World: From the Conversion of Constantine to the First Crusade. New York: W.W. Norton.
· Foucault, Michel (1978). The History of Sexuality. New York : Pantheon Books.
· Ansary, Tamim (2019). The Invention of Yesterday: A 50,000-Year History of Human Culture, Conflict, and Connection. New York : Public Affairs.
· Editors, History.com (2009). Cleopatra, https://www.history.com/topics/ancient-history/cleopatra, diakses pada 19 Oktober 2020
· FitzGerald, Charles Patrick (2017). Wuhou, https://www.britannica.com/biography/Wuhou, diakses pada 19 Oktober 2020