Darurat Demokrasi Indonesia

Edmund Patrisius
Komunitas Blogger M
3 min read1 hour ago

Pemikiran kritis politisi Indonesia itu sederhana. Seperti alat elektronik yang kita gunakan sehari-hari, sama-sama bisa di-ON/OFF-kan. Kalau mereka jadi pendukung pemerintah, sudah pasti OFF. Kalau sedang tidak mendukung, ya ON. Sesimpel itu.

Kalau tidak percaya, gampang saja membuktikannya. Cukup perhatikan akun X (Twitter) para politisi partai di rentang waktu mereka menjadi pendukung pemerintah dan saat mereka menjadi oposisi. Dijamin, perbedaan sikapnya akan 180 derajat.

Pemberitaan mengenai PDIP yang kemungkinan bergabung dengan partai lain menjadi pendukung pemerintah adalah tanda bahwa semua suara kritis tersebut akan di-OFF-kan.

Presiden Indonesia 2024 2029 dan Ketua Umum PDIP (dokumentasi Sekretariat Presiden RI)

Saat ini, dari 8 partai politik yang akan mengisi kursi DPR nanti, 7 di antaranya sudah memberikan pernyataan resmi bahwa mereka akan mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Jika PDIP ikut bergabung, maka 100% anggota DPR akan mendukung sebagian besar, kalau tidak semua, keputusan pemerintah nantinya.

Pertanyaannya, jika mereka yang punya kuasa akan setuju saja dengan semua kebijakan pemerintah, kita sebagai rakyat bisa apa jika kebijakan tersebut merugikan kita?

Power tends to corrupt.
Absolute power corrupts absolutely.

Sistem demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Indeks demokrasi kita terus menurun drastis beberapa tahun belakangan. Jika situasi ini terus berlanjut, negara kita akan semakin dekat dengan sistem otoriter, di mana kebijakan pemerintah dibuat sesuai mood penguasa. Jika sistem pemerintahan kita mencapai tahap ini, peduli atau tidak dengan politik, kita semua akan terkena imbasnya.

Kamu tidak ingin berurusan dengan politik karena ingin mendedikasikan hidup pada dunia sains? Siapa yang menjamin keinginanmu mempelajari luar angkasa tidak akan dilarang pemerintah? Tidak ada pula yang menjamin kamu boleh meneliti alam liar sesuka hati meskipun tujuanmu tulus hanya demi ilmu pengetahuan.

Apalagi karya seni, sebuah bidang kehidupan di mana kita dibebaskan, bahkan dituntut, untuk berimajinasi seliar dan sebebas mungkin. Sesuatu yang sulit dikontrol seperti itu sangat berpotensi mengganggu 'kestabilan' semu yang diciptakan pemerintah otoriter. Jangan heran jika membuat atau sekadar menikmati musik, komik, novel, dan lukisan akan menjadi hal yang tabu.

Tidak ingin neko-neko dalam hidup dan ingin menjadi biasa-biasa saja juga serba salah, karena di pemerintahan otoriter, orang-orang seperti ini hanya akan dijadikan 'sapi perah' yang memproduksi sumber makanan utama pemerintah: anggaran negara.

Dalam pemerintahan otoriter, benar-benar tidak bisa main aman. Batasan aman atau tidaknya sangat ambigu karena semuanya tergantung mood penguasa. Sesuka mereka, pokoknya; apa yang melanggar dan apa yang tidak.

Nah, demokrasi memberi keleluasaan ini; jika ada kebijakan pemerintah yang merugikan, kita bisa protes, dan kekuatan protes kita secara nyata dapat mengubah kebijakan tersebut.

Negara demokrasi palsu mungkin akan membiarkan kita protes, tetapi protes itu hanya akan dianggap angin lalu. Karena, apa yang bisa kita lakukan jika lembaga negara yang seharusnya mewakili kita justru telah menjelma menjadi pendukung kekuasaan penguasa?

Faktanya, arah demokrasi Indonesia sedang menuju ke sana. Jika kita diam saja, tidak ada yang akan menghentikan perjalanannya ke arah sana. Saat sudah terbentuk, sudah terlambat untuk mengembalikan kondisi seperti semula tanpa menyebabkan negara menjadi chaos.

Tulisan ini ingin mengajak pembaca untuk menyadari kondisi ini sebagai langkah awal dalam perjuangan mempertahankan sistem demokrasi Indonesia. Inilah yang bisa kita lakukan sekarang, jika sebelumnya belum terlalu akrab dengan kondisi perpolitikan Indonesia. Dengan menyadari kondisi ini, kita akan menjadi lebih peka terhadap setiap gerak-gerik penguasa yang menunjukkan tanda-tanda otoritarianisme.

Mari bersama-sama mengawal demokrasi di negeri kita yang tercinta ini.

--

--