Praktisi vs Pengajar

Dia yang Bisa, Beraksi. Dia yang tidak, Mengajar

Benarkah?

Bagus Ramadhan
Komunitas Blogger M

--

Tidak semua orang bisa mengajar. Ini adalah kesimpulan yang saya miliki tentang mengajar hingga saat ini. Aktivitas mengajar yang tidak hanya tentang berbagi pengetahuan dan pemahaman, tapi juga mengevaluasi kemampuan. Itu kenapa hingga saat ini saya sangat minim menerima tawaran untuk mengajar. Bukan karena tidak mau, tapi merasa belum mampu. Alasannya karena saya merasa terintimidasi dengan mereka yang bisa, beraksi, mereka yang tidak, mengajar.

Adagium yang tendensius pada para pengajar atau guru ini sebenarnya berasal dari bahasa Inggris. Tepatnya berasal dari George Bernard Shaw yang pernah berkata, “Those who can do, those who can’t teach.” Versi candaan yang lebih panjang juga ada,”Those who can, do; those who can’t, teach; those who can’t teach, administrate.” saya dapatkan yang ini di forum diskusi Reddit.

Iya, George Bernard Shaw penulis masyhur yang itu. Tapi saya kesulitan untuk menemukan, dalam konteks apa Shaw mengatakan hal itu. Jadi, untuk tulisan ini, saya anggap teks dan konteksnya tepat yakni sedang membahas tentang para guru.

Apakah benar apa yang dikatakan Shaw itu? Bagi saya, inilah yang menjadi kebimbangan besar. Saya cukup terpengaruh kata-kata ini hingga sekarang dan terus berusaha untuk beraksi, bertindak, berkarya ketimbang mengajar. Bukan berarti kata-kata itu benar, tapi bagi saya membuktikan diri sebelum mengajar itu penting. Misalnya, menjadi kreator konten yang aktif menulis itu penting sebelum mengajar para penulis.

Kebimbangan ini mirip seperti kondisi sindrom kepalsuan (impostor syndrome). Sindrom di mana seseorang merasa dirinya tidak kapabel, meski sebenarnya cukup mahir. Akhirnya membuatnya tidak lagi berkarya, berpraktek, atau bahkan mengajar karena merasa tidak punya pembuktian. Untuk melawan sindrom ini biasanya seseorang akan berusaha menjadi talenta yang punya reputasi lalu mengajar untuk bisa mendapat siswa atau anak didik. Tapi tanpa reputasi, siapa yang ingin menggantungkan nasibnya ke orang asing yang belum tentu punya kemampuan mengajar?

Menariknya, Adam Grant dalam artikelnya di New York Time pada tahun 2018, membahas tentang hal ini. Tulisannya yang berjudul “Those Who Can Do, Can’t Teach” sangatlah provokatif melawan adagium Shaw. Di artikel itu dijelaskan kalau kebanyakan pelaku atau praktisi bereputasi malah sebenarnya tidak bisa mengajar. Mereka memang jenius di bidangnya, tapi tidak bisa mengajarkannya pada orang lain. Adam Grant mengambil contoh, bagaimana Albert Einstein sebenarnya adalah seorang guru (Dosen) yang biasa saja. Tidak sehebat karirnya sebagai peneliti fisika.

Sanggahan Adam Grant ini mungkin bisa dibilang bias profesi, Grant sendiri adalah seorang profesor di Wharton School of the University of Pennsylvania. Jadi dia adalah pengajar juga. Hanya saja saya tidak benar-benar tahu apakah dia memang pengajar yang “hebat”. Nama dan reputasinya lebih terkenal sebagai penulis buku-buku yang cukup inovatif mengangkat topik-topik sains bisnis dan pengembangan organisasi.

Sejauh saya membaca buku-buku Grant, penilaian saya melihat kalau Grant pun sebenarnya terjebak pada masalah yang sama sepeti Einstein, tulisannya terlalu akademis untuk buku-buku yang ditujukan untuk isu-isu populer. Jadi kadang, sulit untuk mencernanya dalam sekali baca meski ada satu bukunya yang menjadi buku terbaik yang pernah saya baca seumur hidup: Give and Take.

Nah, sekarang kembali fokus pada adagium awal tadi. Mereka yang bisa, beraksi, mereka yang tidak, mengajar.

Untuk mengambil sikap, saya cenderung mengambil pertengahan. Artinya, para pelaku, praktisi atau para ahli mereka tidak akan bisa menjadi lebih mahir berkarya tanpa mengajar. Begitu pula para guru, mereka tidak bisa makin mahir mengajar tanpa berkarya atau praktek. Malahan, ada Taksonomi Bloom yang menyarankan kita untuk berkarya dan juga mengajar supaya bisa mencapai tingkatan belajar tertinggi. Jadi pada akhirnya, mengajar itu penting bagi masing-masing kubu, kubu pelaku, kubu pengajar.

Kebanyakan pelatih hebat yang berprestasi di sepak bola adalah mereka yang dulunya sukses menjadi pemain. Seperti Carlo Ancelotti, Pep Guardiola. Tapi ada pula pelatih sukses yang karir sepak bolanya tidak sementereng karir kepelatihannya seperti Jose Maurinho, Arigo Sacchi, Arsene Wenger,

Sayangnya, saya tidak punya banyak contoh di bidang lain. Saya agak kesulitan untuk menyebutkan apakah ada seorang guru hebat yang tidak berkarya/berprestasi sebagai praktisi. Kalau kamu ada contoh lain, mungkin bisa bantu saya untuk menambahkan daftar ini.

Soal apakah harus berkarya atau mengajar, sejauh pengalaman saya, kita perlu menempatkan keduanya secara adil. Berkarya dan berprestasi punya jalan tantangannya sendiri, begitu pula dengan menjadi pengajar yang baik ada tantangan dan kesulitannya sendiri.

Sebelum memilih salah satunya, perlu untuk mengidentifikasi lagi apa yang sebenarnya kita inginkan. Berkarya dan berprestasi adalah tentang persaingan, sedangkan mengajar bukan persaingan. Kita perlu pahami bahwa mengajar itu tentang mendidik dan mengedukasi. Memberi pemahaman dan bukan cuma pengetahuan. Hasilnya, sering kali adalah para pengajar akan “tertinggal” oleh murid-muridnya.

Photo by Ed Us on Unsplash

Guru SD akan ditinggal oleh siswanya, menuju jenjang sekolah dan karir yang lebih tinggi. Secara ekonomi, sering kali para guru tertinggal dari siswanya. Tapi secara kehormatan, apakah lebih hina? Tentu saja tidak. Malahan, tanpa para guru, seorang praktisi akan sulit berkembang menuju potensi maksimalnya. Sebab guru punya peran sebagai pendamping. Ketika para praktisi merasa kehabisan harapan, para guru memberi ketenangan. Kadang malah membersamai untuk menemukan jalan keluar.

Ada balas budi di sana, ada tujuan yang lebih besar dari sekadar mengangkat nama diri menjadi tenar atau terkenal dengan karya. Hal seperti ini lebih banyak membutuhkan pengalaman, dan kebijaksanaan yang sering dianggap oleh para praktisi sebagai teori atau bualan yang membatasi.

Padahal ilmu, itu punya tujuan untuk menunjukkan jalan. Jalan yang benar, untuk tidak melalui jalan yang salah. Dan mereka yang pernah menapaki jalanlah yang akan bisa menunjukkan. Dengan tahu jalan, akan terhindar dari musibah dan bisa mencapai tujuan lebih cepat. Ali bin Abi Thalib bahkan menyebut dirinya sebagai budak di hadapan para guru yang menunjukkan ilmu. Jadi budi pekerti tidak hanya harus dimiliki para guru tapi juga para siswa.

Nah, akhirnya, memang butuh kelapangan diri dari para praktisi untuk mulai berbagi pengalaman. Di sinilah kenapa saya lebih suka diajak untuk berbagi pengalaman bukan menjadi pengajar.

Berbagi pengalaman artinya saya hanya perlu untuk menceritakan dan menyampaikan apa yang pernah saya saksikan, dan alami. Bukan mengolah teori atau mengembangkan alur proses untuk menghasilkan output yang pasti. Berbagi pengalaman, itu lebih seperti mentor. Hanya menunjukkan jalan, tapi tidak mengajari bagaimana cara pastinya. Sebab hanya yang beraksi, berpraktek, berkarya dan yang memahami yang akan bisa menemukan jalan keluarnya.

Guru yang ideal, adalah dia yang sudah melalui itu semua. Sulit memang menemukan yang seperti ini, tapi ketika kita menemukannya, kita tidak sulit untuk mengapresiasinya seumur hidup. Kita tidak pernah lupa jasa-jasanya, momen bersama dan pesan-pesannya.

Maka, ketika paham tentang makna mengajar dan mendidik seharusnya kata-kata Shaw tidaklah perlu, sebab itu cenderung menghina dan merendahkan jalan hidup orang. Tapi sayangnya, ini sudah jadi kebiasaan. Malahan sempat seorang Donald Trump Junior menghasut warga Amerika bahwa para pengajar itu adalah pendoktrin yang menyesatkan.

Kesimpulan

Tulisan ini bukan saya tujukan untuk merendahkan para pengajar. Bukan. Tapi lebih untuk menjadi catatan pribadi bahwa sebenarnya antara menjadi praktisi dan guru itu ada fasenya masing-masing. Mungkin di usia muda, saya lebih memilih berkarir, berkarya, bertemu tantangan dunia nyata. Kemudian mendekati usia pensiun, saya menjadi pengajar. Berbagi pengalaman, pengetahuan, pemahaman dan kebijaksanaan.

Bisa saja dalam perjalanan, kedua peran itu memberi saya prestasi dan pencapaain, tapi bisa juga tidak keduanya sama sekali. Juga bisa hanya salah satunya memberi prestasi dan legacy. Hal yang terpenting menurut saya adalah, selalu berusaha sebaik mungkin untuk jalan manapun yang kita tempuh. Menjadi guru, ustad, pengajar, pelatih, itu juga punya capaian-capaian yang harus diraih. Begitu pula menjadi praktisi, ahli, dan pelaku. Menjadi coach, mentor, dan guru di lain kesempatan.

Berkaitan dengan bahasan who can, do dan who can’t, teach ini beberapa waktu lalu, seorang kawan mengirim DM ke akun Instagram saya, dia seorang kreator konten tulisan yang telah berpengalaman. Cukup aktif menulis, dan bekerja secara lepas untuk berbagai klien. Saat itu di bertanya tentang, “apa itu konsultan? Saya beberapa kali menerima orang konsultasi, tapi belum merasa itu benar-benar pekerjaan konsultan” Jawaban dari pertanyaan ini akan saya jabarkan lebih lengkap di tulisan lain tentang mentor, coach, dan konsultan.

Sekian yang bisa saya bahas, semoga bisa memperkaya perspektif agar bisa terus beraksi sekaligus sesekali mengajar.

Jika kamu merasa konten seperti ini bermanfaat, kamu bisa dukung saya dengan memberi tip di bawah atau melalui laman NJB. Saya berkomitmen untuk terus bisa menghasilkan karya yang terbuka tanpa halangan langganan atau keanggotaan.

--

--

Bagus Ramadhan
Komunitas Blogger M

Produsen konten berpengalaman 8+ tahun. Telah memimpin projek konten untuk 5+ Brand teknologi & menghasilkan 1 juta lebih traffic. Hubungi bagusdr@teknoia.com.