Etika : Yang mulai Hilang dari potret Ke(pemimpin)an kita

El Azhary
Komunitas Blogger M
10 min readFeb 19, 2024
Photo by Ben Rosett on Unsplash

Ketika menjelang tahun-tahun politik, saya sebetulnya resah, dan sesekali juga gemas, terhadap tingkah para politisi yang mencalonkan diri sebagai pemimpin/pejabat publik, yang entah mengapa nampak tak kunjung cukup paham —atau jangan-jangan berlakon seolah tak paham mengenai “hukum konsekuensi”, khususnya didalam memperoleh kepemimpinan: bahwa semakin tinggi pencapaian maka semakin besar pula tuntutan cost untuk memperolehnya (baca: ada harga yang harus dibayar)

Bagi saya, ada satu pertanyaan penting yang semestinya dihadirkan dalam diri seorang politisi yang hendak mencalonkan diri sebagai pemimpin, yakni “Nilai/harga seperti apa yang harus dibayar oleh seseorang untuk menjadi pemimpin?”

Bagi penulis, pertanyaan yang sangat mendasar ini, sangatlah berguna untuk mencegah timbulnya suatu sindrom kepemimpinan Hotepapopu, yang rawan menjangkit seorang pemimpin.

Berkenaan dengan nilai apa yang mesti dimiliki seorang pemimpin. Tentu saja banyak, tetapi saya ingin berangkat dari sudut yang normatif dan cenderung, ya, saklek. Jadi bagi yang cukup pragmatis, dipersilahkan untuk skip. Karena mungkin ada dari calon kandidat Anda yang akan saya sentil disini, dan sebelum Anda sewot, ya, silahkan di skip.

Ada satu aspek vital dari jawaban pertanyaan diatas yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin: yaitu etika dan moralitas.
Yang secara garis besarnya dapat didefinisikan sebagai kemauan untuk menempatkan kebutuhan umum di atas kebutuhan diri sendiri.

Tidak cukup sampai disitu, tetapi juga rasa bersedia melakukan pengorbanan dengan kesadaran penuh memutuskan untuk menempatkan kepentingan pribadinya di bawah kepentingan yang lebih tinggi, serta bersedia menanggung kerugian atau risiko atas apa yang kemudian terjadi.

Para pemimpin yang dimaksud dalam aspek ini adalah pemimpin yang benar-benar peduli terhadap orang-orang yang mereka pimpin dan memahami bahwa hak istimewa kepemimpinan harus dibayar dengan mengorbankan kepentingan pribadi.

Mengapa Etika dan Moralitas?

Saya pikir, jawaban mengenai pertanyaan diatas sama-sama telah dimafhumi, setidaknya dalam hal umum bahwa dalam kehidupan etika adalah hal yang penting.

Tetapi, izinkan saya memberikan alasan lebih rinci.

Peran Kepemimpinan Etis dalam (dinamika) Publik.

Seorang pemimpin, dalam keadaan pasti, mau tak mau, suka tak suka, harus berhadapan dengan publik atau setidaknya individu/kelompok yang dipimpin. Ini sudah suatu keniscayaan.

Dalam interaksi di ranah publik, seorang pemimpin pasti, suka tak suka, mau tak mau akan bertemu dengan situasi/keadaan yang dimana akan mengundang problematika rumit di mana dilema etika muncul dan keputusan terkait mesti dibuat. Yang seringkali, problem semacam ini tidak tertulis atau dapat selesai dengan jalan merujuk pada teks hukum/regulasi.

Sementara, dampak dari pilihan etis yang buruk akan menghasilkan berita yang mengkhawatirkan yang mendominasi ruang publik.
Oleh karenanya, "Pemimpin dituntut untuk memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan permasalahan dari berbagai sudut pandang, termasuk apa yang adil dan tidak adil, menyeimbangkan perspektif alternatif satu sama lain, dan mendorong pengikut untuk melakukan hal yang sama melalui demonstrasi perilaku yang menginspirasi secara konsisten, penguatan keputusan yang adil, dan hubungan antarpribadi yang manusiawi" (Rochford, Jack, Boyatzis, dan French, 2017)

Kaitannya dengan kepemimpinan etis terhadap ruang publik. Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa orang belajar dengan meniru teladan yang menarik dan kredibel (Bandura, 1977, 1986). Dan bahwa pembelajaran dapat terjadi baik melalui pengalaman langsung, terlibat dalam suatu aktivitas, dan melalui menonton orang lain terlibat dalam suatu aktivitas.

Dalan satu penelitian oleh Trevino, Hartman, dan Brown (2000) menyatakan bahwa "karyawan dalam organisasi yang dipimpin oleh seorang pemimpin eksekutif yang etis akan meniru perilaku pemimpinnya dan oleh karena itu karyawan itu sendiri akan lebih etis".

Dalam masyarakat bernegara, karyawan dapat diasosiasikan dengan masyarakat umum, atau pejabat publik dalam relasinya dengan pemerintah tertinggi (Sultan, Raja, Kaisar, maupun Presiden). Selain itu pejabat publik juga bisa diasosiasikan sebagai pemimpin eksekutif dalam relasinya dengan masyarakat umum itu sendiri. Sehingga pada lapisan tengah dalam konteks politik, politisi/pejabat publik bisa dipandang sebagai dua posisi:

(1) Pemimpin (dalam kaitannya dengan rakyat umum)

(2) juga sebagai, yang dipimpin (dalam kaitannya dengan pemimpin puncak)

Selain itu, pemimpin yang beretika harus "secara konsisten menghargai perilaku etis dan mendisiplinkan perilaku tidak etis di semua tingkatan dalam organisasi." (Trevino dkk., 2000, hal. 136).

Perilaku ini lah yang pada gilirannya menjadi stimulant orang-orang yang berada di hierarki bagian tengah dan bawah dalam struktur organisasi, untuk secara konsisten melihat perilaku yang pantas menerima penghargaan dan perilaku yang tidak pantas menerima hukuman, sehingga mereka belajar melalui isyarat perilaku/komunikasi tersirat apa yang dapat diterima dalam organisasi.

Oleh karena itu, kebedaraan kepemimpinan etis dalam suatu organisasi/kelompok sangat penting untuk jadi teladan moral, nilai-nilai, dan perilaku yang mendukung budaya etika dan tujuan organisasi secara keseluruhan yang itu tidak lain demi kepentingan terbaik organisasi.

Ratusan tokoh pemuka agama Islam di Jawa Barat mengeluarkan fatwa akan wajibnya memilih pasangan calon no urut 01: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar
https://youtu.be/hmTeA5xCQFc?si=-GpeqTx
agqFCvLV6

Menyoroti fenomena Paslon 01 dalam konteks politik etis, yang dalam satu part dari kampanye nya tengah berdiri disamping tokoh agama yang mengeluarkan fatwa “wajibnya memilih Anies”, tentu sangatlah kental dengan politik identitas. Dalam video wawancara singkat tersebut juga terlihat Paslon 01 nampak hanya terdiam.

Dan sama saja tentunya dengan Paslon 02 yang sebelumnya mendapatkan dukungan secara tidak langsung (juga tak pantas) oleh Presiden Joko Widodo.

Presiden RI ke-6, Joko Widodo, berdiri disamping Calon Presiden no urut 02 yang juga Menteri Pertahanan dalam kabinetnya, Prabowo Subianto.
Presiden Jokowi Widodo: Presiden boleh memihak. Presiden boleh berkampanye.
https://youtu.be/pZwAjUk-h4g?si=jx5FEv7ZojbXpx5h

Dalam video wawancara yang diunggah pada tanggal 24 Januari 2024 tersebut, Presiden Joko Widodo mengutarakan pandangan akan bolehnya seorang pejabat pemerintahan seperti halnya Presiden dan Menteri untuk memihak pada Paslon tertentu, serta boleh turut andil didalam aktifitas kampanye.

Lebih lanjut Presiden Joko Widodo mengatakan “Itu boleh, dengan catatan tidak boleh menggunakan fasilitas negara.”

Dalam wawancara tersebut, juga terdengar beberapa wartawan yang berkata di sela-sela wawancara, “Pak, kalau misalnya ada rekomendasi untuk mundur bagi yang berkampanye bagaimana Pak?”

“Semuanya itu pegangannya aturan” balas Presiden Joko Widodo

Pada wawancara singkat tersebut, juga dapat ditangkap sebuah sinyal pertanyaan para jurnalis yang sejatinya sedang menyindir Presiden Joko Widodo soal sikapnya berkenaan etika seorang pemimpin. Tetapi, benar-benar disayangkan, alih-alih kembali kepada nilai-nilai etika kepemimpinan, pertanyaan tersebut justru di jawab oleh Presiden dari sudut pandang hukum/regulasi, yang menurut hemat penulis, jawaban tersebut adalah jawaban yang hanya pantas di jawab oleh orang di level operator dan tidak semestinya diucapkan oleh seorang pemimpin tertinggi di ruang publik, terlebih disamping seseorang yang menjadi calon pemimpin dan wakilnya adalah anak kandung nya sendiri: cawapres Gibran Rakabuming Raka. Yang dapat mengundang persepsi negatif dikalangan masyarakat.

Dalam relasinya dengan hukum dan etika, suatu sikap/tindakan bisa saja sah/legal menurut hukum, namun belum tentu pantas menurut etika.

https://www.cnbcindonesia.com/tech/20231219140303-37-498557/viral-ndasmu-etik-di-medsos-dampaknya-nyata-ke-prabowo

Sementara menyoroti sikap Paslon 01 dan Paslon 02. Sama saja tentunya. Keduanya, sama-sama menunjukkan isyarat perilaku yang menggambarkan seolah sedang berselancar dan menikmati ombak dukungan yang berangkat dari situasi tidak pantas. Menari ditengah badai kontestasi politik. Lalu, secara tidak langsung membiarkan publik — yang semestinya bertindak sebagai subjek individu yang sadar, dan berdaulat dalam partisipasi politik itu sendiri, justru menyerah dan di dikte secara halus sebagai objek komoditas politik oleh tokoh-tokoh ybs. Dengan kata lain, acuh tak acuhnya kedua Paslon tersebut secara tidak langsung membiarkan publik kehilangan hak untuk mendapatkan teladan etis dari mereka selaku tokoh/pejabat publik.
Dan bila berkaca pada kondisi masyarakat sendiri. Suka tidak suka. Situasi publik menunjukkan masyarakat kita kebanyakan belum siap berdemokrasi. Taraf berdemokrasi kita secara terus terang masih belum mapan.

Fanatisme, politik uang (terutama lapisan bawah), glorifikasi, politik identitas (etnis, agama, ras, dan kesukuan) pun masih menjadi tools yang laris membanjiri kontestasi politik itu sendiri guna meraih suara-suara publik.

Tanpa adanya teladan etis dari seorang pemimpin/pejabat publik didalam menyikapi isu sentimen yang muncul. Akibatnya, publik —secara kolektif dan perlahan mengalami permasalahan-permasalahan sosial seperti ketegangan, kesenjangan, diskriminasi terhadap minoritas, konflik, dan polarisasi di tubuh masyarakat (terutama pada masyarakat bawah dan kalangan tidak cukup terdidik yang rentan terhadap penggunaan sentimen.)

Hal itu sebagaimana perilaku kelompok yang dimaksud menurut Teori Pembelajaran Sosial Bandura, bahwa orang belajar dengan meniru individu yang dianggap menarik. Ketika masing-masing pendukung melihat tokoh acuan politik mereka melakukan adu identitas, adalah hal yang mungkin bahwa mereka akan menormalkan nya bahkan mencontohnya.

Sebagaimana, House (1977), Bass (1985), dan Kouzes dan Posner (2003) juga memasukkan keteladanan sebagai perilaku penting dari setiap pemimpin (Brown, 2005),

Bahkan Aristoteles menyatakan bahwa moralitas hanya dapat dipelajari dengan mengamati seseorang yang bermoral (Gini, 1998). Tetapi faktanya, literatur etika perilaku secara luas mendukung pernyataan bahwa pemimpin memiliki pengaruh besar terhadap perilaku karyawan (yang dipimpin, pent). (Bonner, Greenbaum, & Mayer, 2016; Brown & Trevino, 2006; Brown et al., 2005; Schminke, Ambrose, & Neubaum, 2005)

Pada Pilkada 2017 dan Pemilu 2019, bagi saya, adalah contoh potret terburuk dari demokrasi negara ini. Hampir seluruh sentimen dibiarkan begitu saja oleh para elit dan pemeran politik membanjiri ruang publik demi mendompleng elektabilitas. Mulai dari munculnya bingkai dikotomi pribumi-asing (yang merujuk pada etnis Tionghoa), cebong-kampret, kadrun-komunis, mayoritas-minoritas. Dan hingga pada gilirannya sampai pada tahap polarisasi dan saling menghisab, antara siapa yang pancasilais dan siapa yang tidak, siapa yang paling nasionalis dan siapa yang tidak. Yang semua berangkat dari desain framing penyederhanaan ekstrim

"Kalau anda bukan A maka anda B"

"Jika anda mendukungnya maka Anda menyatakan perlawanan pada saya."

Ditengah kondisi seperti itu, publik yang semestinya di educate justru dibiarkan terjebak pada label dan sudut pandang hitam-putih oleh mereka yang mencalonkan diri sebagai pemimpin/wakil rakyat.

Dan apa yang bisa kita lihat di tahun-tahun itu?

Baik elite ekonomi maupun aktor-aktor politik, hampir seluruhnya tidak menunjukkan sikap sebagai pihak yang merasa terpanggil untuk bertanggung jawab dan seolah menikmati begitu saja nuansa kericuhan tersebut sebagai suatu pertunjukkan yang —entah bagaimana politik seakan hanya dipandang sebagai sesuatu yang poeisis, pragmatis, lagi transaksional.

Pertanyaannya, apakah para elit dan pemeran politik tidak mengetahui tingkat pemahaman masyarakat lapisan bawah terhadap etika politik?

Dan apakah mereka tidak paham bahwa teladan etis didalam berpolitik adalah hal yang diperlukan oleh publik?

Tentu saja tahu! Tentu saja paham!

Tetapi, nampaknya pragmatsime dari konflik kepentingan memilih untuk bertindak lain.

Membiarkan orang bodoh terus menerus bodoh, nampaknya adalah pilihan yang baik dari pada meningkatnya kesadaran dan pemahaman publik terhadap politik yang etis dan bersih namun berkonsekuensi macetnya jalan kepentingan.

Maka, alih-alih memanfaatkan status quo ketidakmapanan publik dan golongan yang tidak cukup terdidik demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Seorang pejabat publik, pemimpin, maupun politisi yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, dalam hal kaitannya dengan etikabilitas, perlu secara tegas dan merasa wajib mengambil posisi sebagai public educator dan memutus mata rantai penggunaan alat-alat tersebut, termasuk sentimen agama, jargon rasisme, dan aktifitas niretik lainnya, sekaligus memberikan teladan apa yang pantas dan yang tidak pantas sebagai konsekuensi dari sikap kenegarawanan dan etika politik itu sendiri.

Kendatipun hal itu mesti beresiko pada pengaruh keuntungan elektabilitasnya. Seorang pemimpin/calon pemimpin sedari awal memang demikian mestinya, ia perlu berangkat dari kacamata kepemimpinan itu sendiri bahwa eksistensinya sebagai seorang pemimpin bukan hanya sebagai operator/pelaksana tetapi juga sebagai pribadi yang beretika dan menjadi panutan yang mendidik.
Semua itu berangkat dari asas moral pemimpin bahwa kemaslahatan publik lebih didahulukan dari para hajat pribadi, bahkan kalau perlu mengorbankan diri pribadi demi kepentingan publik.

Terakhir. Setelah menyentil model kepemimpinan mayoritas para politisi. Ocehan bagian ini saya khususkan untuk masyarakat publik. Tentu, bukan maksudnya mengajak abai terhadap politik. Tapi kita ingin berangkat dari paradigma bahwa kekuasaan, kekayaan, dan atau sensasi popularitas dapat memabukkan akal sehat seseorang, terlebih lagi para aktor politik, dan hal itu pada akhirnya dapat membuat mereka potensial lalai bahkan menyimpang dari pada tujuan yang penting dari tugas politik itu sendiri.

Sebab tabiat dasar kebanyakan manusia sangatlah menyukai hal yang berbau kemewahan, dan yang tak ketinggalan, juga kenyamanan untuk tetap berada didalamnya.

Ada korelasi kuat dalam kemerosotan demokrasi antara defisit etik dari para pemimpin-pemimpin (dari tingkat bawah sampai keatas) dengan kebodohan publik.

Pemimpin yang senang dengan pujian dan nyaman dengan sorak sorai barikade masa dibelakangnya, mula-mula akan merekrut budak mereka (baca: tim sukses) untuk menghandle segala hal teknis dilapangan, Tetapi melegalkan tersebarnya virus (sentimen, propaganda, hoax) ke permukaan sebagai alat untuk memperoleh suara dan elektabilitasnya, berhubung virus ini berangkat dari cara pandang yang pragmatis, virus ini pada ujungnya dapat menabrak ranah-ranah etis, menjadikan hal yang tidak normal menjadi normal, tak pantas menjadi nampak pantas.

Kemudian tatkala virus tersebut pun merebak. Maka tantangan selanjutnya ada di masyarakat publik mengenai bagaimana mereka berhadapan dengan virus itu sendiri. Bila mayoritas publik cukup mawas dan cerdas, maka besar kemungkinan bagi publik untuk terhindar dari paparan-paparan virus tersebut. Namun, bila publik berada di keadaan sebaliknya, maka dimulai lah lingkaran setan kebodohan yang terkombinasi antara pemimpin yang niretik dan masyarakat yang tak cukup terdidik yang pada gilirannya membuahkan iklim politik demokrasi yang busuk.

Permasalahannya, baik pemimpin yang niretik maupun individu yang tak cukup terdidik, seringkali tidak menyadari bahwa aktifitasnya secara kolektif adalah bencana jangka panjang. Dalam politik demokrasi, keberadaan pemimpin yang tidak menerapkan prinsip etis dalam sikap maupun kebijakannya dan dengan keberadaan masyarakat yang tidak mengenal prinsip etis, maka kita dapat menemukan semacam fenomena penindasan secara halus. Dimana masyarakat dieksploitasi ketidaktahuannya. Fenomena ini dapat dilihat pada praktik money politic yang terjadi di masyarakat bawah.

Dimana para budak aktor politik berkeliling dari rumah ke rumah atau mengumpulkan mereka disuatu tempat seraya membawa tentengan untuk diberikan kepada masyarakat tersebut dengan instruksi memilih kandidat A atau politisi B. Masyarakat yang tidak cukup paham, tentu akan menerima saja pemberian tersebut dan hampir pasti memilih sesuai instruksi yang dibrief oleh para budak aktor politik tadi.

Fenomena ini cukup memberi gambaran yang tegas betapa belum mapannya masyarakat terhadap politik. Sekaligus betapa rendahnya moral para politisi kita yang memanfaatkan ketidaktahuan publik demi kepentingan suara.
Politisi yang semestinya dalam hal Politik Etis bertindak sebagai pengayom masyarakat untuk cerdas dan memahami politik dengan baik, justru dibiarkan tetap pada ketidaktahuannya.
Karenanya, amat sangat baik bila eksistensi publik dalam suatu iklim politik hadir sebagai hardcore community yakni "kelompok para penyimpang" ditengah ketidaknormalan dalam lingkaran setan tersebut, dengan memulai memandang para aktor politik tersebut dari kacamata pesimisme dan keraguan sebagai dasar untuk menguji, memeriksa dan mempertanyakan.

Bagaimanapun, politik sebagai aktifitas masyarakat mesti dipandang sebagai kerja kolektif. Yang artinya, baik para elit dan aktor politik maupun masyarakat lapisan tengah dan bawah sama-sama terlibat bekerjasama untuk tujuan politik itu sendiri. Tentu, untuk tetap stabil pada komitmen tujuan tersebut, kendali stabilitas yang memungkinkan ada pada publik terutama masyarakat yang memiliki hak istimewa kepemahaman politik, yang notabene nya jauh dari sumber penyakit kemewahan dan kekuasaan, dan jauh dari ketersanderaan kepentingan-kepentingan. Keistimewaan ini yang tidak dimiliki para politisi.

Publik —terutama kelas bawah— mesti memahami sepenuhnya bahwa mereka adalah subjek —bahkan keberadaan mereka sentral— dalam politik demokrasi itu sendiri. Sehingga mereka tidak boleh mengizinkan dirinya untuk menjadi komoditi politik, pengekor para aktor politik yang tenggelam dalam fanatisme dan euforiaj semu. Dengan cara seperti itu, maka publik setidaknya telah memberi warning pada para aktor politik bahwa, "harga transaksi politik kita hari ini (antara publik dan pejabat publik) adalah suara yang ditukar dengan ide dan etika, bukan lagi suara yang ditukar dengan barang sembako dan amplop, atau bumbu-bumbu sentimen dan segala aktifitas yang tidak substansial."

Publik yang berpartisipasi dalam politik harus sadar akan kedaulatannya sendiri, bahwa suaranya sangatlah mahal, independensinya tidak bisa di ukur dengan apapun. Karena sejak awal kedaulatan itu melekat dalam dirinya. Publik, sekali lagi, tidak boleh mengizinkan kedaulatannya di intervensi, bukan lagi hanya objek yang dieksploitasi tetapi berdiri sebagai subjek yang bertindak.

Bogor, 4 Februari 2023

--

--