Every "Ship" Needs Their Boundaries

Salwa Nurmedina Prasanti
Komunitas Blogger M
3 min readJul 30, 2024
https://pin.it/2wgiwEdbl

Setiap hubungan memiliki batasan mereka masing-masing. Hubungan yang saya maksud bermakna luas, bisa jadi pertemanan, keluarga, bahkan percintaan.

Sebagai pribadi yang cenderung tertutup, saya lebih nyaman untuk menyendiri daripada beramai-ramai. Tentu saya tetap memerlukan komunikasi sesama manusia sebab saya pun makhluk sosial. Namun, tak sebanyak mereka yang berkepribadian terbuka.

Perasaan saya cenderung sensitif. Segala hal yang terjadi pada diri saya selalu saya pikirkan dalam-dalam. Hingga di suatu titik, saya menyadari bahwa hal ini menyusahkan diri dan membuat orang lain sulit berbincang dengan saya.

Sejujurnya, percakapan yang saya alami setiap harinya selalu membuahkan rasa tidak nyaman. Kendati pun dengan orang-orang terdekat, saya tetap merasa tak nyaman. Akan tetapi, saya tidak seharusnya merasa demikian.

Bergelut dengan pikiran sendiri sungguh melelahkan. Mungkin mereka yang berkomunikasi dengan saya tak berpikir sampai sana. Adalah fakta bahwa saya sering berdebat dengan diri sendiri hanya karena orang lain.

Sampailah di suatu saat, saya mengenal seseorang. Ia adalah sosok yang sederhana dengan pemikiran luar biasa. Semakin saya mengenalnya, semakin saya kagum dengan sikap dewasanya.

Ketika perdebatan dalam diri saya tak kunjung usai, saya tak tahu harus bertukar pikiran dengan siapa. Pikiran semakin keruh, begitu juga emosi yang semakin tak terkendali. Kala itu, saya hanya bisa menangis tanpa mengatakan apapun pada siapa pun. Namun, saya teringat orang itu.

Ya, saya menumpah-ruahkan segala permasalahan kepadanya. Mungkin dia agak kaget melihat sisi diri saya yang demikian. Dia hanya diam menyimak hingga saya berhenti berbicara. Setelah selesai, dia menanyakan beberapa hal dengan hati-hati. Ia takut akan menyinggung jika terlalu ingin tahu. Tentu saya menjawabnya satu per satu agar dia semakin paham tentang apa yang terjadi.

Saran demi saran ia sampaikan. Saya hanya menyimak sambil sesekali memberi respon. Di titik ini, saya benar-benar merasa punya seseorang yang bisa diajak bicara. Nyaman sekali rasanya hingga saya dapat menceritakan segala hal padanya. Pikiran saya yang selama ini menjadi teman debat akhirnya dapat beristirahat.

Lama-kelamaan saya pun merasa terlalu nyaman hingga jatuh hati tanpa disadari. Tiada hari tanpa mengabari. Tanpa sadar, saya telah menggantungkan hampir seluruh hidup padanya.

Sejatuh itu saya pada dirinya sebab selama ini, tak ada yang pernah melewati batas itu selain dirinya. Namun, ternyata itu hanya bagi saya. Ia tetap menjalani hidup seperti biasa tanpa menyadari ada yang berbeda.

Mungkin ia sadar saat aku begitu dalam menaruh hati padanya. Hingga kemudian ia menjauh sedikit demi sedikit. Saya pun mulai merasa bahwa kesepian mulai kembali menyelimuti hidup saya.

Bukan, itu bukan salahnya. Itu salah saya karena terlalu merasa bahagia. Ia yang saya harapkan dapat menggenapkan separuh jiwa, tetapi ternyata bukan.

Menguatkan jiwa saya yang rapuh itu bukan tanggung jawabnya. Itu tanggung jawab saya sepenuhnya. Saya tidak punya hak untuk menggantungkan hidup saya padanya.

Ia hidup untuk dirinya. Saya hidup untuk diri saya. Tentu segalanya akan kembali pada Tuhan.

Hubungan saya dengan dia bukanlah suatu kesalahan. Melalui itu, saya menyadari bahwa dua orang di dalam suatu hubungan bisa saling menguatkan. Namun, keutuhan diri adalah tanggung jawab masing-masing pribadi.

Sama seperti dalam pertemanan ataupun keluarga. Mereka adalah pelengkap dalam hidup kita, tetapi pemain intinya adalah diri kita sendiri. Kebahagiaan kita bukanlah tanggung jawab mereka. Itulah batasan-batasan yang harus kita ingat.

--

--

Salwa Nurmedina Prasanti
Komunitas Blogger M

IR student of Airlangga University || Politic and international affairs enthusiast