Fafifu: Menyoal Baliho Politik dalam Gelanggang Pemilu 2024

MabesTalk
Komunitas Blogger M
9 min readFeb 2, 2024
Sumber: https://images.app.goo.gl/NkzbpguqXEAusRhn6

Pemilu 2024 semakin dekat, hanya sekitar dua minggu lagi. Dalam kontestasi politik saat ini, salah satu yang menjadi sorotan adalah eksistensi baliho yang sering diperbincangkan terkait efektivitas dan dampak negatifnya.

Baliho sebagai salah satu media komunikasi politik telah digunakan oleh para politisi di Indonesia sejak dulu. Di sisi lain, baliho sering disebut sebagai media komunikasi politik konvensional atau kuno, karena sekarang teknologi sudah berkembang pesat yang melahirkan adanya media digital. Meskipun begitu, baliho para calon pejabat masih populer digunakan dan tersebar di berbagai tempat.

Sehingga, menarik untuk membahas dan memperbincangkan baliho dalam gelanggang kontestasi Pemilu kali ini. Saya dalam tulisan ini mencoba mengupasnya dengan harapan dapat memberikan pemahaman awal terkait diskursus baliho pada masa-masa menjelang Pemilu tanggal 14 Februari nanti.

Apa itu Baliho?

Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang yang kita sebut sebagai baliho juga disamakan dengan spanduk. Keduanya secara definitif sebenarnya berbeda dan banyak variasi definisinya. Namun, dalam konteks tulisan ini saya memaknainya sama saja, yakni sebagai salah satu media iklan luar ruangan.

Jika ditilik secara etimologis, baliho merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Hal ini dituturkan oleh Gus Luthfi dalam salah satu postingannya di media sosial.

Menurutnya, baliho diambil dari bahasa Arab “ballighu” artinya sampaikanlah, dari akar kata “balagha” menyampaikan. Ini juga bisa dilihat dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari yakni “بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْآيَةً” atau “Ballighu ‘anny walau ayatan“ yang berarti “Sampaikanlah olehmu sekalian dariku walaupun hanya satu ayat (al Qur’an).”

Lalu penyerapan kata tersebut mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan lidah orang Indonesia, dari “ballighu” menjadi “baliho” begitulah kira-kira asal-usul kata baliho menjamur di Indonesia. Namun, saya belum menemukan penggunaan kata ini sejak kapan dipakai dan dipopulerkan oleh masyarakat Indonesia.

Adapun secara terminologis, baliho adalah media iklan dalam ukuran besar yang ditempatkan di luar ruangan atau tempat terbuka. Media luar ruangan dapat merayu konsumen saat mereka sedang berada di tempat umum atau di perjalanan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita memang sering melihat baliho-baliho itu di tepi jalan, menempel pada sebuah pohon, ditalikan pada tiang atau pohon dan di atap sebuah gedung. Baliho juga bisa diartikan sebagai alat promosi yang memuat informasi jangka pendek dan cepat yang terkait dengan masyarakat yang lebih luas.

Dalam konteks politik, baliho disebut sebagai salah satu Alat Peraga Kampanye (APK). Hal ini tercantum dalam Pasal 32 ayat 2 Peraturan KPU nomor 23 tahun 2018 yang menyebutkan bahwa alat peraga kampanye mencakup baliho, billboard atau videotron, spanduk, dan/atau umbul-umbul. Baliho menjadi salah satu media untuk mengkomunikasikan pesan-pesan politik kepada masyarakat.

Sumber: https://images.app.goo.gl/yzTTRibFnB7m3pFx8

Efektivitas Baliho pada Era Digital

Sebelumnya, saya bersama kedua teman saya telah menulis mengenai baliho, khususnya membahas relevansinya pada era digital. (kalo mau baca, klik ini).

Dalam tulisan tersebut, saya menyimpulkan bahwa baliho sebagai salah satu media komunikasi politik masih relevan jika dipasang di tempat strategis dan dengan penyampaian pesan yang menarik.

Baliho sebagai media kampanye akan lebih efektif jika ditempatkan di area pedesaan yang tidak ada internet atau terbatas dalam mengakses informasi politik di media digital. Cara pesan ditampilkan pun krusial dalam efektivitas baliho. Pesan politik yang disampaikan harus menarik dan sesuai dengan konteks karakteristik masyarakat di daerah tertentu.

Namun, pada kenyataanya kita sering menemukan baliho itu di area perkotaan, biasanya ada di tepi jalanan. Padahal di area perkotaan itu, asumsi saya, pasti mudah untuk mengakses informasi melalui media digital. Alih-alih menggunakan media digital seperti media sosial, para politisi masih banyak yang menggunakan baliho di perkotaan.

Padahal jika melihat data pengguna internet di Indonesia setahun yang lalu itu mencapai mencapai 212,9 juta orang atau 77 persen dari total populasi negara ini.

Pertanyaannya adalah apakah baliho ini digunakan untuk menjangkau 23 persen masyarakat Indonesia yang tidak dapat mengakses informasi melalui internet? Saya kira tidak, jika dilihat dari tempat pemasangan baliho yang masih sering ditemui di area perkotaan. Inilah pentingnya menentukan segmen demografi dalam upaya kampanye.

Hal ini juga diperkuat oleh salah satu survei yang dilakukan oleh lembaga Praxis Public Relation (PR). Survei tersebut melahirkan temuan bahwa dari 1.001 mahasiswa yang tersebar di 34 provinsi, kebanyakan dari mereka menggunakan media massa online sebagai sumber informasi politiknya.

Disusul dengan Instagram, televisi, dan urutan terakhir adalah baliho. Survei ini juga menggunakan metode kualitatif berbentuk FGD. Hasilnya pun sama bahwa baliho di era sekarang tidak digunakan sebagai sumber utama informasi politik, khususnya di kalangan pemuda.

Potensi Media Sosial sebagai Media Kampanye

Para timses capres atau caleg harus mulai melihat potensi media digital (khususnya media sosial) dalam upaya kampanyenya. Media sosial populer seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter (X) memiliki potensi besar dalam upaya kampanye politik. Pada platform itu semuanya memiliki fitur boost atau iklan untuk menyebarluaskan pesan atau postingan secara lebih massif.

Meskipun saya belum menemukan survei yang memastikan efektivitas fitur boost iklan di media sosial, tapi setidaknya berdasarkan pengalaman saya, fitur itu cukup efektif. Semisal di Instagram, setiap saya membuka aplikasi tersebut pasti ada iklan yang muncul, entah itu dalam bentuk instastory maupun postingan. Begitu juga pada media sosial lainnya.

Kampanye di media sosial tidak melulu menggunakan buzzer dengan segala gimmick-nya yang malah membuat banyak orang risih. Para timses bisa menggunakan strategi yang lebih rasional dan menarik. Caranya bisa beragam.

Saran saya, uang yang dipakai untuk membayar buzzer itu lebih efektif jika dipakai untuk membeli fitur iklan yang telah ditawarkan media sosial. Para timses bisa mengulik cara penggunaannya, mungkin dengan menginstruksikan caleg yang diusung untuk pidato singkat soal gagasannya atau gimana gitu. Saya tidak ingin terlalu banyak ngasih saran soal ini, toh gak dibayar juga.

Strategi kampanye seperti itu juga perlahan bisa mendorong literasi politik masyarakat, sehingga fungsi pendidikan politik dari parpol pun terpenuhi. Masyarakat disodori pesan politik yang berkualitas dan diberikan kesempatan untuk memilih berdasarkan gagasannya, bukan karena viralitas settingan yang dilakukan oleh buzzer.

Sumber: https://images.app.goo.gl/N8rZ4DoaqjMJ5raY9

Dampak Negatif Baliho

Di samping pembahasan tingkat efektivitas, baliho juga sering diperbincangkan terkait dampak negatifnya. Ada banyak kemungkinan dampak negatif dari baliho yang mungkin luput dari pemahaman saya, sehingga hanya beberapa saja yang akan saya sampaikan.

Pertama, dampaknya pada lingkungan. Bahan pembuatan baliho banyak yang tidak ramah lingkungan dan malah mengakibatkan pencemaran lingkungan. Salah satu dosen saya, Pak Abie Besman, mengulas persoalan ini dalam tulisannya dengan cukup komprehensif.

Menurutnya, baliho yang menggunakan bahan vinyl dan plastik dapat menyebabkan dampak serius terhadap keberlanjutan lingkungan.

Apalagi mengingat Indonesia sebagai negara dengan tingkat produksi limbah plastik tertinggi di dunia pada tahun 2022, baliho-baliho hanya akan menambah tumpukan sampah yang sudah menggunung di berbagai tempat.

Sehingga, keputusan untuk berkampanye menggunakan baliho perlu dievaluasi ulang, terutama dalam paradigma ekologis. Meskipun mungkin ini hanya sebagian kecil dari jumlah seluruh sampah plastik di Indonesia, setidaknya dari menghindari cara kampanye lewat baliho, itu merupakan salah satu simbol komitmennya terhadap keberlanjutan lingkungan.

Kedua, memperkeruh pandangan atau menjadi sampah visual. Baliho-baliho yang tersebar di berbagai tempat seringkali malah menjadi pemandangan yang tidak estetis. Apalagi hanya memajangkan foto tanpa adanya gagasan, semakin memperkeruh pandangan mata saja.

Banyak baliho yang dipasang di tempat yang tidak proporsional sehingga mengganggu keindahan kota dan malah memperburuk tata perkotaan. Penempatannya yang terkesan asal pun menjadi salah satu alasan kenapa pada akhirnya baliho hanya menjadi sampah visual.

Ketiga, berpotensi untuk terjadinya kecelakaan di jalanan. Penempatan baliho di pinggir jalan terbukti telah mengakibatkan kecelakaan.

Setidaknya, ada lima kasus yang saya ketahui. Ada dua baliho caleg yang jatuh dan menimpa pengendara motor di Jakarta Barat, tepatnya di Kembangan dan Tambora. Dua kecelakaan lainnya juga sempat terjadi di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Satu lagi di daerah Kebumen, Jawa Tengah, insiden tersebut bahkan mengakibatkan salah satu korban meninggal dunia dan ada juga yang mengalami luka ringan. Ironis dan tragis.

Para timses yang bertugas memasang baliho ini benar-benar harus mempertimbangkan penempatan baliho secara bijak agar tidak menimbulkan kecelakaan.

Sumber: https://images.app.goo.gl/D1utBbMoAEeEuiV5A

Melihat Korelasi Antara Baliho dan Tingkat Elektabilitas

Saya belum menemukan banyak survei yang mengaitkan secara eksplisit antara efektivitas penggunaan baliho dan tingkat elektabilitas seorang politisi. Khususnya pada berbagai jenis demografi dan dalam konteks pemilu 2024.

Ada satu survei yang menunjukan korelasi antara pesan politik pada baliho dan tingkat elektabilitas politisi atau partai politik (meskipun tidak secara eksplisit).

Survei tersebut adalah survei yang dilakukan oleh lembaga Survei Nasional Indikator Politik Indonesia yang diterbitkan pada bulan Januari dan Desember 2023 lalu. Pada survei tersebut ditemukan bahwa PDIP menjadi parpol dengan tingkat elektabilitas paling tinggi. Dalam konteks paslon Capres, ditemukan bahwa Prabowo-Gibran menjadi paslon dengan elektabilitas paling tinggi juga. Di sisi lain, PDIP dan paslon Pra-Gib juga paling sering terlihat di baliho-baliho.

Namun, meskipun begitu, dalam survei tersebut saya tidak menemukan adanya pertanyaan apakah masyarakat yang memilih paslon Pra-Gib dan memilih PDIP itu kebanyakan berdasarkan informasi dari baliho atau dari media lainnya. Atau pertanyaan apakah masyarakat memilih PDIP dan Pra-Gib itu alasannya karena sering terlihat di baliho atau sering terlihat di media lain.

Sehingga saya tidak dapat menyimpulkan secara pasti apakah memang ada korelasi yang jelas antara pesan politik yang disampaikan melalui baliho itu berpengaruh secara langsung pada tingkat elektabilitas seseorang ataupun parpol tertentu.

Namun, jika ada kesalahan pengambilan kesimpulan atau kesalahan pembacaan saya atas survei tersebut, maka silakan berikan koreksi di kolom komentar atau japri saya melalui sosial media.

Hanya ada satu survei yang saya temukan terkait korelasi antara elektabilitas (tingkat keterpilihan) politisi dan adanya baliho yakni yang dilakukan oleh Litbang Kompas. Survei tersebut dilakukan pada Agustus tahun 2021, hasilnya adalah 68,9 persen menjawab pesan politik pada baliho tidak mempengaruhi pilihan masyarakat.

Sayangnya, hanya survei tersebut yang dapat saya temukan saat ini. Hal ini menjadi salah satu kekurangan tulisan ini.

Sumber: https://images.app.goo.gl/FZVjFY8Dgd7NhqG77

Menuju Transformasi yang Sistemik

Setelah uraian terkait dampak negatif dan semakin kurang relevannya baliho di era sekarang, maka menurut saya harus ada transformasi atau perubahan gaya kampanye secara sistemik. Dalam artian, bahwa perubahan gaya kampanye ini harus dilakukan sejak hulu-nya: negara dan parpol.

Meskipun KPU sudah membuat regulasi terkait penggunaan baliho dalam PKPU Nomor 10 dan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2020, yang berisi bahwa baliho paling besar ukuran 4 x 7 meter dan paling banyak 5 buah setiap pasangan calon untuk setiap kabupaten/kota, kenyataannya tidak berjalan secara efektif. Saya masih banyak menemukan caleg yang melebihi lima buah baliho.

Di sisi lain, peraturan itu belum cukup untuk mengatur penggunaan baliho secara proporsional. Indonesia padahal bisa berkaca dari berbagai negara yang telah mengatur penggunaan baliho sebagai media kampanye secara efektif dan tegas.

Pun dengan elite partai politik, sama halnya harus mengevaluasi secara serius terhadap gaya kampanye mereka agar bisa menyesuaikan dengan kondisi saat ini dan dampak apa saja yang mungkin ditimbulkan. Mereka harus memberikan ketegasan dan memastikan kader-kadernya tidak lagi menggunakan baliho secara serampangan dan merubah gaya kampanyenya.

Dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dan dampak negatif dari penggunaan baliho, pemerintah dan elite parpol harus melakukan transformasi sistemik secara adaptif dan serius.

Sumber: https://images.app.goo.gl/NZ8qrp18hir5T6aQA

Kesimpulan dan Saran

Dalam menyikapi peran baliho dalam konteks Pemilu 2024, dapat disimpulkan bahwa baliho masih menjadi sorotan utama dalam kampanye politik, meskipun teknologi digital telah berkembang pesat.

Namun, perlu diperhatikan bahwa baliho tidak selalu efektif terutama di era digital ini. Penggunaan media sosial dan platform digital memiliki potensi lebih besar dalam menjangkau pemilih, terutama di kalangan pemuda yang dominan menggunakan media tersebut sebagai sumber informasi politik.

Dampak negatif dari penggunaan baliho juga perlu mendapatkan perhatian serius. Bahan pembuatan baliho yang tidak ramah lingkungan dan potensi kecelakaan di jalanan menunjukkan bahwa perlu ada transformasi sistemik dalam gaya kampanye politik.

Ada beberapa saran yang saya harap dapat diterapkan guna mewujudkan praktik politik yang lebih baik di Indonesia, diantaranya:

  1. Pemerintah perlu mengawasi dan menegakkan regulasi terkait penggunaan baliho dengan lebih tegas untuk memastikan proporsionalitas dan keberlanjutan lingkungan.
  2. Partai politik dan calon pejabat perlu lebih adaptif terhadap perubahan zaman dengan memanfaatkan potensi media sosial dan digital untuk kampanye politik.
  3. Transformasi sistemik dalam gaya kampanye politik, termasuk peninjauan kembali penggunaan baliho, perlu diimplementasikan oleh elite politik guna mengikuti perkembangan teknologi dan meminimalisir dampak negatif.
  4. Survei atau penelitianlebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi korelasi yang lebih jelas antara penggunaan baliho dan tingkat elektabilitas, sehingga strategi kampanye dapat disusun dengan lebih tepat sasaran.

Sebagai penutup, terimakasih telah membaca tulisan saya yang agak panjang dan masih banyak kekurangan ini. Saya berharap ada saran atau kritik yang datang dari pembaca. Bahkan saya juga berharap tulisan ini bisa menjadi pemantik untuk diskusi lebih lanjut atau memantik lahirnya tulisan yang dapat menggenapi kekurangan tulisan ini, khususnya terkait diskursus baliho politik di era sekarang.

Penulis: Yoga Firman Firdaus

--

--

MabesTalk
Komunitas Blogger M

Tulisan para penghuni mabes di Jatinangor mengenai berbagai macam tema dan isu. Menghimpun dan mengkomunikasikan berbagai kesegaran ide dan gagasan.