Not-So-Fun Football

Hansel
Komunitas Blogger M
3 min readJul 31, 2022

When your legs don’t work like they used to before — Photograph

Photo by Franco Alani on Unsplash

Bayangkan, sekarang 2008, hari Jumat sore. Kamu sedang bersiap siap mau pergi ke lapangan bola. Pakai sepatu? pakai sandal? atau cuma nyeker? bukan jadi masalah, asal kamu rela sandalmu dipakai untuk jadi gawang. Bedak ga rata menutupi muka? Ah, nanti juga luntur kena keringat dan lumpur.

Kamu berangkat ke lapangan. Naik sepeda? jalan kaki? boncengan? Siapa yang peduli asalkan kamu sampai ke lapangan buat main. Jangan lupa bawa bola, yang udah butut pun bukan masalah.

Kamu tiba di lapangan, lapangan masih sepi. Tapi kamu tetap menunggu dengan senyum penuh harapan. Kamu yakin kalau teman temanmu pasti datang membawa bola. Kok bisa? padahal ga janjian sebelumnya. Kamu juga ga punya cara untuk menghubungi mereka kecuali kamu datang dan manggil ke rumahnya satu satu. Kamu ga peduli, kamu cuma ingin main.

Satu persatu temanmu mulai datang, permainan dimulai. Ada yang hobinya dribble bola bagaikan Lionel Messi, ada yang hobinya melakukan tendangan jarak jauh seperti Cristiano Ronaldo. Kamu bermain dengan kepercayaan diri seolah pemain paling hebat sedunia. Tak jarang permainan harus dihentikan karena para pemain tidak kuat menahan tawa ketika ada kejadian lucu seperti si kiper, tentu saja anak paling gendut yang terpaksa, terkena tendangan maut di muka.

Skor bukan menjadi masalah, yang mencetak gol paling akhir yang menjadi pemenangnya, tentu saja hal itu hanya menjadi hal yang sementara. Kan, besok main lagi. Sampai ternyata kata “besok” jadi “minggu depan”, dan “minggu depan” berarti “tidak pernah main lagi”.

Kemudian, kamu terbangun. Sekarang 2022. Kamu bangun dengan ogah dari tempat duduk, sambil mengetik “OTW” pada group chat yang ada di ponsel. Padahal, baru aja mau pergi mandi.

Kemudian kamu berangkat ke lapangan yang sudah disewa oleh teman yang paling antusias untuk main. Ketika sampai, kamu hanya melihat dia, yang sudah berpakaian lengkap, sudah siap untuk bermain. Jam sudah menunjukkan lewat 15 menit dari waktu yang dijanjikan. Kamu menunggu dengan cemas sambil melihat groupchat. Yang absen ada 15 orang, kok jam segini belum ada yang datang?

Akhirnya yang lain datang, permainan dimulai. Kamu menggiring bola melewati satu pemain, dua pemain, kemudian melepaskan tendangan terukur ke arah gawang yang berakhir dengan gol. Seluruh lapangan berteriak gembira, lu merasa seperti kembali lagi ke masa kecil. Sampai 10 menit pertama.

Ketika 10 menit sudah lewat, lu melihat sekeliling. Ada yang sudah kehabisan nafas, menaruh tangannya di atas lutut. Kaki kamu pun mulai merasa tidak nyaman. Ternyata aksi kamu di awal pertandingan tadi membuahkan hasil yang kurang baik. Ternyata otot otot di kaki kamu sama kagetnya dengan teman teman kamu di lapangan. Kamu merasa ada otot yang tertarik dan kemudian berjalan pelan ke pinggir lapangan.

Kenapa?

Padahal namanya Fun Football, tapi kenapa rasa senang yang didapat hanya sebentar? Memang ketika nanti sudah selesai main, kamu dan teman teman pergi ke tempat ngopi terdekat, dan berbincang dan tertawa mengingat masa lalu. Fun, tapi football-nya dimana?

Di tengah kemajuan jaman, di mana kamu bisa menghubungi teman untuk bermain kapan saja dan dimana saja, dengan akses ke lapangan yang memadai hanya tinggal sewa, mengapa mengumpulkan sekedar 10–15 orang untuk bermain selama 1–2 jam rasanya susah sekali?

Saya tidak lagi merasakan kesenangan dalam bermain. Fun Football yang seharusnya menjadi ajang bersenang senang, sekarang bagi saya hanya menjadi rutinitas saja. Sebuah acara yang saya ikuti hanya untuk bersilahturahmi bersama teman. Karena sejujurnya, kalau untuk menjaga badan tetap sehat, masih ada cara lain yang lebih aman dan tidak rawan cedera. Sepertinya itu yang orang orang katakan tentang menjadi dewasa

Saya tidak tau cara mendeskripsikannya dalam bahasa Indonesia, tetapi menurut saya, yang saya alami bisa dibilang falling out of love terhadap fun football. Sesuatu yang dulu membawa kesenangan bagi saya, sekarang tidak membuat saya merasakan apapun kecuali lelah. Sungguh tidak terbayangkan bahwa saya yang ketika masih kecil bercita cita menjadi pemain sepakbola profesional, sekarang hanya menjadi penikmat sepakbola dari layar kaca saja.

Jujur, hal itu menyebalkan. Atau menyedihkan. Saya belum menemukan kata sifat yang tepat. Tetapi saya sungguh ingin merasakan kembali kesenangan yang saya dapat ketika bermain sepakbola waktu kecil. Entah bagaimana caranya

We don’t stop playing because we grow old; we grow old because we stop playing.

We don’t stop playing because we grow old; we grow old because we stop playing. — George Bernard Shaw

Kalau lu menikmati tulisan ini dan ingin menghubungi gua. Gua aktif di sosial media yang lain yaitu Instagram dan Twitter. Gua juga menulis tentang sepakbola bersama dengan temen gua di Pass and Move

--

--