Gak Bimbel, Gak Yakin PTN

Bimbel dalam Keterikatan FOMO dan Pilihan Orang tua

Ventino
Komunitas Blogger M
5 min readFeb 14, 2024

--

Photo by Kenny Eliason on Unsplash

Kita tahu, sebentar lagi tahun kelulusan akan hadir. Apalagi tahun itu akan menjadi suatu yang istimewa bagi pelajar SMA. Dari riuhnya gejolak politik yang tengah mengalihkan isu, tentu banyak pelajar yang perlu fokus untuk mempersiapkan diri menghadapi kelulusan mereka. Melakukan pendaftaran dan menunggu hasil dari universitas negeri impian, akan menjadi sebuah pertarungan dengan monster terakhir sebelum pada akhirnya melangkah untuk melawan yang lebih mengerikan. Dan untuk mewujudkan impian itu, bimbingan belajar (bimbel) menjadi opsi yang meyakinkan untuk diselami. Dengan adanya bimbel, mereka yang merasa perlu mendapat pengayaan tambahan, bisa lebih terbantu.

Namun, jika ingin dilihat dari kacamata yang berbeda, bimbel bukan lagi hanya sebagai tempat untuk menambah ilmu yang merasa kurang di sekolah. Lebih dari itu, bimbel menjadi sebuah fasilitas untuk menjaga gengsi seseorang. Tapi, bila membicarakan perihal gengsi, lingkupnya menjadi rancu, sebab siapapun bisa berlindung dalam kalimat disuruh orang tua, apabila ditanya alasan mengikuti bimbel.

Jika ingin ditelaah lebih dalam lagi, sebetulnya seseorang yang mengikuti bimbel memiliki alasan yang lebih dari sekadar gengsi saja.

FOMO lebih dari sekadar itu

In Era Of FOMO

Untuk sebagian pelajar, mengikuti bimbingan belajar adalah sesuatu yang sah karena mereka dimudahkan mencerna pelajaran daripada di sekolah. Dalam “Studi Literatur Pengaruh Bimbingan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa SMA di Sekolah”, oleh Mayloka Y.C. dan Dodik A.D. dari Universitas Negeri Surabaya tertulis bahwa hasil prestasi belajar siswa yang mengikuti bimbel lebih meningkat dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti bimbel. Terlihat bahwa bimbel mempunyai kekuatan besar di dunia pendidikan, namun apa hanya untuk alasan itu para pelajar mengikuti bimbel? Tidak, alasan itu didukung faktor lain.

Remaja SMA memiliki kecenderungan ikut-ikutan. Mereka punya ketakutan tertinggal dari kawan-kawannya. Takut nilai rata-rata mereka di bawah kawan yang ikut bimbel. Takut tidak diterima perguruan tinggi negeri. Yang dari segala ketakutan itu, hadirlah fenomena yang bernama FOMO (Fear Of Missing Out) yang mengakar di dunia pendidikan.

FOMO kerap dikait-kaitkan dengan media sosial, padahal arti dari FOMO itu sendiri punya lingkup yang luas. Istilah FOMO pertama kali diperkenalkan oleh Patrick MC Gannis dalam artikelnya berjudul “Social Theory at HBS: McGinnis’ Two FOs”. FOMO dapat diartikan secara simpel sebagai “Takut tertinggal”.

Ketakutan itulah yang membuat mereka terus mengejar informasi yang tidak ada habis-habisnya di dunia maya. Sedangkan, kehidupan mereka sendiri dilontarkan begitu saja bagai seonggok sampah. FOMO ini dapat dikaitkan dengan para pelajar yang bersusah payah mengejar kawan-kawan mereka yang selangkah lebih jauh, khususnya dibidang akademik.

Untuk mensukseskan niat untuk mengejar itulah, yang pada akhirnya memutuskan mereka mengambil bimbingan belajar. Walau begitu pengejaran yang dilakukan bukan mengarah pada sesuatu yang baik, namun malah menurunkan kinerja tubuh.

Banyak bimbel di luar sana yang melakukan pengajaran mereka dengan sangat intens, dalam berbagai bentuk konsep belajar yang entah berguna atau tidak. Lebih-lebih untuk makin pintar, malah berakhir di ranjang seharian. Sebab mau bagaimana pun, kewajiban pelajar adalah bersekolah bukan bimbel. Itu akan menjadi lebih baik bila bimbel tidak mempengaruhi kegiatan belajar ketika di sekolah nanti, namun sayangnya tidak.

Banyak kasus yang saya temukan bahwa para pelajar itu bahkan lebih memikirkan kegiatan bimbel mereka daripada kegiatan di sekolah.

Misal, mengerjakan tugas bimbel di sekolah, atau lebih buruknya, lebih memprioritaskan tugas bimbel daripada tugas yang diberikan oleh guru di sekolah itu sendiri.

Saya tahu mereka sudah membayar lebih untuk bimbel yang mereka ambil. Namun, di sisi lain mereka juga membayar di sekolah. Pantaskah untuk mementingkan bimbel daripada sekolah itu sendiri?

Memang, tak semua sekolah memberikan pendidikan yang selayaknya pada para muridnya. Banyak sekolah di luar sana yang betul-betul kacau dalam mendidik. Tidak dapat membedakan yang namanya tugas tulis dan tugas beretika. Seharusnya, pelajaran budi pekerti menjadi sorotan kembali untuk jenjang SD hingga SMA. Dan dari segala ketidakteraturan itu ditambah dengan faktor FOMO itulah yang mendorong sebagian siswa mengikuti bimbel.

Peran orang tua dan pilihan

Photo by Ian Schneider on Unsplash

Anak mengikuti bimbel juga tak jauh dari keterlibatan orang tua dalam menentukan pilihan untuk anak-anaknya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya meraih kesuksesan. Dengan begitu, mereka rela untuk melakukan apa saja agar anaknya sukses di masa depan. Dan dalam kondisi di mana anak-anak mereka sebentar lagi duduk di jenjang perkuliahan, tentu lagi-lagi para orang tua merasa anaknya perlu mendapat pengayaan tambahan selain di sekolah. Bimbel menjadi pilihan mereka.

Peran orang tua dalam menentukan pilihan untuk anaknya adalah hal yang dinormalisasikan tanpa ingin tahu keinginan anak itu sendiri. Permintaan dari orang tua yang perlu dituruti itu menjadi faktor bahwa kegiatan bimbingan belajar yang seharusnya ditekuni dengan sungguh-sungguh malah menjadi sebuah beban. Sistem belajar yang diberikan bimbel dielak begitu saja. Memotong kompas untuk mendapat nilai dan hasil yang bagus dengan mencurangi sistem, apa begitu cara mengikuti sebuah bimbel? Bukankah bimbel ada untuk melatih dan mengajari kita tentang apa yang belum dimengerti? Kalau pada akhirnya kita membunuh sistem itu sendiri, maka tidak ada bedanya dengan mencontek di sekolah.

Tapi, kesungguhan dalam mengikuti bimbel menjadi poin utama yang perlu dipikirkan kembali. Bagaimana dapat memenuhi ekspektasi orang tua yang mempercayai anaknya dari siapa pun, hingga mengeluarkan uang lebih agar anaknya bisa bimbel. Dan mungkin, orang tua mengikutkan anaknya sebuah bimbel, bukan hanya sekadar dengan alasan agar anak itu bisa menjadi pintar dan bisa melampaui anak-anak yang lain, mereka berharap yang lain dari itu. Yang lebih besar dari sekadar kepintaran saja.

Memang lulus atau tidak lulusnya PTN, tidak tergantung pada bimbel. Banyak dari mereka yang bisa lulus hanya dengan usaha dan komitmen diri mereka sendiri. Namun, bila dikatakan bimbel bukan sebagai penentu, tidak juga, sebab fasilitas itu telah banyak membantu para siswa, terlepas dari keintensitasan mereka dalam mengajar.

Mengikuti sebuah bimbel bukanlah seperti mengikuti sebuah ajang kompetisi, dimana kita harus selalu berada di nomor satu, melainkan mengikuti bimbel adalah bagaimana kita belajar untuk merendahkan hati kita, membiarkan ilmu yang diberikan pengajar masuk dengan seutuhnya.

Dan perlu diingat lagi bahwa seseorang punya kapasitasnya masing-masing dalam menangkap suatu hal. Mulai membandingkan diri dengan orang lain adalah awal dari membunuh diri kita sendiri.

-fin

--

--