Hak Pilih Sedari Dini Perlu Dipertimbangkan Pemerintah

Kapan lagi kita bisa ngeliat anak SD pake kaos partai?

Harvest Walukow
Komunitas Blogger M
3 min readDec 9, 2020

--

Pada Pemilu 2019 lalu, adik saya yang masih kelas satu SD adu mulut dengan kawannya di teras rumah tentang siapa yang paling cocok memimpin Indonesia. Saya mengamati dengan saksama perdebatan dua orang bocah ini. Bak seorang juru bicara, keduanya saling melempar gagasan dan argumen yang bisa dibilang cukup logis.

Bahkan setelahnya mereka mulai saling mengklaim kemenangan~

Selama beberapa tahun ke belakang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga sudah sering melaksanakan simulasi pemilu bagi anak SD. Bukan hanya mencoblos surat suara di TPS, rangkaian simulasi penyelenggaraan pemilu dimulai sejak penyiapan poster dan spanduk, kampanye, penyampaian visi-misi, dan bahkan debat capres-cawapres. Itu semua dilakukan oleh anak-anak berusia sekolah dasar.

Berdasar pada dua hal tersebutlah, saya pikir, hak pilih sejak dini bisa kita pertimbangkan untuk direalisasikan. Sejak pertama kali duduk di bangku SD kelas satu, sepertinya sudah cukup untuk anak itu masuk ke dalam daftar pemilih.

Kalau anak SD saja sudah bisa, kami, yang SMP & SMA tinggal menyesuaikan. Apalagi anak STM, mereka pasti punya sejuta keresahan dan gagasan yang ingin disampaikan kepada pemimpinnya, sehingga anak STM menjadi garda terdepan yang bersemangat untuk ikut l̶e̶m̶p̶a̶r̶ ̶g̶i̶r̶ ̶d̶a̶n̶ ̶c̶e̶l̶u̶r̶i̶t̶ serta dalam Pemilu maupun Pilkada.

Jika semula salah satu syarat untuk masuk daftar pemilih berbunyi: “Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.” Maka bisa disulap menjadi: “Genap berumur 5 (lima) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara, sudah bisa baca, tulis, dan hitung.”

Sekiranya bapak/ibu tidak setuju dan menganggap saya goblok, mungkin betul. Tapi sebelum itu saya ingin menguraikan beberapa hal tentang mengapa ide brilian ini perlu kita musyawarahkan sama-sama.

Pertama: Anak Muda itu Polos dan Apa Adanya.

Tentu saja anak muda itu terkenal jujur, apa adanya, dan selalu mengandalkan hati nurani dalam setiap perbuatannya. Ini menjadi modal besar untuk memilih pemimpin yang tepat. Tidak akan ada juga yang namanya serangan fajar yang mampu menerpa kami, sebab tidak adanya tanggungan ekonomi, sehingga membuat kita dapat menilai secara objektif.

Kedua: Populasi Anak Usia 5–17 Tahun Cukup Besar

Hasil proyeksi penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sebesar 20.1 persen atau 57.56 juta jiwa penduduk Indonesia adalah anak-anak berusia 5–17 Tahun. Jika jumlah pemilih pada Pemilu 2019 lalu ada sekitar 192 juta, maka ketambahan 50 juta hak suara tentunya akan memberikan sejumlah dampak besar bagi negara.

Ketiga: Demi Terpenuhinya Sila Kelima Pancasila

Sudah saatnya kami menentukan pilihan! Suara anak harus didengar dan direalisasikan! Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berhenti menganggap bahwa wadah kebebasan berpendapat hanya diperuntukkan bagi orang dewasa karena dianggap memiliki wawasan yang lebih luas dibanding anak-anak.

Saya sering membayangkan bagaimana nantinya kalau ini benar-benar nyata terjadi.

Sejak masa kampanye para pemilih ini ikut serta menaikkan alat peraga pendukung seperti baliho dan spanduk, tak lupa juga mereka senantiasa dengan bangganya mengenakan kaos partai. Yang punya medsos akan menyerang akun lawan politiknya, walaupun berujung dikatai “bocah”.

Saat pemungutan suara, TPS akan penuh dengan anak-anak sekolahan. Persis seperti apa yang setiap pagi kita lihat di gerbang sekolah, itulah yang akan terjadi. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mesti bekerja ekstra untuk menjaga ketenteraman. Jangan sampai hal yang ditakutkan terjadi, tawuran misalnya, akibat anak STM terprovokasi oleh siswa STM lainnya yang berbeda pandangan politik. Atau jangan sampai anak SD main colok-colokkan pensil di TPS.

Abang-abang pedagang yang jual jajanan anak sekolah pun tidak mau ketinggalan. Tukang kue cubit, mie lidi, telur gulung, cilok, rambut nenek, serta kawan-kawannya akan mengalami kenaikan omset.

Bagaimana? Setelah carut-marut Pilkada 2020 ini, marilah kita mulai mempertimbangkan hak suara sedari dini. Saya terbuka terhadap berbagai kesempatan diskusi demi kemajuan kita dalam berbangsa dan bernegara. Para pemikir politik seperti Plato, Socrates, John Locke, maupun Immanuel Kant pasti belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya.

--

--