Hal-Hal Jenaka dalam Hari-Hari yang Mencurigakan

Edwin Fauqon
Komunitas Blogger M
3 min readApr 14, 2024

“Tapi fiksi, kautahu, harus masuk akal. Dan sesuatu bisa masuk akal apabila ada alasan yang melandasinya.”

Buku ini punya banyak aspek yang saya inginkan ketika membaca suatu novel. Tempo cepat, diksi yang blak-blakan, dan m e t a – di mana fiksi dan realita masa kini yang berjalan beriringan untuk membuat kita bertanya-tanya tentang keabsahan rekaan Dea, si penulis. Jenaka, unik, dan segar.

Cerita bermula dari penelusuran manuskrip buku puisi oleh Dea Anugerah, yang kemudian lebih dikenal dengan Soda Api, ke wilayah-wilayah kumuh dan memaksanya berurusan dengan organisasi penumpas komunis yang sama misteriusnya dengan Rudi Rodhom – penulis buku puisi yang sedang ia cari.

Dalam perjalanannya, salah satu informan kunci yang perlu ia hadapi dalam upaya pencarian jawaban adalah Dea Anugrah (tanpa e) yang menulis manuskrip yang berhubungan dengan Rudi Rodhom di suatu majalah. Dan cerita akan berkutat ada pergolakan batin Soda Api terhadap setiap orang dan peristiwa yang ia temui di perjalanannya.

Saya menyebut cerita ini meta karena ada banyak hal nyata dan fiksi yang bersinggungan dan bikin bertanya – sialan, apa ini benar atau hanya rekaan? Ia banyak menyebut nama yang familiar (sastrawan Indonesia kebanyakan), tapi juga nama yang terdengar asing dan mengada-ada.

Selain itu, ada banyak keriuhan di dunia nyata yang turut dimasukkan dalam cerita dengan detail-detail yang, sama seperti kebiasaan menyebut nama orang, bikin bertanya: apa ini benar atau hanya rekaan? Eksperimen yang menurut saya dapat dieksekusi dengan baik meskipun perlu adaptasi dalam beberapa halaman awal.

Cerita mengalir, sesekali berbelok ke arah yang mungkin tidak pernah kamu duga, serta mungkin membuat pembaca merasa tersesat dan bingung mau dibawa ke mana arahnya. Persis seperti orang mabuk bercerita. Tapi saya justru menikmatinya. Bagaimana cerita disampaikan dengan banyak punch-line – kalimat atau seruan menggelitik di hampir setiap akhir paragraf bikin rasa kantuk hilang. Meski, jika dirasa-rasa, sepertinya Dea terlalu menyenangi penceritaan seperti itu dan berpotensi bikin orang risih.

Penceritaan yang luwes lengkap dengan diksi yang unik juga umpatan yang bertebaran di sana-sini (yang mungkin penggambaran yang pas untuk tokoh Dea Anugerah alias Soda Api sebagai mahasiswa filfasat tingkat akhir) akan membawa pembaca ke dunia yang serba tidak ideal. Ngeyel, fafifu, dan mengutuk hal yang berseberangan.

“Manusia boleh ragu, bimbang, atau bahkan tersesat. Tapi jangan berhenti. Pada akhirnya semua akan mendapat jawaban, kecuali mereka yang berhenti mencari”

Novel ini ada teman yang baik karena bisa dibaca sekali duduk karena hanya memiliki 102 halaman. Terlebih lagi alur cerita yang cepat, kalau tidak lompat-lompat, bikin pembaca nyaman untuk mengikuti penelusuran Soda Api.

Debut novel (cerita panjang) yang cukup memuaskan dari penulis yang sempat mendapat penghargaan dari Rolling Stone yang menobatkan buku kumpulan cerpennya, Bakat Menggonggong, sebagai salah satu buku Indonesia terbaik dan termasuk dalam daftar pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2017.

Tentu saya akan menunggu cerita-cerita lainnya dari bung Dea.

--

--