Harmoni Bahasa & Kata

Bagian I: Senarai Panduan Berbahasa Yang Baik dalam Komunikasi, Empati, dan Narasi

Rizky Phalosa Ady
Komunitas Blogger M
6 min readMar 31, 2024

--

Selayang pandang dari JPO Tendean, Jakarta Selatan

Salah satu pelajaran yang cukup membekas dalam dua tahun terakhir bagiku adalah bagaimana berbahasa yang baik ketika berkomunikasi dapat memiliki dampak berarti dalam membangun hubungan dengan teman, kolega, atasan, hingga keluarga.

Pelajaran itu bermula pada dua tahun lalu, ketika aku mengawali karir profesional sebagai mitra program (program associate) paruh waktu secara jarak jauh (remote) di salah satu perusahaan rintisan layanan mentoring karier bernama Grou.

Semula ketika pertama kali bergabung, hal yang cukup mengejutkanku adalah hampir seluruh komunikasi tulis dan tutur dalam tim menggunakan bahasa Inggris. Adapun selebihnya, kami mencampur sebagian besar percakapan dengan bahasa Indonesia, baik dalam temu virtual melalui Google Meet, juga obrolan santai via Slack—layanan komunikasi intra tim layaknya Discord. Setidaknya, kala itu hampir separuh tim kami tengah atau telah lulus dari universitas luar negeri, seperti Amerika, Eropa, Malaysia, dan Australia. Meski awalnya terasa asing, perlahan aku mulai beradaptasi dengan lingkungan baru itu.

Hari demi hari, seiring waktu berjalan, aku mulai menyadari bahwa cara berkomunikasi dalam tim terasa begitu nyaman. Aku mulai bertanya-tanya, apa, sih, yang sebenarnya membuatnya terasa berbeda? Mengapa bisa enak sekali, ya? Pertanyaan itu terus bertengger di benakku hingga sebelum tulisan ini terbit—kutulis artikel ini sembari berefleksi mencari jawabnya.

Hampir setiap pesan yang terkirim, baik kepadaku, teman lainnya, maupun grup chat, seluruhnya nyaman dibaca. Tidak hanya pesan yang tertulis, tetapi juga yang tertutur, ketika dalam rapat daring atau dalam acara luring, seluruhnya terdengar sopan di telinga. Inti pesannya lugas tersampaikan, tidak tersembunyi. Kata-katanya lembut, nyaman bagi siapa pun yang menerimanya. Narasinya terbuka, memberi ruang diskusi untuk siapa yang menjadi lawan bicara. Cara manajerku menyampaikan pesan tidak berkesan menggurui, seakan kami setara meski terpaut jarak usia. Narasi afektif dan suportif juga kurasakan sehingga aku jadi lebih mudah untuk terbuka.

Oh, ya. Nama manajerku Bulan, lulusan ilmu komunikasi dari salah satu universitas terkemuka di kotaku. Kediaman kami tidak jauh. Sesekali, ketika aku pulang, kami bersapa di kafe sekitar kampus. Sekali dalam sepekan, kami meluangkan waktu untuk temu daring. Setiap temu itu, kami berbagi kabar mengenai segala hal yang sedang kami kerjakan. Aku juga berkonsultasi ketika memiliki masalah di sana. Adapun selebihnya kami bertukar kabar hidup masing-masing—mengenai dunia kuliah, buku dan bacaan, karier, hingga hubungan teman dan keluarga.

Aku tidak begitu ingat dalam konteks dan tanya apa di salah satu temu itu, tetapi suatu kali Bulan mengenalkanku dengan salah satu ragam komunikasi. Rupanya ragam itulah jawab dari tanyaku mengapa komunikasi kami dan rekan lainnya di Grou terasa begitu nyaman. Bulan menjelaskan komunikasi asertif. Satu ragam komunikasi dari tiga ragam lainnya: pasif, agresif, dan kombinasi keduanya, pasif-agresif.

Komunikasi asertif berarti menyampaikan rasa atau pikir secara langsung dengan terbuka (tidak pasif), juga tetap berempati terhadap perasaan dan memerhatikan hak lawan bicara (tidak agresif). Ada salah satu kutipan yang cukup baik merefleksikan akar komunikasi asertif dari Sharon Anthony Bower, penulis buku Asserting Yourself (1991),

The basic difference between being assertive and being aggressive is how our words and behavior affect the rights and well being of others”.

Bilamana sebelumnya kita merasa bahwa jujur dan seusai fakta sudah cukup untuk menyampaikan pesan kepada lawan bicara, rupanya keduanya itu belum cukup. Mengapa? Menurutnya, komunikasi asertif tidak hanya membawa esensi dari pesan kita, tetapi juga memerhatikan dampaknya kepada siapa yang menjadi lawan bicara.

Bagi teman-teman muslim, yang demikian itu selaras dengan salah satu tutur nabi Muhammad ﷺ yang pernah kita bersama dengar:

Man kaana yu’minu billahi wal yawmil aakhiri fal yaqul khairan aw liyasmut.

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam’.

Kemampuan dalam menggunakan kata-kata yang baik kala berkomunikasi rupanya berbanding lurus dengan keyakinan kita kepada Tuhan. Tentu ini menjadi catatan bagi kita yang mengaku yakin serta ingin memiliki hubungan baik dengan-Nya, tetapi masih kurang baik dalam bertutur kata terhadap sesama hamba-Nya.

Lebih dari itu, bahkan Tuhan menghendaki kita untuk tidak hanya berkata baik pada siapa-siapa yang berlaku baik saja, tetapi juga ke setiap dari kita. Mari menilik firman Tuhan ketika mengajarkan kepada Musa dan Harun bagaimana menyampaikan pesannya kepada Fir’aun dalam surah Taha,

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” — 20:44

Lalu bagaimana komunikasi asertif dapat kita praktikkan dalam kehidupan sehari-hari? Setidaknya ada satu hal yang dasar yang kutemui selama berkomunikasi dalam tim kala itu, mengutarakan pesan yang kita miliki secara terbuka.

Yang dimaksud secara terbuka adalah pesan yang kita sampaikan menampilkan seluruh sisinya, tidak ada bagian yang tersembunyi. Menampilkan seluruh sisi berarti menghadirkan konteks, memberikan definisi, serta aktif menyampaikan harapan, tidak hanya rasa atau pikirnya saja.

Tanpa konteks, mitra tutur boleh jadi kehilangan peta arah pembicaraan dari pesan yang disampaikan. Konteks berarti situasi yang meliputi waktu, tempat, serta proses yang kita maksud.

Tanpa definisi, barangkali lawan bicara memberi makna yang berbeda dari apa yang kita maksud. Dengan memberi definisi pula, setidaknya lawan bicara dapat mengira-ngira apa yang ada di benak kita, kemudian memahami pesan kita jauh lebih baik. Mari berusaha untuk tidak hanya melabeli sesuatu, tetapi juga menjelaskan apa maksud dari label itu. Tidak hanya mengatakan akibat, tetapi juga sebab.

Tanpa menyampaikan harapan, lantas bagaimana bisa mitra tutur memahami apa yang kita ingin atau butuh? Kita bukanlah Professor X dari komik Marvel yang memiliki kemampuan telepati. Kalau mengutarakannya saja belum tentu hasilnya sesuai dengan keinginan, bagaimana jika tidak diutarakan?

Terakhir adalah bagaimana rasa dan pikir itu kita suarakan.

Dalam menyampaikan pesan, setidaknya ada dua cara yang biasa kita gunakan. Pertama adalah fokus pesan pada mitra tutur, sedangkan kedua adalah fokus pesan pada diri sendiri sebagai penutur. Keduanya kita kenal sebagai “You” statements dan “I” statements. Masing-masing cara membawa narasinya, serta kelebihan dan kekurangannya sendiri. Lantas kapan waktu yang tepat untuk menggunakannya?

“You” Statements

Mari memosisikan diri kita sebagai siapa yang baru saja mendapati apresiasi dari teman kita. Mana ungkapan apresiasi yang kita lebih sukai?

“Aku bangga dan senang melihat pencapaianmu …”

atau

“Kamu hebat sekali! gigih terus belajar dan tidak mudah menyerah …”

Kita dapat melihat bahwa ungkapan kedua memberi kesan bahwa kita diperhatikan oleh lawan bicara. Sedang pada ungkapan pertama, mitra tutur hanya berorientasi pada dirinya sendiri. Oleh sebab itu “You” statement sangat ideal kita gunakan dalam mengutarakan pesan positif kepada mitra tutur.

Sebagai catatan, menggunakan “I” statement pada situasi ini tidak serta-merta salah karena ada kalanya kita mengharapkan kebahagiaan orang lain atas pencapaian kita, seperti misalnya bangganya ayah ibu kepada kita.

“I” Statements

Sebaliknya, menggunakan kata ganti orang pertama atau ‘“aku” dalam mengutarakan rasa yang cenderung kurang positif kepada lawan bicara, baik rasa atau pikir itu dalam bentuk kecewa, sesal, sedih, atau marah, dapat menjadikan narasi pesan yang tadinya berkesan negatif menjadi reflektif. Contohnya, mari beralih dari kalimat

“Kamu tidak perhatian denganku …”

menjadi

“Aku merasa kurang dihargai olehmu …”

Dengannya kita dapat menempatkan lawan bicara pada keadaan yang kita alami. Membiarkan lawan bicara berefleksi terhadap apa yang salah. Selain itu, kita dapat menghindari sikap menyalahkan lawan bicara yang mungkin menyebabkannya menjadi bersikap defensif.

Yang jelas, rasa apa pun yang kita alami valid keberadaannya. Adapun yang kita pikir ada pada orang lain belum tentu benar, bilapun yang kita sampaikan benar, maka tidak serta merta membuat keadaan menjadi lebih baik. Dalam situasi sesal atau sedih, mari berfokus kepada diri sendiri, sebab hanya itu yang kita pasti tahu, sedangkan yang lebih dari itu berada di luar kendali kita.

Berikut adalah formula yang dapat kita gunakan dalam mengutarakan pesan dengan “I” statements.

Formula “I” Statements dalam Komunikasi Asertif

Sembari membiasakan diri, kita dapat memosisikan diri sebagai lawan bicara sebelum berbicara. Dengannya, kita dapat mengetahui apakah bahasa dan kata yang kita gunakan membuat lawan bicara berkenan menerima pesan kita atau justru sebaliknya.

Akhir kata, suatu kali aku pernah mendengar kutipan yang cukup mengena dari salah satu tokoh publik ternama di siniarnya kala menjelaskan seputar logika dan rasa:

“Bahwa mungkin kita berhasil memenangkan debat, tetapi kita tidak memenangkan hati. Bahwa sebetulnya justru hatilah yang mampu memenangkan rasa, lalu kemudian mengubah logika”

Harapannya dengan mengetahui bagaimana komunikasi yang baik, kita dapat menjalin hubungan dengan siapa pun, atau setidaknya jika kita kehilangan arah, kita tahu ke mana harus kembali.

Terima kasih untuk Ale, Rey, Bulan, dan Saras, serta teman Grou seluruhnya!

Al-Qushayrī, M. I. A. 2004. Sahih Muslim: Abridged. khalid siddiqui.

Ilie, O., & Metea, I. 2015. Empathic and assertive communication. Efficient communication developments. Conference Proceedings, 21(1), 214–217.

Ali, M. M., 2014. The Qur’anic art of effective communication. Yasaarnal Qur’an.

Rogers, S. L., Howieson, J., & Neame, C. 2018. I understand you feel that way, but I feel this way: the benefits of I-language and communicating perspective during conflict. PeerJ, 6, e4831.

--

--

Rizky Phalosa Ady
Komunitas Blogger M

Every month, I share my stories and insights. Mostly about human nature, though I do like to sprinkle in some thoughts on language science. Let's connect!