Haruskah Hobi Dimonetisasi?

Dyah Laras
Komunitas Blogger M
6 min readNov 7, 2023
monetisasi hobi
Freepik

Di era hustle culture seperti sekarang ini, hal-hal yang biasa kita lakukan untuk mengisi waktu luang “dipaksa” jadi produktif, bahkan menguntungkan. Jadi untung atau malah buntung?

Platform pekerjaan freelance seperti Fiverr, Freelancer, Sribulancer, atau Project.co.id, memang makin memudahkan kita semua untuk mendapatkan side job dan penghasilan tambahan. Sejak pandemi, pencarian keyword “cara menghasilkan uang” memang makin melesat dan salah satu solusi yang jamak ditawarkan adalah dengan mendapat penghasilan dari hobi.[1] Suka menulis, desain, akuntansi, sampai fotografi? Semua skill dan hobi bisa Anda “jual” lewat platform-platform ini.

Saya salah satu generasi milenial dengan mimpi bisa mencapai financial freedom sebelum usia 40, yang tertarik dengan gagasan ini, dan sudah mencobanya.

Beberapa tahun lalu, ketika saya masih bekerja di divisi digital marketing, saya melamar menjadi seorang freelance writer. Meski memang punya basic menulis dan pengalaman jadi jurnalis, kala itu, fokus saya cuma satu, yaitu menyalurkan hobi menulis. Ketika saya mulai mendapat uang dari kerja freelance ini, happy banget, dong rasanya.

Tergiur dengan potensi cuan yang bisa saya hasilkan, apalagi adanya pressure dari teman sebaya yang kebanyakan sudah punya side hustle yang bikin iri: jualan kue, dagang baju, sampai jadi dropshipper, saya memutuskan berhenti bekerja untuk mengejar karier jadi fulltime writer. Long short story, saya menjadi fulltime in-house writer di sebuah agency. Keputusan yang nekat dan over-confident.

Nyatanya, adanya deadline, target menulis, dan tekanan dari kanan-kiri membuat saya mulai kelelahan dan kehilangan minat pada kegiatan ini. Saya jadi menulis bak robot. Pulang kerja, saya malah jadi sibuk mengejar deadline hingga dini hari dan paginya sudah harus nguli lagi. Exhausted.

Lucunya, sekarang setelah menjadi seorang editor (yang mana targetnya bukan menulis, tapi membaca dan menyunting), saya mulai menulis lagi dengan gembira, tanpa beban, seperti dulu kala.

Ini salah satu alasan mengapa saya berhenti memonetisasi hobi. Apakah saya menyesal sudah switch career? Nggak juga, bersyukur malah, karena berawal dari memberanikan diri nyebur jadi penulis, saya kini jadi editor.

Hanya saja, saya telah belajar untuk membiarkan hobi tetap menjadi hobi. Meskipun pada dasarnya tidak ada yang salah dengan mendapatkan cuan atau penghasilan tambahan dari hobi, tapi penting untuk meletakkan hobi dan pekerjaan di tempatnya masing-masing.

Mengapa Sebaiknya Tidak Memonetisasi Hobi

hobi yang menghasilkan peluang usaha
Freepik

Selain kisah saya sendiri, saya punya dua kisah ironi tentang bagaimana hobi mengubah hidup dua orang yang saya kenal.

Saya ingat beberapa tahun lalu, tetangga saya, seorang ibu-ibu karyawan pabrik, punya hobi baking dan karena rumah kontrakan kami bersebelahan, beliau sering memberi anak saya roti buatannya.

Karena rasanya beneran enak (mirip banget dengan Roti B*y yang dijual di mall), saya dan beberapa tetangga mencoba meyakinkan si ibu untuk mulai menjual roti buatannya. Menurut kami, ini jelas hobi yang menghasilkan peluang usaha.

Meski awalnya tidak percaya diri, nyatanya si ibu mulai banyak pesanan dari para tetangga untuk acara pengajian, selamatan, dan sebagainya. Sayangnya, setelahnya saya pindah rumah ke pinggiran kota. Belakangan saya tahu dari status-status di WhatsApp-nya kalau ibu berhasil membuka toko bakery-nya sendiri, masih di kawasan rumah lama saya itu. Rezeki banget ya, dari hobi jadi hoki!

Kisah lain, seorang kenalan lama (mantan vendor kantor dulu) menghubungi saya setelah sekian lama lost contact. Setelah saling menanyakan kabar, saya jadi tahu kalau beliau sekarang mengeklaim diri sebagai seorang make up artist. Beliau belajar autodidak saat pandemi dan (ngakunya) sudah banyak kliennya, mulai dari anak-anak yang mau kartinian, sampai mbak-mbak yang mau wisuda, pokoknya lengkap katanya. Sambil mengakhiri percakapan, tak lupa ada kata-kata call to action darinya untuk saya agar “melarisi dagangannya” ini.

Meski agak ragu, beberapa minggu kemudian akhirnya saya pakai juga jasa beliau, karena mau bikin foto keluarga, yang akhirnya saya sesali. Lha hasilnya itu lho, nggak sesuai sama request (padahal sudah saya briefing, bahkan saya berikan contoh make up yang saya inginkan dari foto).

Usut punya usut, rupanya beliau baru bisa satu genre make up saja: ala ala Barbie (yang memang hits di era pandemi lalu). Padahal saya sukanya “no pangling-pangling club” alias kalau bisa ya, seolah-olah “no make up” ala cewek-cewek di drakor.

Sayangnya, kenalan saya ini main pukul rata saja. Semua kliennya di-make up macam Barbie. Tentu saya menyadari kalau jasa make up itu seni, ya. Hasilnya memang bisa subjektif banget dan sesuai selera. Dan hasil make up teman saya ini kurang sesuai sama selera saya.

Poinnya, tidak semua minat sesuai dengan bakat. Punya hobi pun belum tentu berbanding lurus dengan skill atau kompetensi yang dimiliki. Bisa melakukan sesuatu pun, bukan berarti jago.

Meskipun ada banyak glorifikasi “dari hobi jadi money” di tengah hustle culture masyarakat kita saat ini, nyatanya, ada risiko mengubah hobi menjadi pekerjaan, yaitu mungkin saja ini tidak menguntungkan atau berkelanjutan dalam jangka panjang. Hanya karena Anda suka melukis, bukan berarti orang lain akan suka dengan hasilnya dan Anda akan dapat memperoleh penghasilan yang berkelanjutan dari hal tersebut.

Dinamika hobi berubah begitu menjadi pekerjaan. Tekanan untuk menciptakan “hasil terbaik” dapat menghilangkan proses kreatif. Yang awalnya sesuatu yang dinikmati, ketika jadi kewajiban, malah bisa jadi pressure.

Alasan lain kenapa Anda perlu mempertimbangkan menjadikan hobi jadi sumber penghasilan adalah Anda tidak bisa lagi melakukannya untuk diri sendiri. Sebab, ketika hobi jadi pekerjaan, Anda punya pelanggan yang harus dipuaskan, tenggat waktu untuk ditepati, serta ekspektasi untuk dipenuhi. Untuk kasus saya, yang terjadi pada akhirnya adalah kelelahan, kuwalahan, dan pada akhirnya, no more fun.

Padahal, menurut penelitian, melakukan hobi atau aktivitas yang menyenangkan justru akan menurunkan hormon kortisol seseorang, yang artinya, bermanfaat menjauhkan seseorang dari rasa sedih atau tertekan. [1] Nah, kalau perasaan ini sudah nggak ada lagi, berarti ada sesuatu yang salah, kan?

Kapan Hobi Bisa Dimonetisasi?

hobi menurut kamus
Freepik

Secara definitif, hobi memang dimaksudkan sebagai sumber kesenangan dan relaksasi, bukan pekerjaan utama.[2] Hobi artinya aktivitas yang kita lakukan karena kita menyukainya, bukan karena kita perlu menghasilkan uang darinya. Meskipun hobi dapat dimonetisasi dan menjadi pekerjaan sampingan alias side hustle, bukan berarti harus selalu begitu, kan?

Mertua saya misalnya. Beliau yang sudah puluhan tahun punya hobi merajut dan sudah punya puluhan koleksi tas, dompet, dan pernak-pernik yang sudah dibagikan ke sana-sini, justru menolak untuk mengisi masa pensiunnya untuk menjual hasil karyanya.

Beliau khawatir bahwa tekanan untuk membuat dan menjual lebih banyak handicraft justru menghilangkan kegembiraan yang beliau rasakan dalam aktivitas tersebut.

Namun bukan berarti hobi tidak bisa jadi pekerjaan sampingan, bahkan sumber penghasilan utama, ya. Ada banyak kisah sukses yang berawal dari hobi. Beberapa influencer yang saya ikuti berawal dari hobi mereka menata rambut atau merias wajah. Teman saya bahkan iseng-iseng bikin voice over atau fandub, yang membuatnya kini berkarier secara profesional dan menghasilkan uang dari hal itu. Ada juga yang berawal dari hobi ngeblog, dimonetisasi, dan kini jadi pekerjaan utama.

Jadi, kapan sih, hobi bisa dijadikan side-hustle? Hemat saya, jika kriteria di bawah sudah terpenuhi, Anda bisa mempertimbangkan memonetisasi hobi Anda.

1. Pastikan Hobi Anda Layak Dijual

hobi yang menghasilkan uang
hobi yang menghasilkan uang

Untuk memastikan bahwa hobi Anda layak dijual kepada orang lain, Anda perlu memvalidasi ide Anda. Cari tahu seperti apa hobi yang menghasilkan uang?

Uji ide Anda dengan calon pelanggan nyata sebelum menginvestasikan terlalu banyak waktu dan uang ke dalamnya. Ini membuat Anda terhindari dari membangun sesuatu yang tidak diinginkan oleh siapa pun.

Caranya, langsung saja tawarkan produk/ jasa Anda pada orang lain, baik secara offline maupun online. Kalau ada yang tertarik dengan hobi Anda, bahkan bersedia membayarnya, ini bisa jadi validasi bahwa ini adalah hobi yang menghasilkan dan ada pasar untuk hobi Anda di luar sana.

2. Pastikan Anda Bisa Berkompromi dengan Permintaan Pasar dan Ekspektasi Pelanggan

hobi yang menghasilkan
Freepik

Menawarkan produk/ jasa Anda ke pasar berarti Anda harus siap berkompromi dengan demand serta ekspektasi pelanggan. Siap dipuji juga siap dikritik. Ingat, hobi adalah sesuatu yang Anda nikmati sendiri, sedangkan jika Anda memonetisasinya, kepuasan pelanggan adalah kunci keberlangsungan bisnis ini.

Jika sudah bisa berkompromi dengan itu semua, Anda siap menjadikan hobi sebagai ladang penghasilan baru.

At the end, keputusan untuk memonetisasi hobi adalah hak masing-masing. Saran terbaik, kenali potensi diri dan lakukan dengan hati-hati, termasuk melakukan riset pasar dan kelayakan hobi Anda sebelum memulai. Tapi jangan lupakan bahwa kesehatan mental adalah yang utama.

***

--

--

Dyah Laras
Komunitas Blogger M

a storyteller by day, a rapper by night, a long-life learner