Ihwal “Windows Defender” yang Mendadak Viral

Ilustrasi oleh: @ahiruaiaruhi

Saya rasa, Bill Gates tidak pernah bermimpi bahwa antivirus bawaan perusahaan miliknya menjadi bahan pergunjingan di Indonesia. Setidaknya, saya sendiri merasa seperti itu. Meskipun update berkalanya membuat motherboard laptop dan hati saya jadi panas, tak pernah terlintas bahwa Windows Defender menjadi objek berita nasional di berbagai media berita.

Fenomena “di luar nurul, ga habis fikri” itulah yang sekarang sedang terjadi di Indonesia. Anda bisa coba sendiri dengan googling “Windows Defender” dan pilih jenis informasi “Berita” atau “News”. Dari urutan pencarian pertama hingga keenam, semua beritanya berisi tentang kehebohan peretasan data yang melanda Indonesia pada pertengahan 2024 ini.

Terhadap viralnya Windows Defender, masing-masing dari kita punya beragam pilihan. Kita punya pilihan untuk ikut marah-marah dan menertawakan salah satu kementerian yang seharusnya menjadi garda percontohan terdepan bagi seluruh rakyat Indonesia terhadap isu-isu teknologi, komunikasi, dan arus informasi. Atau, saya punya tiga pilihan lain yang bisa jadi alternatif solutif untuk memperkaya perspektif kita terhadap kejadian yang sedang terjadi belakangan.

1. Menyadari Pentingnya Mandiri Belajar Cybersecurity

Sepanjang pandemi COVID-19, Indonesia bisa kita katakan darurat cybersecurity. Indikasinya bisa dilihat pada menu “Inbox” di aplikasi SMS pada smartphone kita masing-masing. Seberapa banyak dan sering, nomor seluler kita menerima pesan-pesan iklan judi online? Atau untuk sebagian kasus (yang sialnya saya alami sendiri), pesan tersebut bahkan dikirimkan via WhatsApp!

Momen bobolnya data digital nasional Indonesia oleh peretas perseorangan harus kita jadikan alarm untuk mandiri belajar cybersecurity. Dengan sepenuhnya berpangku tangan dan manggut-manggut tanpa tahu apa-apa, kita sudah melihat sendiri bagaimana data kita diamankan hanya dengan Windows Defender dan berakhir kena pembobolan. Tiada pengusutan yang jelas tentang siapa yang sudah menganggarkan ratusan miliar dana pemerintah untuk memakai antivirus bawaan Mbah Bill Gates tersebut.

Beraneka cara sederhana bisa kita lakukan untuk belajar cybersecurity, kok. Buat kita-kita yang cukup kaya raya, bolehlah coba googling best password managers” dan pilih salah satu provider digital yang kita rasa paling meyakinkan. Tentang keawaman kita terhadap beraneka provider jasa pelindung sandi dan akun-akun pribadi tersebut, memang itu juga salah satu ironi yang saya rasakan di atmosfir internet Indonesia; banyak YouTuber luar negeri yang sudah rutin endorsing produk-produk semacam itu, sementara YouTuber Indonesia masih sedikit sekali yang melakukan endorsing serupa.

Selain berlangganan password managers provider tadi, kita bisa juga menempuh opsi gratis berupa ketelitian mengarsipkan seluruh sandi dan akun pribadi. Kita bisa menyimpan dengan mencatatnya di buku tulis fisik karena rentan “gali lubang, tutup lubang” kalau kita simpan kerahasiaan digital semacam itu di perangkat digital juga. Pastikan juga semua password kita memiliki kombinasi yang cukup susah, atau bahkan bisa kita perbarui secara berkala (misal tiap tiga bulan sekali). Rutin login hanya via incognito mode di browser juga bisa kita lakukan meskipun bakal menuntut pembiasaan dan kesabaran pada awalnya.

2. Fokuskan Kritik Struktural, Alih-Alih Gibah Figural

Kita bisa saja, di mana pun ruang beropininya, memilih untuk dominan menyalahkan pemerintah. Kita bisa memilih untuk merasa terzalimi dan tersakiti, atas performa pengamanan data digital nasional yang sudah sangat-sangat fatal kemarin. Tetapi, bukankah pada akhirnya kita secara individual harus tetap berpikir komprehensif?

Artinya, janganlah kita menjadikan momen peretasan data per pertengahan Juni kemarin hanya sebagai ajang marah-marah dan mengejek satu oknum semata. Yang demikian tidak akan membantu pemikiran dan kedewasaan berkembang pada tahap yang lebih kritis. Sebaliknya, momen peretasan data kemarin harus kita lihat sebagai iceberg dari segunung problematika telekomunikasi yang sudah mengakar kuat di Indonesia.

Beraneka decision making oleh para stakeholder perlu kita lihat sebagai suatu masalah struktural; masalah kolektif yang besar dan sangat rentan terulang jika kita hanya berfokus pada satu titik/aktor saja. Siapa pun kita (warga awam, techno geeks, gamers, peneliti, akademisi), sejatinya kita punya hak untuk mendaya gunakan akal masing-masing secara lebih maksimal; setidaknya, dibanding sekadar menebar opini kebencian dan kemarahan dengan forward konten yang “begitulah-visualnya” di berbagai grup Whatsapp.

3. Saatnya Akademisi dan Analis Soshum “Keluar Kandang”

Secara khusus, peretasan data digital nasional yang terjadi berbarengan dengan kebijakan pengamanan berbasis Windows Defender memicu tanda tanya besar dari segi policy brief. Proses riset dan diskusi seperti apa yang sudah terjadi di tubuh Kominfo, sehingga bisa-bisanya memakai ratusan milyar rupiah dari Kementrian Keuangan hanya untuk memakai antivirus favorit para mahasiswa kere tersebut?

Sungguh, ada problem transparansi dan kolaborasi yang patut dicermati berkaitan dengan proteksi data digital nasional oleh Kominfo tersebut. Secara khusus, keterlibatan akademisi dan analis soshum terhadap isu-isu cybersecurity berskala nasional perlu dicermati kembali. Apakah para cendekiawan tersebut sudah bersuara dan bergerak untuk memberi saran-saran yang tepat sasaran? Jika belum (dan mungkin lebih sibuk mengurusi beraneka diskursus nondigital), kenapa? Jika sudah, bagaimana penyaluran aspirasinya hingga ke layer pejabat teratasnya?

Yang saya khawatirkan, para cendekiawan baru berkeliaran beropini setelah Kominfo kebobolan. Lah, telat bosque. Beropini itu sangat berguna pada tahap prevensi. Kalau beropininya baru saat rame-rame ambil tindakan kuratif, itu cenderung profit motif atau cari panggung dengan tebar sensasi.

Pada akhirnya, kita bisa apa?

Yang terpenting dan selalu penting, kita bisa belajar. Paling tidak, kita belajar memahami betapa problematisnya kondisi struktural terkait dengan pengaturan telekomunikasi digital di Indonesia. Lalu, kita juga bisa mempelajari (atau minimal menyadari) pentingnya ilmu cybersecurity bagi keamanan data sekaligus nyawa kita masing-masing. Pungkasnya, terkhusus bagi diri penulis pribadi selaku sarjana sosiologi, sangat memalukan kiranya ratusan teori sosiologi tidak didayagunakan untuk mengedukasikan beraneka perspektif solutif bagi segala macam permasalahan seputar isu sosial dan teknologi.

--

--