Ilusi Pengharapan

kang abi
Komunitas Blogger M
4 min readSep 21, 2024
Dokpri

Katanya, sebuah pengharapan adalah apinya kehidupan. Cobalah berharap, maka ketika itu pula kita seperti mendapat dorongan daya gerak ke arah tujuan. Pengharapan seperti sedang menyiapkan suatu kemungkinan membentang menjadi kenyataan. Bahkan, ada yang mengimani kalau pengaharapan itu pintu terbuka datangnya keajaiban.

Alusi yang lebih ndakik-ndakik lagi soal pengharapan juga pernah saya dengar, “Harapan adalah sayap bagi mimpi-mimpi kita.” Di lain tempat, pengharapan disebut sauh yang kokoh, demikian di dalam Ibrani 6:1-20 ayat 19, “Pengharapan adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.”

Suatu saat seseorang pernah mengajarkan saya sepotong doa yang memberi kedudukan sebuah pengharapan, “Irham man ra’su mâlihir rajâ’ wa silâhuhul bukâ.” Kasihanilah orang yang hartanya hanya harapan dan senjatanya yang tersisa cumak tangisan. Doa ini seolah mengatakan, keterpurukan, kegagalan, kekalahan, kehancuran tetaplah menyisahkan sebongkah harta berharga: harapan.

Agaknya, pengharapan memainkan peranan penting dalam kehidupan kita.

Pengharapan bekerja di wilayah psikis kita. Bila kita mengamati bagaimana kemunculannya, ia datang sebagai ilusi waktu yang sekaligus membawa sensasi semacam kelegaan. Waktu dan perasaan menjadi plastis, serasa mulur juga mungkret.

Pengharapan ada, karena kita tak pernah mampu berada di momen kini-di sini. Pada momen kini-di sini, pengharapan absen. Kebalikan dari apa yang dituturkan Goenawan Mohamad, “Jangan-jangan Tuhan menyisipkan harapan bukan pada nasib dan masa depan, melainkan pada momen-momen kini dalam hidup, yang sebentar tapi menggugah, mungkin Indah” (Goenawan Mohamad-Caping-7).

Tuhan tak menyisipkan harapan dan Ia juga bukan harapan itu sendiri, karena ke-frustasi-an adalah jejak sejarah ketika kita berharap padaNya. Romo Anthony de Mello SJ juga mencatat ini: berharap dalam Tuhan berarti tidak ada harapan.

“Pilot berkata kepada para penumpang di tengah penerbangan: “Saya menyesal harus mengumumkan, bahwa kita dalam keadaan gawat. Hanya Tuhan dapat menyelamatkan kita. ” Seorang penumpang berpaling kepada seorang imam dan bertanya, pilot tadi berkata apa dan dijawab: “ Ia bilang, tak ada harapan lagi.” (Doa Sang Katak 1)

Tuhan (meminjam yang dikatakan Goenawan Mohamad) adalah yang menggugah dan indah itu, Ia-lah momen kini-di sini, tanpa kini-di sini tiada kehidupan; manusia berlari menjauhi kini-di sini, manusia lari dari kehidupan. Dan pelarian itu adalah pengharapan.

Pengharapan mustahil dikenal oleh kita manakala keadaan sedang lempang alias sedang tak mengalami kemelut dan bergulat dengan problema kehidupan.

Kala hidup kita sedang tidak ada persoalan, apalagi hati sedang berbunga-bunga, gembira, bahagia, bagaimana mungkin pengharapan akan muncul? mau mengharap apa lagi? orang yang sedang berbahagia tidak sempat memiliki pikiran untuk masa yang akan datang — waktu psikis tidak muncul, esok tidak perlu ada, tidak perlu menanti, kita hanya hidup saja tanpa perlu khawatir apa-apa lagi.

Tetapi sayang, bukan hidup namanya kalau segala menetap, termasuk keadaan dan perasaan. Seturut surut satu per satu perasaan bingah dan kegembiraan berangsur lelayu, rasa bahagia mulai menuntut dilengkapi; ketidak-puasan menggilir jadi tirani.

Rongrongan ketidak puasan yang adalah pantulan dari jiwa yang selalu melekati apa saja, berada dalam kegetasan, rapuh dan merasa hidupnya selalu tidak genap, jiwanya merasa ada bolong yang harus disulam, ada lubang yang harus diisi, ada kering yang mendesak dilimbur. Seturut itu pikiran mulai bekerja membangun rongga dalam kepengapan. Tapi rongga yang cidera.

Sebagai ilusi waktu, pengharapan adalah akanan — waktu yang dirasakan sebagai masa depan. Keadaan dan perasaan aktual yang tidak nyaman, riskan, kalah bahkan mengancam kita, ditanggapi oleh pikiran dengan cara menciptakan masa depan, serasa ada waktu lain di luar yang saat ini (keadaan yang sedang tidak berpihak).

Masa depan yang sejatinya misteri kehidupan menjadi seolah terjamah dan tercium aromanya. “Siasat” pikiran ini adalah upaya berkelitnya diri dari himpitan yang aktual.

Jadi, masa depan, yang nanti, hanyalah produk modifikasi dari masa kini yang gagal, dan dengan meyakinkan mengelabui diri kita sendiri bahwa kita punya waktu, kita punya kesempatan lain, kita punya masa depan untuk menebus segala yang rungkad di saat ini. Kita punya nanti, ya nanti bukan sekarang, bukan kini-di sini. Robet Holden penulis “Happines Now” mengibaratkan ber-pengharapan sama seperti berdiri di suatu tempat antara “nanti” dan “kini”.

“Kita bermaksud menikmati keberhasilan tapi bukan sekarang; kita akan menikmati hidup kita, tapi bukan sekarang; kita berniat menjadi pasangan yang lebih baik, tapi bukan sekrang; kita ingin melewatkan waktu bersama anak-anak, tapi bukan sekarang; kita suka berhenti sejenak untuk mencium bunga-bunga, tetapi bukan sekarang.”

Pengharapan ibarat hantu gentayangan. Ia muncul dalam setiap celah ketidak mutlakan dualitas hidup. Dalam kegembiraan kemenangan, ada kesedihan yang direngkuh oleh pihak yang kalah. Juga, “Dalam hidup, gelap tak pernah lengkap, terang tak pernah sepenuhnya membuat siang. Dalam celah itulah agaknya harapan: sederhana, sementara, tapi akan selalu menyertai kita jika kita tak melepaskannya” lanjut Goenawan Mohamad di Caping 7-nya.

Melepaskan sepenuhnya dari pengharapan sama artinya membebaskan diri dari ilusi yang menjambak kita dan membawa “menuju ke sana”.

--

--