Indonesia dan Fatherless

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
5 min readMay 31, 2024

--

Image on globalsportmatters

Pendidikan menjadi salah satu faktor penting terhadap baik atau buruknya perkembangan seorang anak menjadi manusia dewasa. Generasi muda terutama anak-anak memerlukan pendidikan karakter yang matang sehingga generasi yang dibangun dapat menjadi penerus bangsa yang berkualitas. Pendidikan karakter ini dimulai sejak dini, dalam ruang lingkup kecil yaitu keluarga.

Peran keluarga yang mampu membimbing anak-anak mereka menuju manusia berkualitas menjadi suatu hal yang urgen. Keseimbangan pendidikan karakter anak usia dini di rumah mendorong generasi muda mampu menjadi generasi yang sehat, sekaligus berkarakter pula. Namun, jika saja peran orangtua putus di tengah jalan maka tujuan mencetak generasi muda yang berkualitas akan semakin sukar.

Peran orangtua antara ayah dan ibu perlu hadir dalam setiap tumbuh kembang anak-anak. Ayah, sebagai kepala keluarga hendaknya mengayomi setiap fase perkembangan anak, membimbing, dan selalu senantiasa mendidik anak-anak dengan baik pula. Akan tetapi dewasa ini menunjukkan adanya fenomena yang berkebalikan mengenai pengayoman seorang ayah.

Banyak keluarga di Indonesia mempunyai seorang kepala keluarga, yaitu seorang ayah. Walaupun begitu, perannya terasa hilang dan hambar dalam setiap tumbuh kembang anak. Mengapa bisa terjadi demikian?

Fatherless di Indonesia

Negara kita, Indonesia Raya berada pada peringkat ketiga tertinggi di dunia dalam kategori fatherless country (Fajarrini & Umam, 2023). Lalu pertanyaannya ialah, apa itu fatherless?

Fatherless merupakan sebuah kondisi atau fenomena tidak hadirnya keterlibatan seorang figur ayah yang dialami seorang anak pada suatu keluarga. Ketidakterlibatan ini mencakup dua sisi yaitu ketidakterlibatan fisik maupun psikis. Dalam banyak kasus, ketidakterlibatan emosional atau psikis yang dialami anak lebih banyak terjadi dibanding ketidakterlibatan fisik. Ayah hadir dan masih ada, juga masih hidup di dalam keluarga namun dirasakan tidak ada atau hambar figurnya di dalam kehidupan seorang anak. Sedangkan untuk ketidakterlibatan fisik bisa terjadi ketika seorang ayah pergi meninggalkan dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Bahkan, definisi fatherless semakin diperketat bahwa masih hidupnya seorang ayah akan tetapi kehadirannya terasa hilang dan tidak berdampak.

Fatherless memberikan kenyataan pahit bahwasanya ketidakhadiran seorang ayah memberikan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan bagi seorang anak. Seorang anak yang kurang kasih sayang dan percontohan yang baik oleh ayahnya akan mengalami ketidakseimbangan psikis sehingga kecenderungan melakukan pola kehidupan yang negatif akan semakin meningkat.

Peran seorang ayah yang tidak siap ketika membina keluarga menjadi pemicunya terjadi fenomena fatherless. Mengambil data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2017, hanya sekitar 27,9% calon ayah sebelum menikah yang benar-benar mempersiapkan diri menjadi seorang ayah dalam artian mencari edukasi bagaimana mengasuh dan membimbing seorang anak. Sedangkan setelah menikah angkanya mencapai 38,9%. Ini membuktikan bahwa sebagian besar calon ayah tidak benar-benar memperhatikan dan mempelajari bagaimana seharusnya menjadi seorang figur ayah yang mengayomi anak-anaknya nanti.

Paradigma Patriarki

Salah satu faktor utama fenomena fatherless kerap terjadi ialah karena masih adanya paradigma pengasuhan anak yang dipengaruhi oleh budaya patriarki. Pengasuhan ala patriarki ini memiliki pandangan bahwasanya praktek pengasuhan anak di rumah hanya diwakili oleh seorang istri saja. Seperti pada artikelku sebelumnya mengenai “Mencari RA Kartini Baru pada Generasi Muda”, wanita hanya memiliki tiga peran saja dalam banyak budaya patriarki yaitu macak, manak, masak (berdandan, memasak, dan mengurus anak).

Kondisi pengaruh dari budaya patriarki seperti inilah yang membuat rusak keseimbangan pengasuhan di dalam keluarga. Kurangnya intensitas dari seorang ayah dalam berbicara dan bermain atau berdiskusi bersama anak merupakan implikasi dari paradigma ini. Interaksi yang dibangun hanya sebatas menyapa dan sekadar menanyakan sudah makan atau belum, atau hanya sekadar meminta bantuan tanpa sampai menaruh perhatian lebih terhadap anak. Perhatian ini mencakup perhatian secara psikologis yang memberikan pendidikan karakter yang baik kepada anak.

Kurangnya intensitas mengobrol dan interaksi antara seorang ayah dan anak menciptakan rasa canggung serta ketidakpuasan hubungan emosional kepada seorang anak. Menurut studi, sekelompok anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang akan sulit dalam berinteraksi secara interpersonal dengan orang lain (Maryam & Mulyaniapi, 2022).

Budaya patriarki yang mengakar sejak lama di dalam masyarakat yang berimplikasi terhadap fenomena fatherless ini akan mengkungkung anak dalam setiap perkembangan diri dan bakatnya. Anak cenderung tidak mampu meningkatkan value di dalam dirinya secara optimal tanpa adanya dukungan yang baik dari seorang ayah.

Interaksi yang Berkualitas

Interaksi yang berkualitas dan intens antara orangtua terutama ayah dengan anak dapat mempengaruhi segala tumbuh kembang dan pertumbuhannya. Hubungan keluarga yang harmonis mampu meningkatkan interaksi yang intens dan berkualitas sehingga memiliki kausalitas terhadap menurunnya fenomena fatherless. Oleh karena itu, komunikasi yang optimal akan mampu menyeimbangkan persepsi seorang anak terhadap pola asuh orang tua. Pola asuh yang baik akan memberikan pengaruh yang positif pula terhadap karakter seorang anak.

Keterlibatan orangtua terhadap tumbuh kembang anak akan mampu mendorong kesehatan mental anak yang lebih baik. Kepuasan dan kualitas hidup seorang anak akan mampu lebih mudah tercapai. Interaksi yang berdasar kasih sayang, cinta, perhatian yang baik kepada anak membuat seorang anak merasa mempunyai orangtua yang hadir pada setiap fase di dalam perkembangan diri mereka menuju dewasa.

Interaksi yang intens dan berkualitas ini perlu dibangun dengan utuh. Kesiapan-kesiapan menjadi orangtua, peningkatan kualitas diri setiap calon ayah, serta kematangan finansial merupakan tiang-tiang utama untuk membentuk keluarga yang harmonis.

Semuanya Akan Menjadi Seorang Ayah

Memang, kita belum menjadi orangtua saat ini. Ya, tentu saja. Aku masih delapan belas kawan, mungkin kalian juga masih pada tahap SMA dan kuliah. Masih ingin berfokus terhadap diri sendiri dulu tanpa memikirkan mengenai membangun keluarga, punya anak, punya rumah dan lain sebagainya.

Tapi yah, namanya hidup akan terus berjalan. Memang sebagian besar dari kita akan menjadi ayah nantinya (jikalau punya jodoh dan menikah). Meningkatkan value diri, kematangan finansial, emosional dan lain-lain merupakan tanggung jawab kita nantinya. Bukan hanya sekadar punya anak dan lepas dari tanggung jawab ini-itu.

Kalau kata Buya Hamka mah begini,

“Kalau hidup hanya sekadar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar kerja, kerbau di sawah juga kerja.”

Ungkapan yang bijak dari leluhur kita dahulu. Hiduplah menjadi manusia yang benar-benar manusia. Manusia yang memanusiakan manusia lainnya. Manusia yang berpikir.

Thank you sudah membaca. Peace.

Sumber:

Alfasma, W., Santi, D.E., & Kusumandari, R. (2023). Loneliness dan Perilaku Agresi pada Remaja Fatherless. Sukma: Jurnal Penelitian Psikologi, 3(01), 40–50.

Asfari, H. (2022). Peran yang Terlupakan: Pengasuhan Ayah pada Keluarga dengan Anak Berkebutuhan Khusus di Indonesia. Psyche 165 Journal, 1–6.

Fajarrini, A., & Umam, A. (2023). Dampak Fatherless Terhadap Karakter Anak Dalam Pandangan Islam. ABATA Jurnal Pendidikan Islam Anak Usia Dini, 3(1), 20–28.

Maryam, M. S., & Mulyaniapi, T. (2022). Gambaran Kemampuan Self-Control pada Anak yang Diduga Mengalami Pengasuhan Fatherless. PIAUDKU: Journal of Islamic Early Childhood Education, 1(1).

Prianggadani, A., E., & Nindhita, V. (2023). Fenomena Fatherless dari Sudut Pandang Wellbeing Remaja (Sebuah Studi Fenomenologi). Cakrawala: Jurnal Humaniora Bina Sarana Informatika.

--

--