Indonesia dan New (Ab)normal-nya

Aulia Fitri
Komunitas Blogger M
5 min readJun 6, 2020
Photo by Mika Mika Baumeister on Unsplash

Coronavirus-19 (COVID-19) nyatanya saat ini momok yang bikin pasrah perekonomian dunia, setelah peristiwa 9/11 dan krisis finansial global 2008. Wabah ini selalu jadi bahan diskusi yang tidak habis-habisnya, bahkan jadi topik sarapan di meja makan. Kualitas negara secara general sekarang ditentukan oleh bagaimana respon pemerintah dan segenap masyarakat menanggapi dan mengontrol pandemi ini.

Sebut saja Vietnam, Kamboja, Timor Leste dan Laos yang akhirnya sukses mencopot status darurat COVID-19 di Asia Tenggara. Negara tersebut mengklaim angka infeksi yang rendah tanpa peningkatan kasus mortalitas pasien melalui data Worldometers. Tentunya ini dapat diraih setelah sempat jungkir-balik dengan penanjakan kasus tiga bulan lalu.

Negara maju lain, ambil contoh: Jepang dan Korea Selatan yang akhirnya memutuskan kembali siaga dengan memperketat pembatasan sosial kembali setelah terjadi lonjakan kasus di beberapa tempat yang disebut-sebut sebagai gelombang kedua. Adapula Taiwan yang membuktikan kesuksesannya dengan konstan di 440 kasus sejak 14 April hingga saat ini, hebatnya, tanpa penambahan kasus baru.

Disisi lain, Indonesia masih berkutat dengan krisis multi-aspek: kesehatan, logistik, finansial, politik, keamanan hingga humanitas di kuartal pertamanya. Terhitung hingga hari ini, media melaporkan Indonesia pernah berada di titik terendah sebagai negara dengan mortalitas tertinggi akibat pandemi COVID-19 di Asia menurut pemetaan John Hopkins University of Medicine per 5 Juni, Indonesia sudah menanggung 28.233 kasus di seluruh wilayah yang nampaknya akan terus bertambah.

Di negara kita, kompleksitas wabah COVID-19 makin menjadi-jadi setelah adanya skenario new-normal yang diwacanakan oleh otoritas pemerintah. Nyatanya isu ini memicu debat kusir yang heboh di masyarakat.

Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia)mengungkap memang sudah ada ancang-ancang untuk persiapan new normal baru ini di empat provinsi, yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Gorontalo. Selain itu, beliau mengatakan sudah saatnya kita berdamai dengan wabah dengan menjalani aktivitas seperti biasa, melalui new normal.

Sebenarnya, apa sih new normal itu? Mengapa isu ini begitu menarik untuk jadi bahan perdebatan di media sosial? Apakah ini sebegitu punya dampak akan kelangsungan hidup kita? Mari kita kaji satu-persatu.

Singkatnya, new normal adalah skenario percepatan tatanan hidup yang kembali normal guna merespon dampak wabah COVID-19 terutama di sektor sosial, ekonomi dan kesehatan. Dalam penerapannya, new normal harus mengikuti protokol kesehatan yang ada untuk mencegah kembali menaiknya kurva wabah.

Warga tetap dianjurkan untuk tidak berkerumun atau menjaga jarak di fasilitas publik serta menerapkan PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) di kehidupan sehari-hari.

Adapun beberapa pihak tentu sangsi dengan keputusan pelonggaran PSBB dan new normal yang akan dilakukan mengingat peningkatan kasus masih terjadi di tiap daerah. Lantas bagaimana menangani krisis kesehatan yang terjadi jika fasilitas publik sedikit demi sedikit dibuka kembali?

Apakah aplikasi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan indikator yang diberitakan tersebut sudah cukup menjanjikan masyarakat bisa bertahan melalui new normal yang masih diliputi ketakutan jika di keramaian?

Mari kita lihat penjabaran menarik oleh Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Prof. Ridwan Amiruddin PhD.

Mengutip pernyataan Direktur Regional WHO Eropa Dr. Hans Henri P Kluge, new normal bisa dicapai suatu negara jika memenuhi setidaknya enam syarat.

Pertama, angka reproduksi (R0). Suatu negara harus memegang bukti transmisi wabah yang melandai dan bisa dikendalikan dengan angka R0 < 1. Menurut Ridwan, angka R0 Indonesia per 26 Mei berada di kisaran 2.2–3.58.

Syarat kedua, yaitu terjaminnya surveilans (identifikasi, isolasi, pengujian, pelacakan kontak, hingga karantina pasien) dengan fasilitas kesehatan yang memadai, seperti rumah sakit hingga logistik medis. Faktanya, mengutip data Worldometer, tes COVID-19 di Indonesia dengan PCR (polymerase chain reaction) dilakukan 1,394 orang per satu juta penduduk. Namun jika kita bandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara, test COVID-19 di Indonesia masih kurang masif jika dibandingkan dengan, ambil contoh Malaysia (17,342), Filipina (3,555), Thailand (6,026) dan Singapura (69,864) per 5 Juni. Pun, pelacakan kontak pasien yang positif terkonfirmasi COVID-19 melalui aplikasi PeduliLindungi baru dibuat oleh Menkominfo akhir Maret lalu (disaat sporadisitas virus sangat tinggi).

Kriteria ketiga adalah persentase penularan wabah mampu dikontrol di wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi, seperti panti wreda atau pemukiman penduduk yang padat.

Kriteria keempat, yaitu terkontrolnya risiko penularan wabah di lingkungan kerja. “Untuk mencapai penurunan persentase wabah, lingkungan kerja bisa menerapkan physical distancing, tersedianya fasilitas cuci tangan di tempat umum, menggunakan masker dan menerapkan etika bersin/batuk yang benar,” pungkas Ridwan.

Kriteria kelima, risiko kasus yang dikonfirmasi positif karena pembawa virus (PDP) yang baru masuk ke suatu wilayah mampu dikendalikan.

Sedangkan kriteria terakhir adalah peran warga dengan memberi kritik, saran dan masukan dalam proses menuju skenario new normal.

Ridwan menyatakan suatu negara boleh untuk mengendorkan pembatasan sosial dan memberlakukan new normal hanya apabila keenam persyaratan tersebut sudah terlaksana. New normal bukanlah sebatas masalah sosial dan ekonomi semata, namun humanitas sehingga perlu pertimbangan yang matang untuk menerapkannya di suatu wilayah.

Selain itu, mari berkaca pada Korea Selatan yang kembali menerapkan pembatasan sosial akibat penerapan new normal yang dinilai gagal. Korea Selatan kembali menutup tempat pariwisata karena wabah kembali memuncak awal Mei lalu.

Tentu saja, pertimbangan lain yang perlu digarisbawahi adalah kedisiplinan warga yang tentunya menentukan berhasil atau tidaknya penerapan new normal sendiri. Lantas dengan adanya laporan ijtima tablig se-Asia di Gowa, pembebasan napi, perkumpulan masyarakat untuk memperingati ditutupnya suatu restoran bersejarah hingga ribuan orang yang keluar masuk menggunakan surat jalan palsu di masa pembatasan sosial, apakah masyarakat Indonesia benar-benar sudah siap untuk new normal?

Photo by Rizal Hilman on Unsplash

Terlepas dari apapun yang ditetapkan otoritas pemerintah, secara tidak langsung menuntut kita, rakyat kecil ini untuk lebih partisipatif dan berdikari. Kita yang (nyatanya) tidak punya kuasa di mata pemangku kebijakan ini bisa melakukan hal-hal sederhana yang nyatanya berdampak besar untuk negara.

Rajin mencuci tangan, physical distancing, beraktivitas dirumah, menjaga pola makan dan menyebarkan informasi positif pada orang terdekat adalah langkah dewasa yang bisa dimulai dari diri sendiri.

Jika diresapi dari kacamata berbeda, pandemi ini tentu juga memberi kita pelajaran akan makna kemanusiaan dan gotong-royong. Dampak pandemi bukanlah ajang saling tunjuk-menunjuk atau sekadar penyerahan tanggung jawab, lebih dari itu, tanggung jawab apa sebenarnya yang bisa kita ambil dan sudahkah kita melakukannya?

--

--

Aulia Fitri
Komunitas Blogger M

Cita-cita jadi kang obat. Nyari jati diri lewat jalan2 atau buku. Instagram: auliaf30