Inner Child: Merawat Diri Masa Kecil dari Trauma Berkelanjutan

Hasbi Haris
Komunitas Blogger M
5 min readJun 25, 2024

--

image on reviewofmm

Masa kecil begitu dihubungkan dengan masa yang bebas mengeksplor sekitar, penasaran yang tinggi akan sesuatu, pengalaman-pengalaman hangat bersama keluarga dan masa bermain yang begitu menyenangkan.

Setiap individu manusia memiliki cerita masa kecilnya masing-masing dan mempunyai sisi khas serta otentik pada setiap masa kecil yang telah mereka lewati. Masa kecil ini begitu diingat hingga perkembangan seorang individu hingga dewasa. Terkadang, rasa rindu akan masa kecil juga membangkitkan nostalgia terhadap berbagai hal yang telah dilalui.

Namun, tidak semua orang mempunyai cerita masa kecil yang menyenangkan dan hangat. Pengalaman-pengalaman buruk ketika masih kecil dapat mempengaruhi kehidupan seseorang hingga fase dewasa. Pengalaman negatif ini akan semakin memburuk hingga mengakar pada pikirannya sehingga kecenderungan rasa trauma akan muncul. Kondisi ini dikenal dengan trauma psikologis atau bisa disebut dalam istilah inner child trauma.

Lalu bagaimana pula peranan inner child dalam perkembangan diri seseorang akan dan sesudah memasuki fase dewasa? Lalu apa yang dapat dilakukan untuk mengobati trauma masa kecil yang muncul kembali?

Inner Child

Aku akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu inner child secara lebih mendalam.

Menurut Sjoblom et, al. (2016) inner child bisa dikatakan sebagai rangkaian peristiwa dan transisi seluruh memori masa kanak-kanak hingga usia dewasa. Peristiwa-peristiwa yang dialami tersebut merupakan bagian dari perkembangan psikologis seorang individu. Sedangkan, menurut Bradshaw (1992) inner child bisa diartikan sebagai pengalaman dan kejadian masa lalu yang terbawa hingga fase dewasa dalam kondisi belum terselesaikan dengan baik. Kondisi ini akan mengakibatkan trauma yang berkelanjutan.

Inti masalahnya ialah bahwa inner child dimiliki oleh setiap orang.

Faktor pengalaman memainkan peranan penting terhadap inner child yang dibangun pada seorang individu. Pengalaman yang terjadi pada masa kecil mungkin saja bisa positif maupun negatif. Pengalaman negatif yang terjadi seperti mungkin kekerasan, perundungan, pelecehan seksual, verbal dan berbagai pengalaman buruk lainnya seperti pengabaian dari orang tua dan orang sekitar akan memunculkan luka batin pada psikologis seseorang.

Pikiran mempunyai tonggak utama yang membawa trauma masa kecil hingga dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Anggradewi (2020) menjelaskan bahwa trauma masa kecil yang terbawa hingga dewasa seperti peristiwa traumatis layaknya kekerasan fisik dan seksual akan memberikan ketimpangan pikiran pada seseorang.

Individunya akan cenderung sering mengalami gejolak psikologis yang negatif seperti kecemasan, ketidakmampuan berinteraksi secara baik, lebih mudah beremosi negatif hingga kesusahan dalam mengendalikan diri sendiri pada tindakan sehari-hari.

Selain itu, penelitian lain oleh Mardiyati (2015) juga menyebutkan bahwa trauma masa kecil memiliki dampak yang tinggi akan penurunan secara kognitif pada seseorang. Seorang anak yang memiliki innner child yang masih memiliki luka trauma, mengakar pada pikirannya dan tiba-tiba saja datang bagaikan hantu di malam hari cenderung akan tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri, depresi, dan memiliki kepribadian yang murung.

Efek Pengabaian Inner Child dan Transisi Pemulihan Psikologis

Pengabaian akan inner child yang terluka dan masih berantakan akan mengakibatkan rasa yang tidak begitu enak terhadap perasaan seorang individu yang mengalaminya.

Rasa peduli akan diri dan tidak mengabaikan trauma batin yang terjadi akan lebih membantu proses pemulihan yang dilakukan. Bukan berarti pula maksudnya mengingat-ingat selalu kejadian buruk yang menimpa diri pada masa kecil akan tetapi lebih berfokus terhadap upaya pemecahan pemulihan batin seseorang yang mengalami kondisi inner child yang terluka.

Nuroh (2022) menjelaskan bahwa seorang individu yang tidak mengetahui inner child dalam diri butuh pemulihan dan membiarkannya terluka dalam jangka waktu yang lama akan memberikan pengaruh buruk terhadap proses interaksi pada orang-orang sekitar. Kondisi buruk tersebut akan lebih menyulitkan seorang individu untuk semakin berkembang ke arah yang lebih positif.

Hal ini akan berbeda jika sudut pandangnya dibalik tiga-ratus-enam-puluh derajat.

Pencahayaan akan diri yang positif setelah menerima diri dan mampu memulihkan inner child yang terluka sebelumnya akan melahirkan aktivitas, pemikiran dan kelakuan seorang individu pada tahap yang lebih mencerahkan. Individu tersebut akan mampu melahirkan diri yang baru dengan karakter yang suportif, mendelegasikan proses perkembangan intelektualitasnya pada jalan-jalan yang positif dan dapat lebih membangun rencana serta mimpi ke depan yang lebih baik lagi.

Lalu bagaimana cara pemulihan tersebut?

Bradshaw (2013) menjelaskan beberapa upaya yang dilakukan untuk memulihkan trauma akan inner child yang berantakan. Seperti:

1. Championing

Proses ini melibatkan kepada tahapan perkembangan dan penyelesaian akan pengalaman masa kecil yang belum terselesaikan dengan baik. Proses penerimaan diri akan begitu memberikan dampak yang positif. Ketika seorang individu dewasa dapat memahami dan memenuhi kebutuhan batin diri yang terluka, maka akan lebih mudah mengembalikan kondisi psikologis mereka ke ranah yang lebih positif.

Mengenal, memahami, menerima diri dan seluruh trauma masa kecil sehingga memberikan rasa kepercayaan akan menuju arah yang lebih baik merupakan kuncinya. Dengan rasa percaya akan hati dan lingkungan baru yang suportif, serta bantuan dari seorang psikolog akan mempercepat proses penerimaan dan pemulihan diri.

2. Reclaiming

Proses ini memberikan karakter yang baru terhadap seseorang individu setelah fase pemulihan. Menjadi sosok “orangtua” atau “orangbijak” terhadap sisi masa kecil diri sendiri akan mampu melahirkan pemikiran yang protektif serta suportif. Sosok yang kita bangun ini akan merawat masa kecil kita begitu baik, sehingga sosok diri kita sendiri akan melangkah pada jalan yang positif. Menjaga diri, lalu mengenal diri dan melindungi serta suportif akan diri sendiri sungguh diperlukan ketika membangun karakter seperti ini.

Menyayangi dan Lebih Memanusiawi

Lagi-lagi, semua tergantung akan diri kita sendiri.

Diri kita yang suportif, diri kita yang positif, diri kita sendiri yang ditentukan oleh pemikiran kita.

Melangkah menuju arah yang lebih baik adalah kuncinya. Sayangi diri kita sendiri dengan mengembangkan potensi diri dan memberikan tempat yang terbaik untuk kepercayaan hati. Lalu, saling memanusiakan manusia lainnya. Menjadi seseorang yang manusiawi juga tidak ada salahnya.

Bangun relasi positif, percintaan yang baik.

Thankyou sudah membaca and let’s say it one more time, Peace!

Sumber:

Ahmad, A., H., & Chaerunnisa, G. (2023). Hybrid Moving Image as a Medium for Informing Inner Child Trauma for Young Adult. Insitut Teknologi Bandung.

Anggradewi, B. E. T. (2020). Dampak Psikologis Trauma Masa Kanak-kanak pada Remaja. Journal of Counceling and Personal Development, 2(2), 1–7.

Bradshaw, J. (1992). Homecoming: Reclaiming and Healing Your Inner Child. Random House Publishing Group.

Dewi, M., & dkk. (2023). Mengenali Inner Child untuk Berdamai dengan Luka Masa Kecil. Universitas Negeri Makassar.

Mardiyati, I. (2015). Dampak Trauma Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Perkembangan Psikis Anak. Jurnal Studi Gender dan Anak, 1(2), 26–35.

Nuroh, S. (2022). Keterkaitan Antara Pola Asuh dan Inner Child Pada Perkembangan Anak Usia Dini: Sebuah Tinjauan Konseptual. Counceling Research and Applications, 2(2), 61–70.

Sjoblom, M., Ohrling, K., Prellwitz, M., & Kostenius, C. (2016). Health throughout the lifespan: The phenomenon of the inner child reflected in events during childhood experienced by older persons. International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-Being.

--

--