Inner Child Tidak Selalu Buruk

Firdausa Febi Alfaris
Komunitas Blogger M
4 min readJan 9, 2022
Photo by Jason Rosewell on Unsplash

Dewasa ini kita sering kali mendengar atau membaca istilah inner child. Saya sendiri pertama kali mendengar istilah ini pada tahun 2019. Materi saat itu membahas parenting secara umum. Saat itu materi disampaikan oleh Bunda Elly Risman, seorang psikolog yang memiliki concern di bidang parenting.

Pada dasarnya inner child adalah sifat anak-anak yang masih ada dalam diri kita. Berbagai bentuk pengalaman dan perasaan yang kerap kita rasakan saat masih anak-anak. Mereka tidak secara tiba-tiba hilang saat kita mulai beranjak dewasa. Kebanyakan menunjukkan konteks negatif.

Sifat kekanak-kanakan ini hadir kembali saat kita dewasa. Entah itu kebiasaan kecil kita, ataupun trauma yang pernah kita rasakan saat kecil. Meskipun saat kita dewasa, kita mulai atau bahkan sudah lupa dengan perasaan itu.

Sedikit banyak sifat yang kita miliki saat ini juga merupakan bentuk dari inner child kita dulu. Mungkin kita saat ini adalah pribadi yang pemarah karena dulu kita juga sering dimarahi, mungkin juga kita adalah pribadi yang pemalu karena dulu kita sering merasa kesepian dan tidak dibiasakan untuk berkomunikasi dengan banyak orang.

Inner child ini secara tidak sadar sudah tertanam dalam alam bawah sadar kita. Dia bagaikan anak-anak yang bersembunyi dalam wujud dewasa kita. Gambarannya adalah ada anak kecil yang mengatur tingkah laku kita saat ini. Dia lah yang memandu kita untuk mengambil keputusan dan cara kita berekspresi.

Tentu saja juga ada cara untuk bisa terlepas dari ikatan ini. Hal yang pertama kali harus kita lakukan adalah aware atau menyadari bahwa ada anak kecil dalam diri kita masing-masing. Kita sebaiknya memulai dengan mengenal siapa dan bagaimana sifat kekanak-kanakan dalam diri kita ini.

Bisa jadi kita memiliki masa kecil yang memiliki keadaan yang jauh berbeda dengan saat kita dewasa atau setidaknya saat mulai remaja. Misal saat anak-anak, kita memiliki keadaan yang sangat buruk, keluarga kacau, kekerasan dimana-mana, hidup dengan tensi tinggi. Namun, saat mulai tumbuh, kita memiliki teman-teman yang suportif, guru-guru yang membangun, atau kegiatan organisasi yang positif.

Tidak menjadi hal yang aneh apabila kita mulai melupakan sengsaranya masa kecil kita, entah dengan sengaja maupun tidak disengaja. Kita merasa menjadi orang yang benar-benar baru. Sayangnya, anak kecil sudah ada dalam diri kita hingga dewasa tanpa kita sadari.

Hal kedua yang perlu dilakukan adalah mengetahui apa yang menyebabkan sifat itu ada dalam diri kita. Peristiwa-peristiwa apa saja yang pernah kita alami saat masih kecil. Banyak hal yang mungkin menyebabkan trauma pada diri kita. Semua itu harus bisa kita identifikasi.

Hal ketiga adalah berdamai dengan anak kecil dalam diri kita. Memaafkan segala kekurangannya dan menerimanya menjadi bagian dari diri kita. Tentu juga mendiskusikan dengannya untuk langkah ke depannya akan seperti apa. Agar sisi anak kecil dalam diri kita tidak lagi merugikan orang lain.

gambar tangan oleh Firdausa Febi Alfaris
Dokumen Pribadi by Firdausa Febi Alfaris

Menariknya, saya menyadari bahwa inner child ini tidak melulu negatif. Ada juga anak kecil dalam diri kita yang bisa membawa hidup kita ke arah yang lebih baik untuk diri kita sendiri.

Pada kasus ini, anak kecil ini tidak muncul dengan sendirinya. Justru sebaliknya, kita harus menemukannya. Anak kecil penuh kebahagiaan ini tidak akan muncul jika kita sendiri tidak mencarinya.

Dia akan muncul jika kita mencoba berdiskusi dengannya terlebih dahulu. Menanyai apa kesukaannya, apa yang dia cita-citakan, dan apa yang paling dia inginkan di dunia ini. Memahami kebahagiaan anak kecil itu dapat menjadi jalan untuk kita dapat merasa lebih hidup.

Sebagai contoh, seorang pemuda yang mulai merasa kehilangan arah untuk hidupnya. Dia tidak lagi merasa bergairah dengan hidup yang ia jalani. Setiap hari terasa seperti rentetan rutinitas yang tidak pernah terputus.

Kita mungkin lupa bahwa kita semua pernah merasa begitu hidup saat masih kecil. Tiap hari kita merasa excited atas apapun yang terjadi pada diri kita. Kita memiliki kegiatan favorit yang terus kita lakukan tanpa ada rasa bosan.

Saat dewasa, kita dipaksa menjalani hidup berdasarkan format yang sudah ditetapkan masyarakat. Sekolah-bekerja-menikah-memiliki anak-pensiun-mati. Kita lupa bahwa sebelum itu semua kita memiliki hal yang kita senangi. Hal yang begitu sederhana.

Saya sendiri memiliki kebiasaan menggambar hal-hal bodoh yang terlintas di pikiran saya. Namun saya tidak pernah lagi melakukannya sejak memasuki SMP. Saya ingat buku tulis maupun buku LKS saya penuh dengan gambar-gambar ketika saya SD. Dan saya baru menyadarinya setelah mencoba mengenali anak kecil dalam diri saya lagi. Mengejutkan memang, kita bisa benar-benar lupa dan tidak lagi mengenali siapa diri kita sebenarnya.

Saya yakin banyak dari kita yang akan mampu berkarya dengan lebih bahagia jika kita dapat menyelami masa kecil kita dan berdiskusi dengannya. Dengan benar-benar seksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (hehe gak ding, bercanda).

Pada intinya, inner child mungkin akan mengganggu kehidupan kita terutama dalam menjalani kehidupan keluarga nantinya. Namun, dalam surat Al-Insyirah ayat ke 5–6 disebutkan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.

Tentu inner child tidak hanya menyusahkan, namun juga membawa kebahagiaan yang lebih besar dari hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan. Selamat mengenal anak kecil dalam diri kalian ya!

--

--