Interpretasi Burung Dalam Sangkar

(Dikutip dari buku Matsnawi, karya Maulana Jalaluddin Rumi)

Ria Ayu
Komunitas Blogger M
4 min readJul 7, 2024

--

Aku bagaikan burung dalam sangkar,
Terkurung dalam kebiasaan dan nafsu.
Aku merindukan kebebasan,
Untuk terbang tinggi dan menjelajahi langit.

Jiwa ini bagaikan taman yang terbengkalai,
Penuh dengan rumput liar dan duri.
Aku ingin menyiangi taman ini,
Dan menanam benih cinta dan kasih sayang.

Aku ingin menjadi sungai yang mengalir,
Mengalir deras dan tanpa henti.
Aku ingin menjadi lautan yang luas,
Menampung segala sesuatu dengan lapang dada.

Aku ingin menjadi gunung yang tinggi,
Menjulang tinggi dan menyentuh awan.
Aku ingin menjadi bintang yang berkilauan,
Menerangi dunia dengan cahayaku.

Aku ingin menjadi diriku sendiri,
Jiwa yang murni dan bebas.
Aku ingin menjadi cinta,
Yang menyatukan semua.

Puisi Maulana Jalaluddin ini bisa kita jadikan peta untuk “berjalan” di atas lembaran-lembaran kehidupan sehari-hari. Menuju ke mana? Ternyata bukan ke sebuah tempat yang jauh, melainkan tempat yang sangat dekat.

Tempat ini juga tidak sempit dan menyesakkan, melainkan luas tiada batas. Tempat ini tidak eksklusif dan mengkotak-kotakkan, melainkan inklusif, menerima dan bahkan menyambut semuanya dengan hangat. Ke sinilah kita semua berjalan pulang.

Tradisi Islam, menamakan tempat atau ruang tanpa batas ini, qolbul mukmin Baitullah (hatinya orang beriman itulah Rumah Allah). Tidak berbeda kiranya dalam ajaran Buddha yaitu nirwana/nibbana yang dideskripsikan sebagai kebahagiaan tertinggi, dan pusat kehidupan ini disebut pula sebagai “Aku” dalam tradisi Vedanta.

Membaca bait di bawah ini, membuatku menyelami ke dalam jiwaku sendiri dan mulai menyaksikan hal-hal yang berbeda dengan yang terlihat mata lahirku.

Aku bagaikan burung dalam sangkar,
Terkurung dalam kebiasaan dan nafsu.
Aku merindukan kebebasan,
Untuk terbang tinggi dan menjelajahi langit,

Menurut mata lahiriah kita, banyak hal yang bisa memenjarakan diri ini, segala hal yang tidak enak dilihat mata, tidak nyaman di telinga, membuat sesak dengan beragam ketidaksukaan bahkan kebencian. Biasanya dengan kata-kata pembuka “seharusnya, semestinya” yang kita katakan kepada semua situasi dan orang-orang yang kita anggap salah, termasuk kepada diri sendiri.

Sebenarnya sangat baik berintrospeksi ke dalam diri sendiri, tapi entah mengapa justru kepada diri sendiri, paling sulit untuk bersikap menerima suatu kesalahan yang telah diperbuat, dan justru memenjarakan diri dengan pusaran rasa bersalah dan rasa takut. Semua itu membuat semakin menutup diri sehingga tidak mampu bersyukur karena berhasil menyadari kesalahan dan justru tidak menjadi bersegera untuk memperbaikinya.

Mungkin karena kebiasaan itu yang sering kita dengar dan lihat, menjadi sering pula kita lakukan, akhirnya “jeruji sangkar” itu semakin terasa nyata membuatku terpenjara. Terkurung dalam kebiasaan men-judge salah-benar, baik-buruk dan akhirnya kita sendiri terbiasa melakukan hal yang sama, menghakimi orang lain. Ya, inilah yang tersaksikan oleh mata batin, penjara yang sesungguhnya adalah kondisi mentalku sendiri.

Image from Pinterest whitepeacock_arts

Di sini, dalam ruang kontemplasi ini, terbersit ungkapan hati seperti kalimat puisi Maulana Rumi, “Ah…aku merindukan kebebasan, untuk terbang tinggi menjelajahi langit”. Langit pemaafan, langit pemakluman, langit penerimaan dan langit kelembutan dalam memandang apapun.

Jiwa ini bagaikan taman yang terbengkalai,
Penuh dengan rumput liar dan duri.
Aku ingin menyiangi taman ini,
Dan menanam benih cinta dan kasih sayang.

Siapa yang suka mendatangi taman yang terbengkalai? Kita pasti menghindarinya dan memilih berkunjung ke taman yang terawat. Tapi bagaimana jika taman yang terbengkalai itu jiwaku? Sungguh tidak mudah memang menyaksikan ini, karena taman jiwa orang lain yang sering kita perhatikan dan komentari. Tapi begitu mau melangkah ke dalam tamanku yang terbengkalai, saat itu juga kita bisa menyiangi rumput liar dan duri itu.

Sungguh sangat cepat bertumbuh memang perasaan takut tidak dihargai, takut diabaikan atau justru sebaliknya sudah bertumbuhan duri-duri ketidakpedulian bahkan memandang rendah pada orang lain. Berjalanlah perlahan-lahan di taman jiwaku, rasakan setiap perasaan yang muncul, bagaimanapun bentuknya, betapapun kita sangat tidak menyukainya. Terima semua apa adanya.

Saat itu, tidakkah kita ingin bertanya, “Siapakah ini yang menyadari semua perasaanku?” Siapakah ini yang menerima semua semua duri dan bahkan sampah-sampah di taman jiwa? Maka kita akan menjawab “Aku”.

Siapakah “Aku”? Dalam momen hening yang sesaat ini, mungkin kita akan menitikkan air mata. Tapi ini bukan air mata kesedihan, justru kedamaian dan kebahagiaan yang semakin dalam. Dan ada sesuatu yang hangat seperti meliputi hati kita dan juga segala sesuatu. Apakah itu? Itulah Aku Sang Cinta. Hanya Sang Cinta yang mampu menyiangi taman jiwa ini dengan penerimaan seutuhnya dan menanamnya dengan cinta dan kasih sayang.

“Aku” yang ini bukanlah aku yang ribet dan baperan seperti yang sebelumnya. “Aku” yang ini menyaksikan semua jenis tarian jiwa, bahkan ikut menari, dalam tarian yang mengalir deras tiada henti seperti sungai. “Aku” yang ini merengkuh dan merangkul segala sesuatu bagaikan lautan yang tak bertepi. Come, don’t be afraid, ‘I am’ here… Demikianlah yang terdengar, suara yang ada di dalam hati semua orang, our Inner Voice, meskipun kadang samar, suara itu ada.

Aku ingin menjadi gunung yang tinggi,
Menjulang tinggi dan menyentuh awan.
Aku ingin menjadi bintang yang berkilauan,
Menerangi dunia dengan cahayaku.

Teruslah berjalan melampaui lembaran-lembaran kehidupan. Maulana Rumi mengumpamakan perjalanan jiwa seperti mendaki sebuah gunung. Sering kali tidak mudah, terjal dan berliku, tapi setiap tingkatan terlalui, bukankah pemandangannya semakin indah? :)

Berbagai pengalaman yang kita temui adalah pembelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih bijak. Bisa memandang segala sesuatu tidak parsial melainkan secara utuh dan menemukan pesan kemanusiaan di sana.

Mengapa bisa demikian? Karena kita telah menemukan diri kita yang sejati. Kita yang terhubung dalam Cinta yang sama. Cinta yang membuat kita tidak berpandangan individualistik, tapi menjadi berpandangan jernih dan universal. Itulah Sang “Aku” yang yang senantiasa hadir dalam semua pengalaman dan tidak pernah tercederai oleh pengalaman apapun itu. “Aku” adalah jiwamu yang murni dan bebas, yang berada di pusat kesadaran hatimu menanti untuk kamu temukan.

--

--