Jalan Panjang Pendidikan Karakter

Denny Kodrat
Komunitas Blogger M
5 min readMay 17, 2024

Publik terus bertanya dan menunggu dampak pendidikan nasional terhadap karakter putra-puteri mereka.

Photo by Sander Sammy on Unsplash

Beberapa waktu lalu, publik dibuat kaget saat Mas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan Permendikbudristek nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Jenjang Pendidikan Menengah. Kegaduhan muncul saat peraturan tersebut mencabut regulasi pendidikan kepramukaan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib. Publik bertanya-tanya, bagaimanakah negara menumbuhkan dan menguatkan pendidikan karakter saat siswa tidak lagi “dipaksa” mengikuti program kepramukaan.

Sementara itu, peraturan yang berkaitan dengan pendidikan karakter nampak belum efektif di mata publik. Perundungan, judi online, narkoba dan perilaku menyimpang lainnya masih marak terjadi, padahal telah diterbitkan Peraturan Presiden nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter ditindaklanjuti dengan Permendikbud nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Formal. Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) muncul.

Namun, nampaknya regulasi tersebut belum mampu memenuhi harapan publik. Hal ini dapat dirasakan saat kurikulum merdeka diterapkan secara nasional, salah satu tantangan publik terhadap kurikulum ini adalah apakah ia dapat berhasil mendidik karakter peserta didik di tengah situasi saat ini yang sangat kompleks.

Mindset Pendidikan Karakter

Persoalan kita dalam memandang pendidikan saat ini bahwa pendidikan adalah mengajar (transfer of knowledge). Sekolah, kursus dan bimbingan belajar tidak ada bedanya. Padahal, sejak lama Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan dan pengajaran berbeda. Sekolah sayangnya gagal juga menghadirkan pendidikan, ia lebih kental dengan akademik pengajaran. Padahal olah cipta, rasa dan karsa, merupakan perpaduan pendidikan dan pengajaran.

Pada kurikulum merdeka dihadirkan pelaksanaan kokurikuler secara eksplisit dengan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), di kurikulum sebelumnya, program kokurikuler diserahkan pada guru sebagai penguat kegiatan intra kurikuler, walhasil “kokurikuler” menjadi istilah pada dokumen, namun tidak pernah terwujud dalam pembelajaran di sekolah. Tidak sedikit guru yang asing terhadap istilah tersebut. Sementara, kurikulum merdeka mencoba menghidupkan P5 sebagai kokurikuler untuk memfungsikan sekolah dalam aktivitas penumbuhan, pembiasaan dan penguatan karakter peserta didik.

Sayangnya, banyak sekolah mengalami miskonsepsi terhadap P5. Alih-alih menumbuhkan karakter, ia kental dengan “projek”, seremonial, gebyar dan tidak efisien. Orang tua yang kurang mampu menjerit. Pungutan dengan istilah “sumbangan wajib” untuk P5 terjadi. Padahal penumbuhan karakter pelajar pancasila tidak memerlukan biaya besar, gebyar dan berbentuk projek. Ia dapat lahir dari pembiasaan berdiskusi, bergotong royong, berkomunikasi dan hal positif lainnya, dengan mempertimbangkan karakteristik kondisi sekolah.

Pengajaran pun sejatinya dapat selaras dengan pendidikan karakter saat guru mendesain pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student center).

Misal, dalam pembelajaran penyelidikan (inquiry) mata pelajaran Biologi, peserta didik dapat mencari tahu informasi yang berasal dari pertanyaan pemantik gurunya. Peserta didik dapat memanfaatkan chrome book yang telah dibagikan pemerintah ke sekolah-sekolah. Peserta didik dapat dapat bertanya pada siapapun yang ia mau, bahkan dengan kakak kelasnya, berdiskusi dengan temannya.

Pembelajaran seperti ini secara langsung tengah membiasakan bersosialisasi dan melatih peserta didik untuk berani bertanya, apalagi peserta didik mengawali pertanyaannya dengan meminta maaf atau permisi karena telah mengganggu, diakhiri dengan ucapan terima kasih.

Demikian halnya dengan pembelajaran berbasis projek (project based learning). Tahapan-tahapan dalam pembelajaran ini selain menumbuhkan nalar kritis, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, juga peserta didik dapat lebih memahami ilmu yang ia pelajari. Sebagaimana ungkapan “mendengar aku lupa, melihat aku ingat, melakukan aku paham”. Dengan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik, sejatinya guru tengah melakukan pendidikan karakter.

Tantangannya, berapa banyak guru menggunakan metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik? Berapa banyak pula guru menyadari bahwa metode pembelajaran tersebut dapat menumbuhkan karakter positif? Mindset bahwa guru harus tergerak melakukan perpindahan metode mengajar dari berpusat pada guru (teacher center) ke berpusat pada peserta didik (student center) dalam memperkuat pendidikan karakter menjadi sangat penting. Selain itu, guru mulai membiasakan refleksi terhadap kegiatan pembelajarannya, memaknai secara mendalam apa kaitan ilmu yang disampaikan dengan kehidupan sehari-hari, serta meminta umpan balik dari peserta didiknya, mengenai apakah mereka merasa senang, bahagia, dan dapat mengaitkan ilmu yang ia pelajari dengan kehidupan nyata.

Guru menjadi pemimpin pembelajaran. Ia contoh nyata (a good role model) di depan peserta didik. Memberikan umpan balik yang positif, masukan konstruktif, tidak membunuh kreativitas peserta didik dengan kalimat-kalimat menjatuhkan atau intimidatif. Menuntun peserta didik menumbuhkan potensi yang terpendam. Memahami bahwa setiap peserta didik adalah juara dengan keunikannya. Di sinilah, guru menjalankan dua aktivitasnya yaitu mendidik dan mengajar.

Pemerintah dengan biaya sangat besar tengah melatih guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak pada peserta didik dengan program Pendidikan Guru Penggerak (PGP), dan Program Sekolah Penggerak (PSP). Tentu saja, program ini akan terasa dampaknya bagi masyarakat saat Pemerintah Daerah memberdayakan guru-guru hasil PGP ini dengan mengangkatnya sebagai kepala sekolah dan pengawas sekolah.

Peran Keluarga

Masyarakat banyak memahami bahwa pendidikan peserta didik merupakan kewajiban sekolah an sich, bukan keluarga. Padahal, keluarga merupakan sekolah pertama (al madrasatul ula) bagi peserta didik. Ibu sebagai gurunya dan ayah sebagai kepala sekolahnya. Penanaman kebiasaan baik, budi pekerti dan nilai-nilai kebajikan dilakukan saat usia emas (golden age) atau rentang satu sampai dengan lima tahun, sebelum anak masuk pada pendidikan usia dini. Di sini pekerjaan rumah dalam pendidikan. Merevitalisasi peran keluarga dan masyarakat dalam penanaman nilai-nilai kebajikan, kebiasaan baik dan budi pekerti.

Kompetensi yang diajarkan di sekolah (hard skills) dapat dicapai dalam kurun waktu singkat, sesuai target kurikulum. Peserta didik di pendidikan dasar dilatih membaca dan menulis selama satu semester bahkan kurang. Pengajaran hard skills dalam konteks saat ini relatif mudah terlebih sumber belajar dapat ditemukan di mana saja.

Namun, penanaman karakter (soft skills) tidak dapat instan. Ia tidak bisa diajarkan sebagaimana hard skills. Ia harus melalui pembiasaan dengan rentang waktu panjang, membutuhkan bimbingan dan contoh keteladanan dari orang tua, masyarakat dan gurunya. Ini yang menantang.

Keluarga memainkan peran sangat penting dalam pembiasaan, penanaman budi pekerti dan contoh keteladanan bila ia ingin anaknya menjadi peserta didik yang memiliki budi pekerti yang baik. Berkata kasar lahir karena peserta didik melihat dan meniru orang tuanya atau lingkungannya. Begitu halnya dengan judi atau pinjaman online, ia mencoba melakukan itu karena teman-temannya atau lingkungan terdekatnya mempraktikkan hal serupa. Tidak ada pihak yang menasehatinya. Ia menganggap biasa perbuatan itu karena lingkungan yang ia berada di sana melakukannya.

Gaya hidup serba boleh (permisif) yang melanggar norma dianggap baik dan benar karena ia melihat secara nyata praktik tersebut. Sementara di rumah dan sekolah, ia tidak mendapatkan aksi nyata atas larangan tersebut. Apalagi larangan itu justru dipraktikan di rumah dan di sekolah. Larangan merokok misalnya. Di lingkungan sekolah tertulis besar “Bebas Asap Rokok”, namun peserta didik menemukan guru atau tenaga kependidikan merokok di ruangannya, di kantin atau tempat lain di sudut sekolah tanpa tindakan dari pimpinan sekolah. “Aturan dibuat untuk dilanggar” menjadi mindset yang tertanam di alam bawah sadar peserta didik. Wajar apabila peserta didik menjadikan perbuatan tersebut sebagai “contoh keteladanan”.

Nampak jelas kesulitan pemerintah dalam pendidikan karakter karena porsi perannya hanya dibebankan pada sekolah, sementara tanpa dukungan dan partisipasi keluarga. Sampai kapanpun kebijakan pendidikan karakter akan mengalami jalan terjal bila pemerintah gagal mendorong keluarga untuk berperan sebagai sekolah pertama (al madrasatul ula) dalam penanaman nilai-nilai kebaikan dan pembiasaan. Pendidikan karakter hanya berhenti pada slogan tanpa memberikan dampak nyata. Wallahu’alam bishshawwab.

Denny Kodrat is a passionate writer, citizen journalist and educator, based in Sumedang, West Java Province, Indonesia.

--

--