Jika Rasi Bintang Lenyap

Iqbal Abizars
Komunitas Blogger M
5 min readMar 17, 2023

Kerlip gemintang kian meredup. Di awang-awang hanya tersisa kolong yang kosong. Rembulan sesekali tampak, timbul tenggelam oleh awan gemawan yang beredar. Selebihnya ialah sang gulita yang merajai bumantara. Perut kunang-kunang pun tak lagi menyala. Gilapnya terusir oleh terang pelita milik rumah, gedung, kendaraan, dan jalan raya di desa pun kota.

Langit malam memang tak pernah lagi sama, ia telah kehilangan perhiasannya yang jelita. Mungkin kah para rasi bintang telah lenyap disantap oleh Bathara Kala? Atau jangan-jangan, semburan api yang terang itu telah habis dipakai sebagai anak panah untuk membinasakan setan-setan jahanam yang coba mencuri rahasia langit milik Tuhan dan para malaikat?

“Mungkin karena mendung sehingga gemintang terhalangi dari pandangan,” hati saya berbisik.

Akan tetapi, ketika kemarau beruluk salam tanda telah datang hingga waktunya ia meminta diri untuk pergi, kerlip gemintang tetap sukar dilihat, padahal tak ada awan mengular yang berlayar di udara.

“Barangkali butuh tempat berpijak yang lebih tinggi,” sebuah nasihat datang dari teman.

Memang benar di tempat yang lebih tinggi gugusan bintang masih bisa terlihat, tapi bukankah dahulu di tempat yang rendah sekalipun manusia tetap bisa memandangi dan menjadikannya sebagai pegangan dalam kegelapan?

Beralaskan rerumputan berpagar semak belukar, saya mendongak menatap langit. Berupa-rupa pertanyaan beterbangan ke sana kemari bagai nyamuk yang memburu darah, menimbulkan bunyi ngung yang memekakkan pikiran. Andai kata para rasi bintang tiada hentinya melaju makin meredup bahkan sampai lenyap tak berbekas, bagaimana nasib banyak manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk atas pemberian dari Raja Pemilik Langit?

Boleh jadi dengan lenyapnya rasi bintang akan banyak nelayan, pelaut, dan penjelajah yang tersesat di labirin luas tanpa sekat dan lorong bernama samudra. Sebabnya, mereka kehilangan Rasi Gubug Péncéng yang wujudnya menyerupai layang-layang atau ikan pari jika disandingkan dengan Rasi Lintang Wulanjar Ngirim. Rasi tersebut telah diwariskan oleh para leluhur selama berabad-abad sebagai pemberi petunjuk ke mana arah selatan harus dituju.

Petani-petani pun akan kebingungan untuk menentukan kapan seharusnya mereka memindahkan bibit padi ke sawah. Mereka kehilangan petunjuk berupa Rasi Lintang Kartika yang cahayanya begitu terang.

Tak hanya memberi petunjuk tentang bertani semata, Lintang Kartika juga membawa peringatan bahwa musim hujan akan mencapai puncaknya. Banyak orang akan tertular penyakit, hujan deras saban hari, dan banjir serta angin ribut datang menyambut. Melalui gemintang, manusia lebih siap bersiasat menghadapi kemungkinan terburuk.

Tak hanya kaum manusia, kaum kumbang kotoran pun akan kesulitan menggulirkan bola tinja pada lintasan yang lurus. Kumbang kotoran membutuhkan pendar Galaksi Bimasakti untuk memandu mereka pulang menuju sarang. Begitu pula dengan burung dan anjing laut yang akan kehilangan arah tanpa bantuan cahaya dari beragam benda angkasa.

Rasi Gubug Péncéng dan Lintang Kartika hanyalah dua contoh dari sekian banyak rasi yang menjadi pegangan dan petunjuk bagi berbagai suku bangsa di dunia. Hilang satu saja mungkin tatanan jagat raya bakal centang perenang, apalagi jika seluruhnya lenyap.

Oh, atau jangan-jangan manusia akan tetap baik-baik saja jika seluruh rasi bintang lenyap? Barangkali, kecerdasan manusia yang terus berevolusi membuat kita menjadi lebih berkuasa dari alam semesta sehingga tidak lagi membutuhkannya.

Apa gunanya Rasi Gubug Péncéng untuk melaut jika manusia telah berhasil membuat, menerbangkan, bahkan mengapungkan bintang siarah buatan ke angkasa? Dari bintang buatan itu dipancarkannya isyarat-isyarat melalui medan magnet yang dilahirkan oleh aliran listrik. Isyarat lalu ditangkap dan ditafsirkan oleh kotak-kotak kecil ajaib yang dapat mengeluarkan cahaya, gambar bergerak, hingga suara. Letak, jarak, sampai kecepatan bisa diketahui secara cepat dan tepat tanpa perlu berepot-repot memandangi langit gelap.

Untuk apa Rasi Lintang Kartika jika manusia telah berhasil merekayasa benih, membuat pupuk sakti, dan berbagai obat serta racun mujarab anti gagal panen? Kesemuanya saling berkelindan, melahirkan budaya baru yang tak pernah ada pada abad sebelumnya: menanam tanpa mengenal istirahat dan memanen tanpa mengenal musim.

Relasi umat manusia dengan bintang memang makin pudar, bukan hanya karena kecerdasan yang membuahkan sarana-sarana mutakhir sehingga penafsiran bintang tak lagi diperlukan, juga karena kita sendiri yang enggan mewarisi ilmu pengetahuan para leluhur tentang perbintangan — dan banyak hal lainnya.

Kearifan dan pengetahuan lokal yang disajikan dalam bentuk pamali, cerita rakyat, mitos, dan dongeng semata-mata dihakimi sebagai sekadar takhayul pun klenik. Tak kadang generasi kita memberikan tuduhan serius tanpa mau berusaha menggali, sebenarnya ada makna apa secara akal sehat dari tiap-tiap metafora yang muncul pada babad, suluk, tembang, hikayat, dan lain sebagainya.

Penyimpangan cuaca dan gejala alam dari keadaan normal juga jadi salah satu perkara mengapa relasi manusia dengan bintang memudar: basah di musim kemarau, kering di musim hujan; buah randu berisi kapuk tak lagi muncul pada waktu seharusnya; rebung bambu telat bertunas; laron tak kunjung keluar dari liang; jangkrik dan tonggeret puasa mengerik. Semuanya membuat Almanak Musim hasil penghitungan maharumit leluhur tak lagi bersangkut paut dengan keadaan yang berlaku sekarang.

Membaca bintang jadi tak masuk akal karena alam telah menyimpang. Jalan keluar yang dipilih justru meninggalkan pengetahuan lokal bukan memperbarui sesuai kondisi zaman. Mengapa? Karena kita terlanjur terputus dari akarnya: kita tak tahu-menahu ritual — atau yang manusia modern sebut sebagai metodologi — seperti apa yang dijalankan oleh nenek moyang hingga melahirkan suatu pengetahuan, padahal leluhur kita bukan setan yang coba mencuri rahasia langit untuk mengetahui masa depan. Leluhur kita adalah makhluk-makhluk berdaya nalar dan akal yang luhur tanpa mau menaklukkan alam, melainkan menjadikannya sebagai teman.

Rasanya, tak perlu menunggu akhir zaman bagi lenyapnya rasi bintang. Sekarang, mereka telah lenyap dari alam imajinasi dan pengetahuan umat manusia. Anak-anak kita di masa depan mungkin akan kebingungan ketika diharuskan menggambar gemintang atau menyanyikan lagu Bintang Kecil, mereka tak benar-benar paham tentang apa yang mereka coret dan lantunkan.

Wajar saja, ketika kelak anak-anak kita menengadah menatap langit malam, mereka hanya akan menjumpai kegelapan yang kelam. Sebab musababnya, manusia sendiri telah menciptakan kabut cahaya dari pelita-pelita buatan secara membabi buta. Kabut cahaya itu menyelimuti langit malam, membuat kerlip bintang yang jelita tenggelam di awang-awang.

Sempurna sudah pembinasaan rasi bintang. Sengaja atau tidak, mereka telah dihilangkan dari alam sadar manusia melalui berbagai sarana, yaitu ilmu pengetahuan dan alat modern serta pengerdilan terhadap kearifan dan pengetahuan lokal.

Relasi manusia dengan bintang yang terlanjur meredup, kini diperparah oleh kabut cahaya dari pelita-pelita buatan yang membuat keduanya makin berjarak. Bukan ulah Bathara Kala atau setan, melainkan kita sendiri lah yang telah melenyapkan salah satu warisan bersama milik umat manusia.

*Ide tulisan ini adalah fenomena polusi cahaya yang makin marak dan meluas di dunia. Dampaknya nyata, tetapi terabaikan karena relasi manusia modern dengan rasi bintang semakin meredup.

Penulis: Iqbal Abizars & Muhammad Arif Setyo Aji
Ilustrator: Alif Yuniantoro

--

--