Joki Tugas: Ketika Orang Pintar Kesulitan Mencari Uang dan Dosen yang Kewalahan dengan Tugas Kampus

M Ikhsan
Komunitas Blogger M
3 min readJul 25, 2024
Ilustrasi pusing. Sumber gambar Freepik

Abigail Limuria melalui akun X-nya menyampaikan pendapatnya tentang fenomena joki yang menurutnya sudah banyak, dan sangat mudah ditemui. Tentu saja, pendapatnya mengundang banyak pendapat-pendapat yang lain, ada yang mendukung atau setidaknya bersimpati pada bisnis joki, ada juga yang total anti joki.

Joki tugas memang bukan bisnis baru, hanya saja jika dulu bisnis joki adalah bisnis underground, walau tidak sulit dicari, tapi tidak mudah juga ditemukan, nah sekarang bisnis joki lebih terang-terangan bahkan ada startup yang memang bergerak dibidang per-joki-an.

Saya tidak akan membahas apakah joki ini boleh atau tidak, dan tidak akan membahas bagaimana sikap saya terhadap bisnis joki ini. Hanya saja satu hal yang membuat saya kepikiran adalah, tukang joki sejatinya adalah seorang yang secara intelektual baik, atau bahkan luar biasa. Lantas kenapa ia menjadi tukang joki, apakah sesulit itu mencari pekerjaan, atau menguangkan ilmu yang dimiliki, sehingga harus menjadi tukang joki?

Mari kita fokuskan kepada tukang joki yang baik, joki yang mengerjakan tugasnya dari A hingga Z, bukan hanya menyalin, atau menggandakan berbagai macam tugas yang telah ada, tapi yang memang betul mengerjakan secara baik.

Tukang joki yang baik tentu memiliki pengetahuan yang luas hingga disiplin ilmu yang mendalam.

Misalkan saja ada mahasiswa Sastra Inggris yang meminta untuk dibuatkan skripsi tentang analisa semiotika pada sebuah novel, tentu saja berarti joki yang baik tersebut harus paham bahasa Inggris secara baik, membaca novel tersebut hingga tuntas, serta mengerti teori-teori yang berkaitan dengan skripsi, tukang joki ini juga harus dapat menuliskannya dengan baik pula dengan bahasa Inggris. Bayangkan berapa banyak buku, atau artikel yang harus dibaca dan dipahami oleh tukang joki ini, tentu tidak sedikit.

Joki yang baik juga handal tidak hanya paham pada satu bidang keilmuan, mungkin saja ada mahasiswa dari program studi lainnya yang juga meminta bantuan joki tersebut untuk dikerjakan tugasnya.

Bayangkan saja jika joki tersebut pernah mendapatkan pelanggan dan mengerjakan tugasnya dari mahasiswa Sastra Inggris, Hukum, Sosiologi, Ekonomi Syariah, Teknik Industri, dan tukang joki mengerjakannya dari awal hingga selesai. Banyak sekali disiplin ilmu yang dimiliki tukang joki tersebut. Hebat betul, bukan?

Mungkin pemahaman akan suatu disiplin ilmunya masih kalah dibandingkan para Guru Besar, tapi bukankah dengan rutin mengerjakan skripsi, tesis, esai, artikel, dan survei, harusnya tukang joki ini bisa diberdayakan paling tidak menjadi peneliti muda.

Eh, tapi banyak juga Guru Besar, atau akademisi yang juga di-joki-in. Jangan-jangan tukang joki ini sejatinya lebih pintar dan berwawasan luas dibanding para Guru Besar, maksudnya oknum Guru Besar.

Lantas kenapa tukang joki ini menjalani hidupnya sebagai “tukang joki,” kenapa tidak berkarir di bidang lain? Entahlah. Mungkin memang sulit saja mencari pekerjaan di bidang lainnya, dan mungkin cara realistis dan termudah untuk mendapatkan uang dengan menjadi tukang joki.

Berbicara tentang bisnis, kita juga tidak bisa lepas dari namanya supply and demand. Tukang joki bisa ada dan berlipat ganda, sebab ada saja mahasiswa yang membutuhkan jasanya. Lantas pertanyaannya, kenapa mahasiswa membutuhkan jasa joki. Apakah para dosen tidak mengerjakan tugasnya dengan baik untuk membimbing mahasiswanya?

Menjadi dosen memang tidak mudah, selain mengajar di kelas, dosen juga disuruh menulis artikel, juga harus melakukan pengabdian kepada masyarakat, belum lagi beberapa dosen juga merangkap tugasnya sebagai tenaga kependidikan di kampusnya, entah sebagai petugas di program studi, fakultas, biro, atau bagian kerja di kampus tersebut.

Ini baru di kampus, sangat mungkin jika dosen juga aktif di suatu asosiasi, atau organisasi tertentu. Beban tugas ini yang mungkin membuat dosen kewalahan untuk mengurus mahasiswa bimbingannya.

Sial betul sistem yang ada saat ini. Mahasiswa dipaksa untuk belajar mandiri, mencari sendiri jalan untuk menyelesaikan skripsinya, akhirnya ada saja yang mencari jalan pintas untuk menggunakan joki.

Hasil akhirnya ada pada dosen, bagaimanapun juga yang meluluskan mahasiswa tetaplah dosen penguji. Dapatkah dosen penguji mengidentifikasi para mahasiswanya yang menggunakan joki, dapatkah mahasiswanya menjawab pertanyaan para penguji, jika tidak dapat menjawab pertanyaan penguji maka bisa dikatakan menggunakan joki. Hanya saja bagaimana jika mahasiswa tersebut menggunakan joki, dan dapat menjawab dengan baik?

--

--