Kapten Hanya Ingin Ke Dili : Impresi dan Kenapa Kau harus Baca Buku ini

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M
6 min readAug 12, 2023
Sumber gambar : https://www.instagram.com/felixnesi/

Pembuka adalah kunci. Ini impresi pertama saya.

Selain karena buku ini terbit pada pembukaan tahun 2023, kumpulan cerpen ini juga dibuka dengan apik oleh Mene, seorang perempuan yang dikisahkan menjadi “pembuka” bagi pemberontakan terhadap bangsa asing di tanahnya.

Tapi jangan buru-buru memandangnya sebagai kumpulan kisah heroik. Bagi saya, karya kesekian dari Felix K. Nesi ini tidak heroik sama sekali — dan itulah sebab pertama kenapa kau harus baca buku ini.

1. Bukan Hero yang Heroik

Saya — dan saya yakin begitu juga kau — tumbuh dengan siraman kisah heroik mengenai perjuangan orang-orang yang nyaris tak manusiawi; dilatari motif yang abstrak, ketokohan yang tak tercela, serta menghadapi musuh yang juga nyaris tak manusiawi, bengis total, dan sifat-sifat buruk lain yang tidak dipunyai tim terjajah.

Dan buku ini, memberikan narasi yang sebaliknya.

Pada masa dimana masyarakat memandang orang kulit putih sebagai dewa yang tak bisa dibunuh, Mene tidak memulai pemberontakan itu dari sehimpun gagasan kebangsaan, apalagi nilai filosofis yang memandu hidupnya sejak lahir hingga memutuskan untuk berontak.

Pemberontakan gadis pengiris tuak ini dimulai dari kecelakaan konyol yang menimpa perwira belanda di sebuah Lopo — semacam lumbung pangan masyarakat timor — memicu beredarnya kabar bahwa Mene telah menjadi sakti dan mampu membunuh dewa berkulit putih itu dalam satu loncatan.

Edan kan? Kepercayaan terhadap hal-hal diluar nalar, yang tadinya jadi sebab padamnya perlawanan, justru mendukung lahirnya api perlawanan yang baru.

Cerita ini bikin saya ingat dengan kisah Am Siki, salah satu tokoh dalam “Orang-orang Oetimu” yang menolak disebut penyelamat bangsa. Tahu alasannya apa? Pertama, dia tidak kenal siapa itu bangsa dan kedua, dia membakar kamp jepang karena segerombolan prajurit nippon memerkosa kuda kesayangannya.

Dan pada akhirnya, heroisme setara dengan mitos yang menyebar dari mulut ke mulut dan tertanam begitu saja dalam alam bawah sadar masyarakat. Itulah alasan kedua kenapa kau mesti baca buku ini.

2. Bukan Mistis pada Mitos

Benar tidak semua mitos itu mistis. Tapi juga benar kalau mitos itu banyak yang mistis. Nah, buku ini menyentil mitos yang akrab — dan biasanya bernuansa mistis. Juga berkaitan pula dengan bagaimana sebuah mitos bisa sangat mempengaruhi laku masyarakat.

Tempat yang angker dan dianggap makan korban akan dijauhi oleh banyak orang, tapi apa jadinya kalau dibaliknya ada kejahatan yang terus berlangsung — bahkan terkubur akibat mitos yang kuat? Atau bagaimana dengan seorang yang divonis tak dapat sembuh oleh dukun kampung, akibat tindakan tercela yang tiada ampun — sementara vonis yang dijatuhkan justru berangkat dari sentimen personal, yang kaitannya sampai ke isu politis yang mengakar.

Kita bisa saja tidak menyangka — disamping benar atau tidaknya suatu kepercayaan — bahwa mitos dapat menjadi tabir yang menutupi banyak kebobrokan. Terutama pada cerpen Iblis Padang Sabana, konteks ini dikisahkan dengan vulgar.

Tapi vulgar itu satu hal. Antara heroisme dan mitos, berbagai seginya diartikulasikan dengan baik. Iblis Padang Sabana dan Tanta Alus mungkin menyoroti mitos dengan gaya yang satir, tapi mitos juga menjadi pemicu perlawanan dalam kisah Mene. Berbagai segi yang “Manusiawi”, dari bijak sampai paling bejat, dijahit dengan apik hingga menggiring pembaca untuk mempertanyakan berbagai hal yang tadinya berlalu begitu saja disekitar kita.

Pola yang sama tidak hanya terjadi antara heroisme dan mitos saja, tapi juga dalam cakupannya yang lebih luas; antara yang sakral dan profan. Walaupun tidak jarang mempertentangan kedua hal itu, berbagai kisah di dalamnya tidak berhenti pada anti kemajuan atau sebaliknya kok. Ini jadi kesan yang terus membekas bagi saya pribadi, juga jadi alasan selanjutnya untuk kita bahas.

3. Bukan Soal Anti Ini-Itu

Penolakan terhadap satu hal agaknya bukan yang terpenting di kumpulan cerpen ini. Kau justru digiring untuk mempertanyakan apa jadinya kalau ini dan itu bertemu.

Dalam Mayat-mayat yang Hilang misalnya. Kita masuk kedalam situasi absurd dimana tokoh Lurah yang sebelumnya telah menempuh pendidikan setinggi mungkin, berhadapan dengan masalah yang jauh dari segala perencanaan hidupnya — mayat yang raib dari makam, hingga pemuda yang menyetubuhi pohon pisang.

Situasi konyol ini kemudian menjadi genting ketika objek setubuhan tadi ternyata sakral bagi suatu kelompok masyarakat.

Cerita ini juga mengeksplorasi sudut lain dari perkampungan. Ruang-ruang yang umumnya berkesan asri, sejuk, arif, dengan kebudayaan yang lestari serta jauh dari sesaknya kota, justru menyimpan kisah yang tak kalah nyesak dengan perkotaan. Bersamanya, tradisi yang lestari dan modernisme diperhadapkan dengan moralitas; mau apa mereka?

Sebaliknya, percakapan antara Pastor Muda dan Ni Kekuh, seorang kesatria timor yang telah menua, memberikan narasi yang berbeda mengenai perkampungan di masa lampau.

Pastor Muda dalam cerita ini perlu dilihat sebagai simbol. Ketika ia membujuk Ni Kekuh untuk membatis seorang janda, kita akan tahu bahwa tujuan sejatinya bukanlah membaptis. Pastor Wagemaker yang sosoknya tak hadir secara langsung pun menjadi pembanding, role model dari bagaimana idealnya seseorang bersikap dan menjadi.

Pastor muda menjadi simbol bagi arus perubahan yang muda dan terburu-buru. Latah dalam bersikap. Tumbuh dalam didikan yang tercerabut dari akarnya, dan kembali ke tanah kelahirannya sebagai orang asing, lalu berakhir dengan melecehkan identitasnya sendiri.

Kedua kisah ini menghadirkan dua situasi perkampungan dalam konteks waktu yang berbeda. Tapi dengan pola yang sama; pertemukan, pertanyakan.

Disamping adanya wacana besar mengenai lokalitas hingga pasca modernitas, ada hal-hal konkret yang sangat mungkin dikesampingkan. Inilah daya tarik selanjutnya.

4. Bukan Wacana Agung

Perjalanan sejarah adalah juga perjalanan dari tarik ulurnya berbagai wacana besar. Diantara pertarungan itu, ada rumput hijau hingga nyawa yang digilas olehnya. Kurang lebih ini mirip dengan bagaimana Camus membicarakan absurdisme, ketika Caligula membuang segala hal demi wacana besarnya untuk menggapai keabadian.

Salah satu cerpen berjudul Dan Ia Mulai Menangis mengisahkan ini dengan tragis.

Kenyataan yang membuatnya semakin ironis adalah, pengeboman tidak hanya dilakukan oleh (kita sebut saja) teroris. Dan bagi siapapun yang melakukan itu, tangisan dan patah hati tidak lebih dari resiko, bahkan terlalu rendah untuk ikut dipertimbangkan.

Kisah-kisah di buku ini mengajak kita untuk melihat apa yang remeh dibalik segala yang agung. Ada hati yang patah dibalik politik stabilitas, ada nyawa yang melayang dibalik kekuasaan, dan disamping manusia sebagai konsep, ada manusia yang konkrit dengan seluruh hasrat yang melekat padanya — walau ia berjubah suci sekalipun.

Ini berlaku tanpa mengenal ruang dan waktu. Sekalipun itu di dunia belahan timur yang eksotis.

5. Bukan Timur yang Eksotis

Belahan dunia timur identik dengan Asia, dimana negeri kita juga dapat ditemukan. Khususnya di negeri kita sendiri, timur lebih identik dengan kulit kecoklatan, rambut ikal, infrastruktur yang tidak semaju belahan bagian barat, dan landscape alam yang eksotis.

Kita bisa perdebatkan banyak hal mengenai “timur” sebagai konsep. Tapi kau tidak bisa pungkiri bahwa wacana yang beredar di timur negeri ini tidak akan mudah untuk sampai ke belahan bagian barat. Sementara apa yang dihasilkan dari Jakarta dan sekitarnya akan ditelan dengan mudahnya ke ujung negeri sekalipun. Juga dalam bingkai yang lebih luas, antara belahan bumi bagian timur dan barat.

Timur seakan sepadan dengan minor, sekunder, jauh.

Kisah-kisah dalam buku ini adalah realitas yang terkubur dibalik masifnya gerakan untuk memperadabkan bangsa timur pada masa lampau, serta jor-jorannya gelontoran dana untuk membangun tembok, di daerah yang tertinggal di mata statistik.

Dibalik gagasan dan proyek masif itu, ada tokoh Rinus yang tak punya keluarga berstatus pejabat sama sekali dan dibuat sial oleh bocah bekingan aparat, ada Renaldi dengan segala trauma masa kanak-kanak dan penyimpangan sosialnya, dan berbagai kisah lain yang jika disebutkan satu-persatu — tulisan ini jadi kasar sekali rasanya.

Tapi cerita kasar itu tetap saja harus diceritakan. Dan kumpulan kisah ini, berupaya menceritakan itu. Bahwa ada yang bobrok dibalik eksotisme timur kita. Bukan saja soal luka yang tidak sembuh, tapi luka yang tidak dianggap. Ini mungkin dekat dengan kau, bisa saja kau temukan di kompleks perumahanmu. Jika belum, artinya kau harus baca buku ini.

Informasi Tambahan

Selain cerpen terbaru, buku ini juga memuat cerpen-cerpen Felix K. Nesi yang tersebar di berbagai media. Bagi yang sudah akrab dengan karya penulis sebelumnya, penggalan kisah yang terhapus dari Orang-orang Oetimu rasanya ngajak kita untuk kembali menjelajahi dunia timur yang tragis dalam novel itu.

Pada akhirnya, ulasan ini hanyalah impresi pribadi yang bisa saja tidak relevan bagi pembaca tertentu. Tulisan ini diharapkan bisa membantu kau untuk memantik rasa penasaran. Tapi tanpa membaca karya itu sendiri, tulisan ini bisa saja menyesatkan. Sebab itu, yang terpenting adalah membaca karya itu sendiri.

--

--

Adi Chandra Wira Atmaja
Komunitas Blogger M

Akun ini saya buat untuk mengarsipkan ingatan, impresi dan pandangan subjektif saya atas berbagai hal; sosial, politik, budaya, seni, lokalitas.