Kata-kata Kasar Juga Dapat Menyinggung Perasaan Orang Kasar

Firdausa Febi Alfaris
Komunitas Blogger M
3 min readOct 24, 2021
Photo by Aarón Blanco Tejedor on Unsplash

Indonesia terdiri dari ribuan suku bangsa, BPS mencatat ada 1331 suku di Indonesia. Masing-masing suku juga tentu memiliki karakternya masing-masing. Berbagai macam karakter ini juga berkembang menjadi stereotip di masyarakat kita.

Sebagai contoh misalnya kita mengasosiasikan suku Jawa dengan orang yang lemah lembut, suku Sunda dengan kegemarannya bercanda, suku Minang yang ahli berdagang, dan lain sebagainya. Secara umum mungkin saja hal tersebut benar adanya, namun juga ada beberapa orang yang tidak berkarakter seperti yang distereotipkan. Sehingga, sebaiknya kita tetap netral dan tidak menjustifikasi seseorang dari suku bangsanya.

Beberapa hal yang juga menjebak kita adalah karena minimnya wawasan kita. Bisa jadi stereotip itu benar, namun kita tidak paham konsepnya secara holistik. Akibatnya kita tetap saja salah dalam berinteraksi dengan orang tersebut.

Sebagai manusia, kita makhluk sosial, memiliki kesamaan yaitu kita memiliki pikiran logika dan perasaan, IQ dan EQ, otak kiri dan otak kanan. Intinya kita adalah makhluk dengan paket lengkap antara konten dan konteks yang menghasilkan kesimpulan. Kebanyakan kita terjebak pada logika, tentu saja wajar karena kita memiliki kesempurnaan di sana dibandingkan dengan makhluk lain.

Kita menolak peran emosional dan perasaan kita sebab hal tersebut membuat kita merasa kurang profesional atau bahkan “kurang manusia”. Begitu sombongnya kita karena telah diberkahi akal dan pikiran. Namun, sesungguhnya peran perasaan atau sisi emosional kita tidak kalah pentingnya.

Kehidupan sosial merupakan tempat yang memerlukan keseimbangan antar keduanya. Tidak hanya IQ yang penting, tapi EQ kita juga berperan besar. Tentu ada SQ juga, namun kali ini saya mencoba mengulik tentang hal lainnya dulu. Akal pikiran, perasaan dan empati, semuanya harus seimbang.

Ada sebuah buku yang menyebutkan bahwa manusia memiliki otak kiri dan kanan. Keduanya memiliki fungsi masing-masing namun tidak saling lepas. Kita memahami konten berdasarkan apa yang diterima oleh otak kiri, sedangkan kita memahami konteks jika sudah ada otak kanan.

“Pulanglah sekarang Budi” adalah sebuah konten. Kalimat tersebut memiliki arti yang sudah jelas, namun apabila diucapkan dengan nada yang berbeda-beda, kalimat tersebut memiliki konteks yang berbeda-beda pula. Otak kiri kita paham jika Budi harus pulang sekarang, namun otak kanan melengkapi dengan mengetahui apakah yang menyuruh Budi pulang itu dengan lembut atau membentak.

Kembali ke bahasan utama, sebagai contoh pada suku Jawa (karena saya orang jawa). Suku Jawa sendiri memiliki perbedaan di dalamnya. Jawa Timur dan Jawa Tengah tentu berbeda.

Warga Jawa Timur dianggap lebih kasar dalam berbahasa. Beberapa kata kasar/misuh dari Jawa Timur juga banyak digunakan. Ambil saja contoh kata “Jancuk”. Saya yakin kalian sering mendengar bahwa kata tersebut sudah menjelma menjadi kata sapaan dan tanda keakraban di Jawa Timur.

Hal tersebut benar adanya, karena saya juga besar di Jawa Timur. Namun, apabila kita kaitkan lagi dengan keterkaitan konten dan konteks, tentu saja akan ada perbedaan besar dalam penerimaannya. Beda nada beda arti, beda pelafal juga beda konteks. Apabila ada orang yang belum dikenal mengucap kata tersebut, tentu saja artinya tidak lagi menjadi sapaan.

Inilah kenapa penting bagi kita untuk tetap menjaga keseimbangan otak kiri dan kanan, IQ dan EQ kita. Wawasan ini banyak luput dari fokus kita. Hasilnya, saat kita tiba-tiba menggunakan kata kasar ke masyarakat Jawa Timur yang bahkan belum kenal dengan kita, hal tersebut tidak menjadi hal yang biasa-biasa saja lagi, namun sudah menjadi hal yang memicu pertengkaran.

Kita tidak seharusnya menjustifikasi bahwa seseorang dari suku tertentu bisa diperlakukan dengan kekhasan suku tersebut secara tiba-tiba. Tetap ada fase pengenalan dan menyesuaikan konteks di dalamnya. Seseorang yang baru kita temui adalah orang asing, maka kita sebaiknya memperlakukan mereka dengan netral dahulu.

Dalam berinteraksi juga kita perlu mengidentifikasi terlebih dahulu siapa dan bagaimana lawan bicara kita. Sampaikan maksud kalimat kita dengan memilih diksi yang jelas dan gunakan nada dan intonasi yang pas. Sehingga konten dan koteks dapat tertangkap dengan baik dan value dapat tersampaikan dengan baik pula.

--

--