Bagaimana Jika Kekuranganmu yang Membuatmu Berkembang?

Karena Berpura-pura Sempurna Tidak Membuatmu Berkembang Sama Sekali!

Van Winata
Komunitas Blogger M
5 min readJan 9, 2021

--

Aneh sekali ketika saya mengetahui penjelasan bahwa dengan menunjukkan kekurangan justru membuat kita lebih disukai, kok bisa gitu?

Buku berjudul Flawsome ini ditulis oleh Georgia Murch. Penulis memberikan penjelasan bahwa meyakini kekurangan kita adalah bagian dari menjadi manusia. Hal ini dimiliki oleh semua manusia.

Flawsome adalah terminologi yang diberikan penulis untuk menggambarkan betapa kekurangan kita lah sesungguhnya yang membuat kita keren (awesome).

Bagaimana itu mungkin?

flawsome yaitu melihat pikiran, tindakan, dan bahkan kegagalan Anda dari tempat pemahaman, bukan penilaian.

Kekurangan ini yang membuat kita jadi manusia. Ini akan membuat kita melihat segala kekurangan kita dalam lingkup pemahaman, bukan penilaian (judgment) bahwa ini hal yang normal sebagai manusia, ketimbang berpikir ada yang salah dengan kita dan mengutuk diri.

Penulis memberikan analogi dari seni jepang yang bernama kintsukuroi (gold repair). Seni ini mereparasi keramik yang rusak dengan menyatukannya kembali dengan emas dibagian pecahannya itu yang membuat keramik itu jadi lebih mahal ketimbang aslinya.

Begitu juga dengan manusia. Tanpa kita sadari kekurangan kitalah yang membuat orang lain tertarik dengan kita.

Bagaimana penjelasannya?

Di tahun 1960-an, psikolog sosial Elliot Aronson menciptakan istilah untuk kecenderungan manusiawi untuk bersikap hangat terhadap orang yang mempermalukan diri sendiri. Dia menyebutnya Efek Pratfall (pratfall effect). Idenya adalah bahwa kesalahan, seperti menjatuhkan sesuatu atau tersandung atau semacamnya, menunjukkan kerentanan seseorang. Itu meningkatkan rasa simpati kita terhadap mereka dan membuatnya lebih disukai di mata kita.

Lantas jika demikian, kenapa kita lebih suka menyembunyikan kekurangan kita?

Hal ini Ada hubungannya dengan respon verbal dan non-verbal dari orang-orang di sekitar kita sehingga kita mengantisipasinya.

di tempat keramaian, jika ada yg melirik kita, kita menganggap diri kita sedang melakukan hal yang salah (entah bicara terlalu keras, atau semacamnya) padahal bisa saja orang itu hanya sedang mengamati sekitarnya.

Cara terbaik untuk merespon ini adalah dengan menerima kekurangan kita apa adanya. Dengan begitu setiap feedback orang lain hanya sebatas informasi yang bisa kita terima atau abaikan sepenuhnya.

Sahabat dari penulis pernah berkata bahwa, "kita tidak dapat menyelesaikan masalah internal dengan solusi eksternal." Seperti halnya menjadi flawsome, yang harus dilakukan bukan menutupi kekurangan kita, melainkan mempelajrainya.

Ada garis pemisah yang menbedakan cara orang menyikapi ini. Kebanyakan orang berada di bawah garis. Ini adalah tempat untuk menyalahkan dan menyangkal, di mana mereka menjadi defensif dan menuding orang-orang di sekitar mereka daripada bertanggung jawab atas peran mereka dalam hal negatif. Bentuk nyata bahwa kita masih di bawah garis adalah jika kita masih mengharap seseorang berubah ketimbang kita membuat perubahan bagi diri sendiri.

Kita harus keluar dari sana dan melewati batas garis itu. Keadaan di atas garis adalah tentang pengampunan, kesadaran, keingintahuan, dan kepemilikan atas masalah kita sendiri.

Saat kita berada di atas batas, kita menyadari dan bertanggung jawab atas cara-cara negatif kita menanggapi dunia, dan kita juga menjadi terbuka untuk menerima kekurangan kita dan belajar darinya. Setelah kita melakukannya, kita memulai flawsome growth process (biar lebih gampang kita singkat FGP)

FGP ini bukan tentang menjadi sempurna, dan tentunya bukan jalur linier untuk meninggalkan keadaan di bawah garis selamanya. Yang penting adalah menyadari ketika kita telah memasuki keadaan di bawah garis dan mengambil langkah untuk mengatasinya. Untuk melakukan itu, kita harus mengadopsi beberapa prinsip dalam perjalanan tersebut.

  • Prinsip pertama yang harus kita ketahui adalah mengenali pemicunya.

Pemicu adalah ide atau orang yang menimbulkan stres dan memancing reaksi negatif. Dan mereka sering kali menghalangi kita untuk benar-benar menerima informasi dan belajar darinya.

Jika kita sedang menghadapi sesuatu dan telapak tangan kita basah atau kepala kita mulai pusing, itu berarti kita sedang menghadapi suatu pemicu. Kenali tanda-tandanya sebelum kita bereaksi terhadapnya.

Pemicu ada banyak bentuknya:

Pemicu Konten: adalah informasi atau ide yang menurut kita tidak membantu, tidak adil, atau tidak disetujui. Bisa berupa perkataan seseorang atau perbuatan seseorang.

Pemicu Hubungan: adalah tentang siapa yang membagikan informasi itu dan perasaan negatif apa pun yang mungkin kita miliki tentang mereka. Ini berkaitan dengan "orang"-nya.

Pemicu Pengiriman: ketika cara informasi dibagikan yang meminta kita untuk menutup dan berhenti mendengarkan, kita berurusan dengan pemicu pengiriman. Ini berkaitan dengan bagaimana cara suatu informasi di sampaikan.

Dan terakhir, Pemicu Identitas: adalah ide-ide tentang kita yang sangat bertentangan dengan perasaan diri kita. Misalnya, penulis mengalami salah satunya saat rekan kerja mendeskripsikannya sebagai "mengintimidasi", suatu sifat yang tidak akan pernah dia kaitkan dengan dirinya sendiri.

Dengan mengenali pemicu ini, kita akan terbiasa melihat pola yang berpotensi untuk memicu reaksi kita. Dengan begitu kita lebih bisa mengontrol diri sebelum segala sesuatunya di luar kendali kita.

Bagaimana cara mengatasi pemicu ini?

Jika situasi pemicu itu muncul, cobalah untuk menarik nafas sejenak untuk berpikir. Apa yang membuat kita terpancing, bagaimana perasaan kita terhadap pernyataan/perbuatan itu, apakah kita pernah punya pengalaman di situasi yang sama, dan bagaimana kita memainkan peran kita sekarang dalam situasi ini agar ini menjadi keuntungan untuk kita. Supaya kita bisa belajar dari hal ini.

Yang kemudian menjadi masalah adalah kita sulit untuk tahu mana sikap yang benar dalam banyak situasi, terutama situasi yang belum pernah kita alami.

Biasanya kita akan dihadapkan dengan berbagai macam perspektif untuk menjawab ini. Tapi, kita terhalang oleh ego kita yang merasa bahwa sudut pandang kita lah yang benar dan kita cenderung untuk menolak segala perspektif yang tidak sejalan dengan kita. Hal ini akan membuat kita tidak belajar apapun.

Untuk itu kita masuk ke prinsip selanjutnya.

  • Prinsip kedua untuk mencapai flowsome adalah merangkul berbagai macam perspektif ini.

Penulis buku ini mengambil penyebab kenapa kita sulit melihat segala sesuatu dari banyak perspektif berdasarkan beberapa hal.

Pertama, lewat cara berpikir bias negatif yang disebut distorsi kognitif, yang pertama kali diidentifikasi pada tahun 1970-an oleh psikiater Dr. Aaron Beck. Penulis menyamakan sebagian besar distorsi kognitif dengan dewan direksi yang sangat negatif di benak kita.

Beberapa anggota dewan ini meyakinkan kami bahwa kami adalah satu-satunya yang tahu apa yang benar,

sementara yang lain mendorong melompat ke kesimpulan.

Yang lain lagi membuat kita terus-menerus mengejar kesempurnaan, atau membandingkan diri kita dengan orang lain.

Direktur mana pun yang bertanggung jawab, hasilnya sama - kecil kemungkinan kita melihat kebenaran dengan jelas.

Kedua, bagaimana kita memahami suatu informasi. Kita sering melebeli sesuatu dengan asumsi kita sendiri. Apabila teman kita batal mengajak kita jalan-jalan, kita menganggap teman kita ini tidak mau menghabiskan waktu dengan kita. Padahal belum tentu demikian. Perasangka negatif itu hanya ada di kepala kita saja dan itu membuat kita sulit menjadi flawsome.

Untuk mengatasinya kita bisa memberi ruang terhadap informasi yang kita dapatkan dengan tidak langsung berasumsi terhadapnya dan membiarkan diri kita memahami keseluruhan situasi sebelum menggambil kesimpulan. Hal itu akan membuat kita belajar dari banyaknya perspektif.

  • Prinsip ketiiga dan terakhir untuk jadi flawsome adalah transformasi.

Transformasi tidak seperti "aha! Moment." Ini lebih seperti evolusi dari pemahaman kita dari dua prinsip sebelumnya.

Saat kita sudah mengenali pemicunya, kemudian kita berhenti sejenak untuk memikirkan tindakan/respon yang tepat di situasi itu, kita sudah mengalami transformasi kecil. Semakin sering dilakukan, semakin jarang kita terdampak pada pemicu negatif itu.

Dalam perjalanannya, kita akan menghadapi situasi yang membuat orang lain kecewa, mungkin menyakiti mereka, atau membuat kecewa pada diri sendiri. Namun, cobalah untuk memaafkan. Dengan begitu, kita bisa terus melanjutkan proses transformasi kita dan membuat kita flawsome.

Jadikanlah kegagalan sebagai fase kehidupan, bukan identitas. Tiap kali kita melakukan salah, jangan melebeli diri sebagai orang yang gagal, melainkan anggaplah bahwa kegagalan adalah hal yang dialami oleh semua manusia. Jadikan setiap kegagalan kita jadi pijakan untuk terus bertransformasi.

Selamat menjadi flawsome!

Bacalah, bacalah, bacalah, dan jatuh cinta lah!

--

--

Van Winata
Komunitas Blogger M

ig: instagram.com/_vanwinata - bacalah, bacalah, bacalah, dan jatuh cintalah! - Versi Ilyas (Van Winata) yang senang baca dan nulis.