Kenali 5 Mitos Bahasa dan Faktanya

Lutfhi Variant Hanif
Komunitas Blogger M
8 min readMay 30, 2021

Sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan hidup kita sehari-hari, bahasa merupakan salah satu objek yang masih belum kita kenali sepenuhnya. Hal ini bisa jadi menyebabkan munculnya beberapa mitos tentang bahasa.

Kamu sendiri pasti pernah bertemu dengan sebuah mitos bahasa. Misalnya, seseorang di sosial media mengatakan kalau bahasa gaul, atau alay, merusak bahasa terkait, atau bahasa X, bahasa apapun itu, merupakan bahasa dengan sistem gramatika yang paling kompleks/simple di dunia.

Tapi, apakah mitos-mitos bahasa tersebut benar? Untuk menelusuri mitos-mitos tersebut, mari kita lihat bagaimana Linguistik, ilmu yang mempelajari tentang bahasa, menjawab fenomena-fenomena tersebut.

5 Mitos Bahasa dan Penjelasan Linguistiknya

1. Sebuah Bahasa Lebih Simpel atau Kompleks dari Bahasa Lain

Kalau kamu pernah mempelajari bahasa asing, kamu pasti menyadari kalau tiap bahasa mempunyai gramatika atau tata bahasa yang berbeda-beda.

Dari perbedaan-perbedaan yang kamu temukan, kamu mungkin langsung berspekulasi kalau ada sebuah bahasa yang lebih kompleks atau simpel dibandingkan dengan bahasa lainnya.

Tetapi, benarkah demikian?

David Crystal, seorang ahli bahasa dari Inggris, memaparkan hipotesis kompensasi¹ untuk menjawab persoalan tersebut. Hipotesis itu mengatakan kalau semua bahasa itu setara.

Artinya, secara intrinsik setiap bahasa tidak memiliki kecacatan atau unsur-unsur yang membuat bahasa tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial dari penuturnya.

Setiap bahasa memiliki kompleksitas atau ketidakberaturannya sendiri. Bahasa Indonesia sendiri, misalnya, memiliki apa yang disebut Hukum KPST², yang menjelaskan bagaimana kata-kata yang berawalan bunyi /k/, /p/, /s/, dan /t/, seperti ‘kukus’, ‘pukul’, ‘sikat’, dan ‘tinggal’, mendapatkan awalan yang berbeda-beda tergantung bunyi yang mengikutinya.

Terkait sifat simpel, satu-satunya contoh dimana sebuah bahasa berevolusi semakin simpel datang dari bahasa pijin. Bahasa pijin merupakan sebuah bahasa yang muncul dari gabungan antara dua bahasa atau lebih, misalnya bahasa Inggris dengan Spanyol.

Tetapi, hal ini tentunya karena para penutur bahasa pijin mempunyai dorongan atau motivasi eskternal untuk saling memahami, misalnya orang-orang kolonial yang berusaha untuk tampil ramah pada orang-orang asli, atau ketika orang-orang asli berusaha untuk bertransaksi dengan orang-orang kolonial.

Singkat kata, tidak ada bahasa yang lebih kompleks atau lebih simpel dibandingkan dengan bahasa lainnya.

2. Hewan Memiliki Bahasa Seperti Manusia

Photo by Francesco Ungaro on Unsplash

Yang satu ini mungkin salah satu mitos bahasa yang cukup tidak asing bagi kita. Misalnya, sebuah berita mengatakan simpanse atau hewan lainnya dapat berbicara seperti manusia, atau hewan seperti lumba-lumba memiliki bahasanya sendiri untuk berkomunikasi.

Tetapi, apakah itu berarti hewan-hewan tersebut memiliki bahasa? Lalu, apa sebenarnya bahasa itu?

Linguistik sendiri telah mengidentifikasi bahasa manusia memiliki beberapa ciri³:

  • Aribtrer: Sifat ini menyatakan tidak ada hubungan atau kaitan antara bunyi, kata, atau simbol dengan benda atau konsep yang dirujuk. Misalnya, kata ‘meja’ tidak memiliki kemiripan intrinsik dengan benda yang disebut meja.
  • Diskret: Sifat ini menyatakan kalau bahasa terdiri dari unit-unit kecil yang dapat membentu sebuah makna yang lebih besar.
  • Tidak Terbatas Ruang-Waktu (Displacement): Sifat ini menyatakan kalau kita bisa membicarakan hal-hal yang tidak sedang terjadi saat ini atau di sekitar kita. Misalnya, kita bisa membicarakan masa lalu atau masa depan tentang kehidupan di sebuah tempat yang jauh.
  • Pola Dualitas: Sifat ini menyatakan kalau unit-unit bermakna dalam sebuah bahasa, tersusun oleh unit-unit yang tidak memiliki makna. Misalnya, bunyi /meja/ terdiri dari bunyi /m/, /e/, /j/, dan /a/. Masing-masing, mereka tidak memiliki makna, namun jika mereka digabungkan, kita akan mendapatkan sebuah kata bermakna: meja.
  • Produktivitas: Sifat ini menyatakan kalau manusia dapat membuat dan memahami ujaran dalam jumlah yang tak terhingga.
  • Semantisitas: Sifat ini menyatakan bahwa dengan bahasa, kita dapat menggunakan simbol untuk merujuk pada suatu benda.

Sekarang, pertanyaanya adalah: apakah tiap hewan menunjukkan kapasitas berbahasa seperti kriteria di atas?

Penelitian telah menunjukkan kalau beberapa hewan mampu menunjukkan kapasitas berbahasa yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Misalnya, simpanse yang telah diamati dapat memberikan sinyal ketika bahaya datang. Tetapi, simpanse tersebut hanya didapati mengeluarkan sinyal tersebut ketika bahaya ada di depan mata. Kita belum mengamati, atau mungkin tidak bisa mengamati, simpanse yang mengkomunikasikan bahaya di masa lampau atau kemungkinan bahaya di masa depan. Hal ini menunjukkan kalau bahasa hewan, khususnya simpanse, tidak memiliki sifat displacement.

3. Bahasa Gaul Merusak Bahasa Indonesia

Photo by Eliott Reyna on Unsplash

Mitos bahasa satu ini mungkin sedang populer-populernya. Beberapa orang, khususnya generasi terdahulu, sering didapati mencibir kegiatan berbahasa anak-anak muda yang dicap sebagai perusak bahasa Indonesia.

Tapi, apa yang sebenarnya dimaksud dengan merusak sebuah bahasa? Apakah bahasa Indonesia dapat rusak?

Misalnya, jika laptop saya rusak, katakan saja sudah tidak bisa menyala lagi, maka saya tidak akan bisa menggunakannya lagi dan harus membeli laptop baru, atau saya harus mengularkan uang untuk memperbaikinya.

Lalu, bagaimana dengan bahasa Indonesia? Ketika sebuah bahasa rusak, bagian intrinsik apa dari bahasa yang rusak? Lalu, apakah kita tidak akan bisa menggunakan bahasa Indonesia lagi ketika bahasa Indonesia sudah rusak?

Pertanyaan yang cukup aneh, bukan?

Bahasa tidak bisa rusak, tetapi bahasa dapat berubah. Hal ini yang sebenarnya terjadi, dan beberapa orang tampaknya tidak senang dengan perubahan ini, seperti yang selalu terjadi ketika sebuah bahasa mengalami perubahan.

Steven Pinker di videonya tentang Linguistik dan gaya menulis di abad 21⁴ memaparkan kalau keluhan tentang anak-anak muda tidak bisa menggunakan bahasa dengan baik dan benar sampai-sampai sebuah bahasa akan mustahil untuk dicerna sudah ada sejak era Renaisans di Eropa.

Tentunya, kekhawatiran itu tidak pernah menjadi nyata, dan bahasa Inggris, salah satu bahasa yang dikhawatirkan akan mustahil untuk dimengerti, kini telah menjadi bahasa internasional.

Apakah hal ini berarti tidak mengkhawatirkan dan hanya merupakan hal yang dilebih-lebihkan? Tentu tidak.

Memang ada alasan yang kuat bagi institusi, lembaga, atau pemerintah untuk menjaga status serta peran bahasa nasional, seperti bahasa Indonesia. Pemerintah tentu menginginkan masyarakat dapat mengerti berita atau pesan yang disampaikan oleh pemerintah melalui bahasa Indonesia. Institusi atau lembaga juga pasti menginginkan komunikasi di antara mereka lancar melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Tetapi, hal ini juga tidak berarti menggunakan bahasa gaul, atau alay, merupakan suatu hal yang buruk. Sebagaimana pemerintah mempunyai alasan untuk masyarakat dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, orang-orang juga memiliki alasannya masing-masing untuk mengabaikannya.

Alasan tersebut datang dari fungsi bahasa sebagai identitas. Siapapun dapat menunjukkan identitasnya dari cara Ia berbicara, seperti penggunaan kosa kata yang khusus di sebuah komunitas, atau gaya bicara dari daerah tertentu, dan lain-lain.

Untuk dapat berbaur dengan komunitas atau orang-orang tertentu, sering kali kita harus berbaur dengan cara menggunakaan gaya bahasa yang serupa dengan orang-orang di sekitar kita.

Jadi, alasan kita sering mengabaikan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukanlah karena kita tidak peduli apalagi ingin merusak bahasa Indonesia. Tetapi, karena sebagian besar dari kita ingin berbaur dengan komunitas atau orang-orang.

4. Anak Kecil Lebih Mudah Mempelajari Bahasa Asing Ketimbang Orang Dewasa

Photo by Ben White on Unsplash

Mungkin pembaca sudah tidak asing lagi ketika melihat beberapa orang tua, khususnya dari keluarga kalangan menengah ke atas, untuk menyekolahkan anaknya yang masih kecil ke sekolah bahasa asing, entah itu bahasa Inggris, Jepang, dan lain-lain.

Alasannya adalah karena seseorang akan sulit belajar asing ketika menginjak usia dewasa. Jadi, sebisa mungkin seseorang harus mulai mempelajari bahasa asing sejak dini.

Tetapi, benarkah demikian?

Penelitian dari MIT⁵ menunjukkan kalau orang dewasa bisa menyaingi orang-orang yang telah belajar bahasa asing sejak kecil.

Studi tersebut menunjukkan bahwa orang yang baru mulai mempelajari bahasa asing setelah umur 20 tahun masih memiliki kesempatan untuk dapat mencapai kemampuan seperti penutur jati (native speaker).

Tapi, mengapa mitos bahasa satu ini dapat muncul?

Salah satu alasannya bisa jadi karena sebagai orang dewasa, kita tidak terekspos bahasa asing sesering seperti seorang anak kecil. Seorang anak bisa terekspos bahasa asing secara konsisten dengan mengikuti les atau sekolah bahasa.

Sementara itu, orang dewasa mungkin sudah memiliki jadwal atau kesibukan lain yang menyebabkan proses belajar mereka tampak lebih lambat dibandingkan anak kecil.

Intinya, mungkin tidak berarti orang dewasa susah untuk atau bahkan tidak bisa belajar bahasa asing, mungkin saja mereka tidak punya kesempatan seperti anak kecil yang bisa memfokuskan diri untuk belajar bahasa asing.

5. Bahasa ‘X’ Mempunyai Kosakata Paling Banyak

Photo by Joshua Hoehne on Unsplash

Mitos bahasa satu ini mungkin cukup umum bagi orang-orang yang mempelajari sebuah asing.

Bahasa Inggris, biasanya, sering dinobatkan sebagai bahasa dengan kosakata terbanyak. Alasannya? Karena bahasa Inggris merupakan bahasa internasional, dan bahasa Inggris juga merupakan bahasa ‘campuran’ antara bahasa Jerman, Prancis, dan Latin.

Tetapi, apakah betul demikian? Apakah ada bahasa yang bisa mengklaim dirinya sebagai bahasa dengan kosa kata terbanyak?

Lagipula, apa itu kata?

Ini bukan pertanyaan filosofis. Orang-orang umumnya mendefinisikan kata sebagai satu unit yang memiliki jarak atau spasi diantaranya, seperti ini dan juga ini. Artikel ini berisi kata-kata!

Kriteria di atas sudah tentu memiliki banyak kekurangan. Bagaimana dengan bahasa Jerman, misalnya, yang dikenal memiliki kata untuk segalanya dengan penulisan kata benda majemuknya?

Jerman dikenal memiliki kata-kata yang super panjang. Padahal, kenyataannya kata-kata panjang tersebut merupakan gabungan kata majemuk, kata yang terdiri dari beberapa kata, seperti keran air, gorden besar, dan lain-lain.

Tetapi, karena bahasa Jerman tidak menambahkan jarak atau spasi di antara kata, banyak kata di bahasa Jerman yang seolah-olah merupakan satu kata, walaupun kenyataanya merupakan gabungan dari beberapa kata.

Lalu, bagaimana dengan bahasa agglutinatif? Bahasa agglutinatif adalah bahasa yang menambahkan morfem, seperti awalan atau akhiran, untuk merubah makna kata tanpa merubah penulisan atau pengucapannya.

Bahasa Jepang, misalnya, merupakan bahasa agglutinatif⁷. Dalam bahasa Jepang, untuk menunjukkan negasi, penutur bisa menggunakan bentuk negatif dari kata tersebut, misalnya ‘taberu’ yang berarti ‘makan’ menjadi ‘tabenai’ yang berarti ‘tidak ingin makan’. Atau, untuk menunjukkan kesopanan, penutur bahasa Jepang bisa menambahkan awalan o- atau go- di awal kata, misalnya ‘tomodachi’ yang kurang lebih berarti ‘teman’ bisa menjadi lebih sopan dalam bentuk ‘otomodachi’.

Dalam kasus tersebut, apakah kita akan mengklasifikan ‘taberu’ dan ‘tabenai’ atau ‘tomodachi’ dan ‘otomodachi’ sebagai kata yang berbeda?

Walaupun memang benar bahwa ada bahasa yang memiliki kosakata yang terkadang tidak dimiliki oleh bahasa lain, seperti ‘schadenfraude’ dari Jerman yang berarti ‘perasaan senang atas penderitaan orang lain’, tetapi sulit rasanya menerima klaim tentang bahasa dengan kosa kata terbanyak.

Karena pada dasarnya, kita harus mendefinisikan apa dulu itu kata, dan lebih kompleksnya lagi, kita juga harus menentukan bagaimana kita bisa mencari jumlah kata dalam suatu bahasa.

Apakah dengan menggunakan kamus? Bagaimana kita bisa yakin kalau kamus tersebut telah memuat seluruh kata dalam suatu bahasa pada waktu tertentu?

Pada dasarnya, kegiatan seperti di atas memang mustahil, begitu pula dengan klaim mitos bahasa dengan kosakata terbanyak.

--

--

Lutfhi Variant Hanif
Komunitas Blogger M

Senang menghabiskan waktunya untuk mempelajari hal-hal baru dan mengonsumsi anime dan manga dengan porsi yang wajar.