Kenapa Kita Selingkuh?

Ketika Anda respek pada seseorang, Anda akan mengaguminya apa adanya dan menerima karakternya secara utuh.

Karto K. Saragih
Komunitas Blogger M
4 min readAug 21, 2024

--

Selingkuh dan ego. Photo by Wesley Balten on Unsplash

Tema selingkuh salah satu postingan paling ramai di media sosial. Saya terkadang geli membaca komentar orang-orang tentang selingkuh. Komentar yang beragam, misalnya; ‘setiap hari berita isinya selingkuh, dunia sudah mau kiamat’, ‘pasangan yang cantik dan baik ditinggalkan demi pelakor’, ‘kenapa pelakor gayanya sama semua, ya?’ dan banyak lagi.

Kita terlalu mudah menyimpulkan sifat manusia. Seolah-olah manusia dengan cerita selingkuh baru ada di bumi ini sejak era media sosial. Kita mengukur semua kejadian berdasarkan rentang umur kita, menilai orang berdasarkan sepatu yang kita pakai. ‘Kalau aku punya istri secantik itu aku tidak mungkin selingkuh.’ Saya tertawa. Orang yang belum menikah bahkan mungkin tidak punya pacar sering kali enteng berbicara tentang pernikahan dan perselingkuhan.

Saya sepakat soal perselingkuhan dekat dengan kehidupan, bagian tak terpisahkan sejak dulu, tidak hanya terjadi di era media sosial, tapi sejak manusia ada. Menurut studi, sebanyak 41 persen pasangan menikah selingkuh, sebagian besar dengan rekan kerja. Wajar karena di tempat ini banyak komunikasi.

Selingkuh juga jamak terjadi dengan adik atau kakak ipar, kayak di film itu deh. Data lain mengatakan perselingkuhan berlangsung rata-rata dua tahun, waktu yang cukup untuk mengetahui apakah hubungan akan berlanjut ke jenjang berikutnya. Data terakhir, sebanyak 31 persen pasangan tetap mempertahankan pernikahan setelah perselingkuhan terungkap.

Ada yang bilang, selingkuh bukan berasal dari ranjang, tapi dari obrolan. Seolah benar, ya? Tapi perlu pemikiran yang dalam. Kita tidak boleh mengobrol dengan lawan jenis agar tidak selingkuh, tutup mulut ketika ada lawan jenis mengajak ngobrol? Enggak juga, kan? Hasil penelitian Richard Dawkins (The Selfish Gene) memberi gambaran lebih jelas kenapa pejantan (laki-laki) meninggalkan betina (perempuan).

Menurutnya, ada kecenderungan gen berkata pada tubuh kita sebagai mesin kelestarian. Katanya, ‘hei tubuh, jika ada Anda pejantan, tinggalkan pasangan Anda sebelum pesaing saya membuat Anda pergi, ayo carilah pasangan lain.’ Kesimpulannya, selingkuh terjadi karena manusia gen egois. Semua manusia egois.

Leluhur manusia, menurut Thomas Hobbes, orang-orang yang menyedihkan, kesepian, dan kejam. Kehidupan mereka digambarkan miskin, brutal, dan singkat. Seperti hewan di alam liar, manusia prasejarah sulit berumur panjang akibat kekejaman dan persaingan. Mereka memiliki banyak waktu luang dibandingkan orang-orang modern yang sibuk.

Leluhur kita sering melakukan seks, tentu saja, dan mungkin lebih sange dibanding kita. Mereka pun jelas bukan orang-orang pemalu dan penuh norma karena dunia mereka belum dicampur agama. Dan, yang pasti, leluhur kita bukan penganut monogami. Meski kita hidup di zaman modern dengan perabadan yang jauh lebih baik, tapi kita masih memiliki sifat-sifat asli leuluhur kita. Salah satunya sifat egois itu karena gen leluhur sama dengan gen kita saat ini.

Respek. Photo by Giulia Bertelli on Unsplash

Menghindari Selingkuh

Ketika ingin menikah, penulis buku Mark Manson meminta saran dari orang-orang yang tak dikenalnya di dunia online. Ribuan saran pernikahan masuk ke blog-nya. Kesimpulan Mark, mereka yang menikah bahagia hingga 20 tahun mengatakan berlebihan jika kita menganggap komunikasi sebagai kunci pernikahan bahagia. Mark juga bertanya apa masalah utama pasangan yang bercerai. Sebagian besar menjawab komunikasi yang perlu diperbaiki, atau salah satu pasangan menuntut komunikasi yang lebih.

Komunikasi sebagai biang kegagalan rumah tangga bisa dimengerti. Bayangkan, Anda hidup bersama seseorang selama belasan tahun, bahkan hingga beberapa dekade, pasti terjadi kegagalan komunikasi. Kadang, Anda bahkan seperti tidak mengenal lagi pasangan Anda. Itu hal yang wajar, dan akan selalu terjadi jika Anda menikah dengan manusia.

Komunikasi yang baik bukan satu-satunya cara membuat pernikahan atau suatu hubungan bahagia, bahkan bisa jadi bukan yang utama. Respek ternyata berperan penting. Respek bisa diartikan sebagai suatu tindakan menjunjung, menghormati, menghargai seseorang. Respek mengandung rasa hormat atau penghormatan.

Respek membutuhkan orang lain, untuk mendapatkan respek diperlukan pemberi respek. Sehingga, dalam konteks sebuah hubungan, respek menjadi hubungan yang saling mengagumi. Ketika Anda respek pada seseorang, Anda akan mengaguminya apa adanya dan menerima karakternya secara utuh. Ketika dia berbuat kesalahan, Anda bisa mengerti atau memaafkan, begitu juga sebaliknya.

Seperti halnya integritas, respek adalah permainan jangka panjang yang membutuhkan pengorbanan. Apapun yang membutuhkan pengorbanan memberikan hasil yang luar biasa. Respek menjadi timeless jika Anda menjadikan sebagai sebuah prinsip utama dalam kehidupan.

Jika Anda sudah menikah dan saat ini komunikasi Anda dengan pasangan buruk, pernikahan Anda belum tamat. Berusahalah memperbaikinya.

Ingat, komunikasi tak harus seperti dulu. Ketika pulang kantor dalam perjalanan hampir satu jam saya dan istri sering tidak berbicara di dalam mobil. Istri saya tidur atau nonton drama Korea di ponselnya (why?), saya mendengarkan musik atau mencari-cari ide tentang tulisan. Komunikasi boleh berkurang tapi Anda jangan sampai kehilangan respek pada pasangan.

Jika Anda ingin menikah, pahami tiga hal ini; pertama, pasangan Anda egois, tak peduli sebaik apa dia di mata Anda, kedua, Anda juga egois meski Anda tidak mengakui atau sering menutupinya, dan ketiga orang-orang di sekitar Anda juga egois.

--

--