Kenapa Kuliah Jurusan Hubungan Internasional?

Salwa Nurmedina Prasanti
Komunitas Blogger M
3 min readAug 7, 2024
Photo by Meizhi Lang on Unsplash

Pertama kali saya mendengar istilah “hubungan internasional” adalah saat menduduki bangku SMP.

Bagi saya saat itu, belum ada jurusan yang menarik, selain filsafat — jurusan yang tak direstui kedua orang tua saya. Hingga akhirnya, saya mengetahui bahwa ada jurusan yang bernama “Ilmu Hubungan Internasional” dari salah satu sepupu saya yang akan kuliah.

Seketika saya tertarik dan mencoba untu mencari tahu lebih jauh. Ternyata hal-hal yang dibahas terkait jurusan tersebut lumayan saya senangi, seperti berita internasional, PBB, budaya-budaya antar negara, dan sebagainya. Namun, itu hanya sebatas angan sebab saya harus mengenyam pendidikan menengah atas dahulu.

Singkat cerita, saya melanjutkan pendidikan ke salah satu pondok pesantren di Indonesia, Pondok Modern Darussalam Gontor.

Meski berlabel “pondok”, saya merasa seakan berada di sekolah internasional sebab beberapa rekan saya di sana berasal dari luar Indonesia, seperti Malaysia, Thailand, Arab Saudi, Amerika Serikat, Belanda, dan sebagainya. Berteman dengan mereka yang berasal dari negara lain memperkaya perspektif saya tentang dunia. Jadi, meski mobilitas terbatas, saya tetap dapat merasakan luasnya dunia — mengenal teman-teman dari luar negeri dan membaca buku di perpustakaan.

Selain itu, ternyata banyak sekali alumni Gontor yang berkiprah di luar negeri. Salah satunya yang paling berkesan bagi saya adalah Al-Ustaz Prof. Dr. Husnan Bey Fannanie, M.A., Duta Besar RI untuk Azerbaijan 2016–2020. Bisa dibilang beliau adalah salah satu inspirator besar yang membuat saya tertarik pada dunia hubungan internasional.

Setelah tamat pendidikan di pondok selama empat tahun, saya mengabdi di tempat yang sama selama setahun. Selama masa mengabdi, saya berada di ambang bingung. Sebenarnya apa hal yang benar-benar saya ingin lakukan setelah ini? Apakah ketertarikan saya dengan hubungan internasional akan saya lanjutkan di universitas?

Semakin dipikirkan, saya semakin yakin untuk melanjutkan. Akhirnya, saya mendaftar ke dua universitas di Indonesia dengan jurusan yang sama, yakni Ilmu Hubungan Internasional.

Alhamdulillah, saya diterima di Universitas Airlangga dan mendapatkan program studi pilihan saya.

Tulisan ini saya buat ketika masa penantian ospek sehingga saya belum mulai mempelajari mata kuliah yang ada. Namun, sedikit demi sedikit saya mulai meraba beberapa hal terkait dengan hubungan internasional dan diplomasi.

Dua kali saya mencoba ikut event model united nations tanpa perbekalan yang matang.

Benar saja, saya bagai menceburkan diri ke laut tanpa tahu caranya berenang. Akibatnya, saya tenggelam dalam rasa malu. Sejatinya, bukan malu pada delegasi lain, tetapi malu pada diri sendiri. Malu akan kemampuan diri yang belum mumpuni seperti yang lain. Ketika yang lain fasih berbahasa inggris dan memiliki pengalaman terkait dunia internasional lebih banyak, saya merasa sangat rendah pada awalnya.

Dari sini, saya tersadar bahwa jalan yang saya tapaki ke depannya tidaklah mudah. Setelah perjuangan dari pondok pesantren lalu diterima di salah satu universitas top di Indonesia, ternyata perjuangan saya masih panjang. Awalnya, saya merasa kenyang setelah lulus dari pondok. Seketika lapar kembali ketika masuk jenjang kuliah. Ternyata, hidup terus berjalan.

Tuhan tak membiarkan saya merasa cukup dan berhenti menuntut ilmu. Rasa cukup dan enggan belajar lagi, itulah yang harus dihindari. Saat saya merasa demikian, Tuhan menakdirkan saya belajar di bidang baru agar belajar dari nol lagi.

Sebagaimana air mengalir yang memberi manfaat bagi sekitarnya. Jika diam di tempat, justru menimbulkan penyakit.

Selain menjadi ladang menuntut ilmu yang baru, hubungan internasional juga dapat menjadi ladang dakwah. Cara penyebaran Islam salah satunya adalah karena diplomasi. Melalui cara berdiplomasi, Nabi Muhammad saw. dapat menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Begitu juga yang dilakukan Wali Songo saat menyebarkan Islam di Jawa. Sejatinya begitu banyak inspirasi yang bisa saya dapatkan dari mana saja. Semua itu tergantung bagaimana saya menyikapinya.

Tentang cita-cita, tentu mahasiswa HI pada dasarnya ingin menjadi diplomat. Saya pun begitu.

Namun, banyak yang mengatakan bahwa itu hanyalah sebatas cita-cita di semester awal. Sejujurnya cita-cita yang saya miliki tak hanya satu. Selain diplomat, saya menyukai dunia jurnalistik sehingga saya juga ingin menjadi jurnalis. Jadi, saya tak terpaku pada satu cita-cita. Kendati demikian, saya akan tetap bersungguh-sungguh menjalankan apa yang telah ditetapkan Tuhan untuk saya.

--

--

Salwa Nurmedina Prasanti
Komunitas Blogger M

IR student of Airlangga University || Politic and international affairs enthusiast