Keteraturan yang tak disadari

ulul azmi syafira
Komunitas Blogger M
4 min readMay 12, 2024

Buku Kosmos-nya Carl Sagan nampaknya selalu bisa menjadi penyegar di kala dahaga emosi itu menguar.

Kosmos oleh Carl Sagan adalah buku saduran dari karyanya sendiri, Cosmos, yang ditulis pada tahun 1980 dan setidaknya mendapatkan banyak capaian yang mentereng. Salah satunya, bukunya stabil di posisi teratas sebagai buku terpopuler di Publisher Weekly (salah satu penerbit lama yang berbasis di Amerika, sejak 1872).

Ketika membuka halaman awal, kita akan melihat beberapa testimoni orang-orang penting — yang juga lingkarannya Sagan — memberikan apresiasi terhadap bukunya. Namun yang tidak kalah pentingnya, satu halaman setelah apresiasi tersebut dikhususkan untuk semestanya (red, istrinya).

Asumsi pembaca (di beberapa website), Sagan menulis Kosmos dalam rangka menjadi rekaman yang dibukukannya. Kosmos seperti merangkum rekaman piring tahun 1988 punyanya yang sedikit banyak menjelaskan konsep kosmos dalam alam semesta; sebutan untuk kabut yang ditinggali oleh titik biru kecil yang selama ini kita sebut Bumi. Namun sejatinya, Kosmos banyak berbicara soal keharmonisan.

Photo by paweldotio on Unsplash

Buku Kosmos terbagi dalam beberapa bab keharmonisan, mulai dari soal tepi lautan kosmik, suara fuga dalam kosmik, harmoni planet-planet, surga dan neraka (venus dan mars), lagu biru, dongeng pelancong (red, Voyager), tulang punggung malam, kehidupan bintang-bintang, tepi ketakterhinggaan, ensiklopedia galaktika, dan juru bicara Bumi. Kesemua bab ini kurang lebih menjelaskan sedikit banyak soal fenomena alam yang disebut keteraturan. Spektrum cahaya, menjadi yang terbanyak disinggung selain atom, menjelaskan betapa penting gelombang cahaya untuk menatap Venus dan Mars. Ketika kita memahami cahaya dari banyak spektrum itu memberi sinyal atau gelombang, maka kita akan mengetahui ilmu lainnya, misalnya soal komposisi atau tekstur objek yang dilihat — dan ini berkaitan dengan kimia lainnya. Ya, soal keteraturan.

Titik balik buku ini berada pada bab surga dan neraka, soal manusia menentukan ke mana hendak pergi ketika bumi sudah tidak sanggup karena terpapar perang nuklir di masa depan. Sagan memprediksi — secara tidak langsung — perihal perang saudara yang tak bisa dihindarkan oleh karena berebut alam teratur. Di masa depan, alam bisa menjadi hal yang sangat langka untuk ditaklukkan, sehingga manusia modern berpotensi akan memperebutkan itu, meski harus menembakkan nuklir, katanya. Sehingga, saat itu, manusia modern lainnya akan menciptakan surga baru yang setidaknya bisa ditinggali. Tetapi mereka akan menemukan kebuntuan karena Venus terlalu panas, Mars terlalu dingin.

Photo by Dynamic Wang on Unsplash | Mars dari suhu udara: dingin, walau berwarna merah atau terkesan panas.

Kritik Sagan ada pada soal penjagaan Bumi yang suatu saat, manusia akan lalai pada hal ini, padahal hanya Bumi satu-satunya yang bisa ditinggali.

Kosmos bercerita banyak soal science in technically way yang mana menurut saya, ini menjadi pemicu bosan saat membaca. Ketika istilah atau adagium sains tidak langsung kita mengerti — karena kita tidak bersinggungan langsung, misalnya, akan sulit memahami fenomena keteraturan yang berusaha digambarkan Sagan. Selain soal surga dan neraka, pembahasan soal pelancong alam semesta atau yang disebut oleh Sagan sebagai wahana antariksa juga tak kalah menyenangkan karena praktiknya, kita bisa membayangkan betapa luas alam semesta itu untuk bisa kita jelajahi walau sinyal tangkapan yang kita terima soal suhu udara dan gelombang — hal ini yang selama ini diterapkan saat Voyager melalangbuana menuju serta memutari Jupiter dan Saturnus.

Akhirnya…

Kosmos perihal manusia menyatukan diri dengan bintang yang meledak jutaan tahun lalu. Partikel bintang itu masih utuh dan berbentuk kita yang terus berevolusi. Menurutnya, kesamaan besi yang ada pada gigi dan partikel bintang bukanlah kebetulan. Melainkan sebuah tanda bahwa memang alam semesta itu harmoni yang berarti satu kesatuan. Berulang kali — setiap mengakhiri BAB — Sagan mengingatkan pentingnya tugas utama manusia sebagai pemelihara alam semesta. Ini tidak ia ambil sebagai bagian dari refleksi suatu agama — yang meskipun ada bagi beberapa agama tertentu — tapi ia refleksikan karena kekagumannya terhadap keteraturan itu dan berharap keteraturan itu utuh sampai dengan anak cucu yang juga sama menikmatinya dengan kita.

Karena kita adalah pengejawantahan lokal Kosmos yang tumbuh menyadari dirinya sendiri. Kita telah merenungkan asal-usul kita: zat bintang yang merenungkan bintang-bintang; pertemuan sepuluh miliar miliar miliar atom yang memikirkan evolusi atom; menelusuri perjalanan panjang yang menyebabkan, paling tidak di sini, kesadaran muncul. Loyalitas kita ditujukan kepada umat manusia dan planet Bumi. Kita berbicara atas nama Bumi, …kewajiban kita supaya bertahan hidup bukan hanya untuk diri kita sendiri, melainkan juga untuk Kosmos, yang tua dan luas, yang darinya kita berasal. — Sagan, “Siapa Juru Bicara Bumi?” (dalam buku Kosmos, 2016).

PEEPS… salah satu kutipan lainnya yang ingin saya kutip, paling tidak ini adalah buah moderasi tulisan Sagan ialah bahwa di alam semesta yang sepi ini, yang barangkali juga hanya berbentuk titik biru kecil, kita beradu pada masalah, tetapi juga perlu diingat, bahwa satu-satunya tempat kita bisa pulang mungkin hanya di sini. Bumi yang indah, karya keteraturan.

--

--