Kita Dibesarkan untuk jadi Oversharing, Kepo, dan Suka Ikut Campur

Dyah Laras
Komunitas Blogger M
7 min readOct 18, 2023
Oversharing, Kepo, dan Suka Ikut Campur
Freepik

Saya pernah duduk menunggu dan antre obat di RS. Dan dalam 10 menit, saya sudah tahu bahwa ibu-ibu di sebelah saya adalah janda berusia akhir 40-an, tinggal di Kecamatan B, Jalan D, sedang kontrol kolesterol dan darah tinggi, punya anak laki-laki dan perempuan yang sudah bekerja dan merantau di ibu kota.

Anak yang perempuan namanya D, lulusan Universitas di Kota S, kerja sebagai CS di suatu bank dan sudah mau lamaran. Padahal saya nggak nanya, lho.

Saya nggak nanya karena nggak pengen ditanya balik. Justru beliau yang dengan santainya menceritakan semuanya.

Dalam 10 menit saya sudah mendapat banyak informasi sedetail itu yang dibagikan pada saya dengan sukarela oleh si Ibu. Apakah ini termasuk oversharing? Atau, ini sekadar percakapan normal sebagai bentuk basa-basi dan keramahtamahan khas orang Indonesia, antara dua orang yang kebetulan sedang mengantre bersama, dan ketika saatnya pulang nanti, kami akan melupakannya detail percakapan tadi?

Sampai di mana sih, batas ramah-tamah dan oversharing ini?

Budaya Oversharing dan Kepo di Indonesia

Budaya Oversharing dan Kepo di Indonesia
Freepik

Dibesarkan di kampung, sebenarnya saya bersyukur dikenalkan dengan rasa kekeluargaan dan gotong-royong yang tinggi antar warga. Bersih-bersih kampung, selamatan, atau acara apa pun, selalu meriah dan tak pernah kekurangan tenaga untuk membantu. Sharing makanan? Nyaris tiap hari.

Ada tetangga mau pergi sejenak? Tinggal titip saja anaknya ke rumah kami atau rumah tetangga lainnya. Semua merasa punya ikatan dan wajib membantu satu sama lain.

Sayangnya, makin besar saya makin menyadari bahwa ikatan dan kedekatan antar tetangga ini harus dibayar mahal dengan nyaris tidak adanya privacy di antara kami. Apa yang terjadi pada tetangga, bahkan cuma anak tetangga yang bolos dan dimarahi ibunya saja, kami sekampung langsung tahu.

Apalagi kalau sampai ada “insiden”. Pernah ada suami istri cekcok, semua orang se-RT bisa keluar rumah dan tanpa tedeng aling-aling ikutan nimbrung di depan rumahnya. Saat masih kecil, saya nggak paham apa gunanya, ikut-ikutan saja kok seru rame-rame ngumpul depan rumah orang. Sekarang baru ngeh kalau kejadian itu benar-benar kayak meme “emak-emak ngumpul = the real fast data transfer”, deh.

Saya mulai merasa terganggu sejak masuk SMP. Waktu itu saya baru menyadari kalau tetangga dan saudara bisa keluar-masuk rumah dengan nyamannya, bahkan main langsung buka pintu saja kalau butuh sesuatu. Padahal saat itu saya lagi goler-goleran di karpet depan TV hanya bercelana pendek dan tetangga nyelonong masuk aja nyari ibu.

Satu waktu, ada teman laki-laki kakak yang datang ke rumah. Baru saja tamunya masuk dan duduk, sudah ada beberapa tetangga yang keluar rumah dan terdengar suara, “Siapa itu? Pacarnya si A kah?” dan obrolan di antara mereka di depan rumah masih berlanjut, padahal si tamu hanya berjarak beberapa meter saja dari mereka.

Astaga! Kalau ingat ini, saya jadi tersadar, ini sih namanya sudah sangat kepo dan nggak sopan.

Saya menyadari kalau dibesarkan di lingkungan yang mewajibkan saya oversharing. Saat saya kecil habis mandi sore dan pake baju rada bagusan dikit, tetangga pasti nanya, “Kok pake baju bagus, mau ke mana?”

Bukannya jawab tempat tujuan, jawaban ibu saya malah, “Ke Pasar L, mau beli x, ini lho, buat lomba kakaknya. Minggu depan sudah mau lomba di Kelurahan C bareng sama anak-anak di madrash S dianter Pak L,”.

Pernah juga ketemu teman ibu, biasalah langsung ditanya ini dan itu. Kalau saya cuma jawab sesuai pertanyaan, misalnya “Kelas 5”, “Sudah makan,” tanpa lanjutan, ibu pasti ngomel, “Kok gitu jawabnya? Judes amat.”

Lah, kan sudah dijawab pertanyaannya.

Pantes, dulu waktu pertama kali kerja, saya yang nggak terlalu pede ngomong di depan orang, suka dibilang sombong dan nggak ramah karena suka jawab pendek-pendek. Padahal, kalau sudah kenal, saya ramah dan lovely, lho.
Saya cuma nggak terbiasa basa-basi saja.

Tapi ternyata bukan cuma ibu saya yang suka begini.

Suatu hari, setelah kerja merantau ke luar kota beberapa lama, saya mudik. Lalu, ibu minta antar ke pasar dan kebetulan ketemu sama teman senamnya. Seperti biasa, saling menyapa, dan sudah kuduga, bertanya, “Kerja di mana?”, dan yang paling di luar nalar, “Berapa gajinya di sana, mbak?”

Saya yang nggak prepare dengan pertanyaan nggak sopan begini cuma mesam-mesem aja, berharap teman ibu nggak nanya lagi.

Berhasil?
Buat saya berhasil, karena si ibu sudah nggak mengorek-ngorek info lagi. Tapi malahan dia yang jadi cerita tentang anaknya yang pertama, yang kedua, pada kerja di mana, kos di mana, gajinya berapa, sudah ada calonnya, orang mana calonnya. Astaga.
Apa semua ibu-ibu begini, ya?

Bagi masyarakat kita, ini mungkin hal yang lumrah dilakukan sebagai bentuk ramah-tamah. Namun bagi saya yang makin beranjak tua, ada banyak sekali culture yang saya kurang sreg.

Kita akan sering menemukan pertanyaan ‘basa-basi’ di mana pun, kapan pun: di bus, di kantor baru, di pasar, saat antre, saat menunggui anak di playground, dan sebagainya.

Pertanyaan-pertanyaan klise seperti “Asal mana?”, “Kerja di mana?”, “Sudah menikah atau belum?”, dan hal-hal lain yang sebenarnya aneh untuk dibicarakan dengan orang yang baru bertemu, nyatanya ya, lumrah ditemukan di setiap percakapan baru. Meski demikian, saya nggak menormalisasi ini. Seenggaknya, saya nggak mempraktikkan ini.

Bagi saya, ramah-tamah yang berbalut basa-basi, bisa merembet ke pertanyaan pribadi, dan berujung ke oversharing. Pasalnya, saya penganut paham, “Nggak semua orang itu bertanya karena perhatian, sebagian cuma kepo, sebagian lagi pengen adu nasib.”

Dari Mana Budaya Ini Berawal?

ramah
Freepik

Saya menyadari, level keramahan orang Indonesia memang di atas rata-rata negara mana pun di seluruh dunia. Keramahan masyarakat kita di mata masyarakat internasional sudah dibuktikan dengan hasil survei dari lembaga-lembaga terkenal. Misalnya Expat Insider [1], World Population Review [2], bahkan Lonely Planet yang sampai ngasih clue: Kalau berkunjung ke Indonesia, pasti wisatawan akan dapat senyum dan sapa dari masyarakat.

Di Indonesia, budaya sosial, kebersamaan, dan ramah-tamah memang sangat kuat. Sejak saya kecil, saya terbiasa melihat ibu, ayah, kakak, nenek, kakek, sepupu, tetangga (kayaknya memang semua orang) suka bergaul, ngobrol dengan orang lain, dan suka membantu.

Dalam lingkungan seperti itu, rasa ingin tahu tentang orang lain sering muncul karena mereka merasa punya tanggung jawab untuk tahu tentang apa yang terjadi dalam lingkungan sosial mereka.

Sayangnya, masyarakat kita masih belum banyak yang paham dengan konsep privacy. Mungkin ini yang jadi penyebab banyak orang dengan mudahnya membagikan informasi yang harusnya bersifat pribadi ke orang lain.

Dalam budaya sosial ini, setiap orang dianggap sebagai bagian dari masyarakat dan banyak hal yang biasanya dianggap privat malah dijadikan urusan bersama. Makanya, sering banget kan, mendengar, “Kapan nikah? Kok makin gendut? bukan hanya dari keluarga atau teman dekat, yang cuma kenalan atau teman jauh pun, basa-basinya bisa “makjleb” begini.

Indonesia, Negara dengan Netizen Ter-Toxic dan Tidak Sopan

toxic people
Freepik

Nggak cuma suka kepo, orang Indonesia juga terkenal suka ikut campur, bahkan cenderung mengatur ke orang lain.

Masih ingat nggak, tahun lalu publik jadi gempar oleh pemberitaan berlebihan tentang Ra*il M**ard*ka, seleb TikTok dari Indonesia yang tinggal di Jerman, yang terang-terangan mengaku g*y?

Sejak ramai, mulai seleb lokal sampai pejabat publik merasa perlu menyampaikan pendapatnya tentang kehidupan yang dipilih Ra*il. Semua berita, TV, media online, dan media sosial, tak henti-hentinya mengorek kehidupan si seleb, agamanya dicari, sampai tinggi badan pun (kalau teman-teman cek pakai keyword nama, pasti ketemu “people also ask”). Teman lamanya diwawancarai, sampai Ketua MUI pun dikejar wartawan untuk turut berkomentar.

Apa ya, alasan media blow up ini besar-besaran sampai buka HP dan TV isinya berita ini semua, padahal ada banyak berita urgent lainnya yang perlu diketahui masyarakat?
Memuaskan nafsu kepo warga? Atau merasa harus “mengubah” Ra*il?

Menurut survei Digital Civility dari Microsoft yang berjudul “Civility, Safety, and Interactions Online 2020”, masyarakat Indonesia dikategorikan sebagai netizen paling tidak sopan dan toxic di Asia Tenggara. bahkan, jadi salah satu dengan nilai terburuk secara global.

Apa saja indikatornya? Suka melakukan cyber-bullying, memakai kata umpatan berlebihan, bahkan ancaman pembunuhan kepada siapa pun yang tidak mereka sukai atau tidak menganut nilai-nilai yang sama, dan mempermalukan kepercayaan minoritas atau agama lain. Fiuhh…

To be honest, iya netizen Indonnesia memang sering kelewatan di media sosial, tapi mungkin karena kurang paham dengan etika bermedia sosial. Tapi di dunia nyata pun banyak yang begini: tidak tahu batasan, kurangnya pemahaman tentang privacy, dan suka ikut campur.

Saya sih, percaya kalau ini bukanlah bagian dari budaya kita. Ini sebabnya, oversharing, kepo, dan suka ikut campur jangan dinormalisasi dan dibenarkan, dengan dalih bahwa kita peduli terhadap satu sama lain. Atau, berlindung di balik “masyarakat sosial”.

Tapi ini masalah bersama, kan?
Solusinya, edukasi diri sendiri dulu, anak-anak, dan keluarga terdekat, awali dari lingkungan terkecil. Small steps, and we will get there.

--

--

Dyah Laras
Komunitas Blogger M

a storyteller by day, a rapper by night, a long-life learner