Konten Jelek (Visual) Kok Bisa Viral, Apa Musababnya?

Edwin Fauqon
Komunitas Blogger M
4 min readJul 11, 2024

Lima tahun yang lalu, sebelum mendalami dunia pengelolaan media sosial, saya percaya bahwa kunci suatu konten bisa viral hingga jadi bahan obrolan abang-abang skena, kakak-kakak SCBD, dan bapak-ibu yang gaptek adalah visualnya.

Jika berupa desain grafis, konten mesti didesain dengan seksama—warna, gambar, tata letak objek, serta segala tetek bengek yang menyertainya, semua dipikirkan dengan matang, tak boleh serampangan apalagi ala kadarnya.

Kaidah, hierarki, dan komposisi harus diperhatikan dengan jeli. Selain itu, semua teknik penyuntingan dan rekaan visual rumit yang memakan waktu setengah masa jabatan presiden mesti digunakan. Itu tanda kecakapan dan sesuatu yang dikerjakan dengan cakap akan cakep.

Jika berwujud video atau audio-visual, konten harus memiliki gambar yang tajam, suara yang jernih, serta suntingan yang setara dengan film-film peraih Oscar. Semua harus sempurna tanpa celah serta cacat dari segi manapun.

Makin profesional pembuatan suatu konten, apa pun itu, makin besar pula kemungkinan konten itu akan viral.

Begitulah cara pikir saya lima tahun lalu.

Dan, cara pikir itu keliru.

Bagaimana bisa konten yang dibuat sekenanya, bahkan tidak diniatkan untuk viral, bisa menyebar ke kehidupan sehari-hari seperti wabah?

Saya tidak perlu menyebutkan konten apa dan siapa pembuatnya. Kamu cukup buka media sosial, entah Tiktok, Instagram, ataupun Twitter (saya tahu platform itu telah berubah nama menjadi X, tapi selamanya akan saya sebut dengan Twitter) dan konten-konten yang jika diperhatikan, baik sengaja maupun tidak, telah mengabaikan elemen-elemen penting seperti audio dan visual bisa mendapat jutaan penonton.

Sementara itu, konten-konten yang menghabiskan biaya produksi berkali-kali lipat tak mampu menyamai capaian engagement barang 10% dari konten viral dengan kualitas visual yang mengkhawatirkan.

Apa yang salah dan mestinya bisa diperbaiki?

Pada tahun-tahun awal saat mulai mendalami dunia konten, saya heran dan penasaran. Lantas, saya menyadari ada tiga hal penting yang menjawab hubungan yang sering kali bertolak belakang antara usaha, visual, dan kemungkinan viral.

Pertama, relatable (mudah dipahami)

Konten tersebut mesti mudah dipahami dan dekat dengan target audiens. Aspek ini akan meningkatkan kemungkinan viral karena tidak ada hambatan bagi audiens untuk mengerti dan merasakan apa yang ini kita sampaikan.

Kamu bisa melihat konten yang memanfaatkan suatu keresahan. Apa pun itu. Tidak ada orang yang unik. Apa yang kamu resahkan kemungkinan besar juga diresahkan oleh orang lain.

Contohnya, konten yang menyampaikan kebiasaan perempuan menjawab terserah saat ditanya mau makan di mana. Maka, komentar akan penuh dengan cerita-cerita serupa dengan sumber resah yang sama.

Ingat, makin personal suatu konten, makin besar kemungkinan orang mengamini ataupun menolaknya. Dan, keduanya sama-sama masuk dalam metriks interaksi.

Kedua, valuable (bermanfaat)

Percuma membuat konten dengan menakjubkan secara visual, tapi tidak bermanfaat bagi target audiens. Orang hanya peduli pada sesuatu yang menguntungkan baginya. Selalu tanamkan, apa untungnya konten ini buat audiens?

Jika tidak ada manfaat yang menyertai konten itu, audiens akan masa bodoh dengan usaha yang telah kamu limpahkan saat membuat konten tersebut. Dan, jika dia sendiri merasa konten itu tidak bermanfaat, konten itu kecil kemungkinan akan disebarkan, padahal rantai sebaran seperti inilah yang memicu keviralan.

Ketiga, rawness (nyata dengan ketidaksempurnaan)

Konten yang terkesan ala kadarnya lebih mudah menarik perhatian karena nyata—tidak dibuat-buat seperti konten dari suatu jenama (brand). Video yang goyang, kesalahan tulis, dan penatatan sekenanya membuat suatu konten jadi lebih dekat, lebih manusiawi, sehingga manusia lain lebih mudah memahami.

Inilah kenapa banyak konten bikinan jenama yang serba teknis dan profesional kadang tidak menerima respons yang diharapkan. Orang-orang sudah muak dengan konten yang terlalu ‘diatur’ sehingga enggan berinteraksi.

Perlu kesadaran untuk menyeimbangkan antara kebutuhan visual dan teknis dengan sisi humanis agar orang lebih mudah menerima suatu konten.

Sekarang perhatian utama mesti berkutat pada pertanyaan: Bagaimana cara membuat konten dengan usaha sekecil mungkin untuk menghasilkan efek sebesar mungkin?

Low effort, high impact.

Saya tidak mengatakan bahwa kamu perlu melupakan visual dan segala keribetan dalam proses produksi konten. Tidak. Tapi, sebelum berpusing ria dengan hal-hal teknis tersebut, ada baiknya untuk memperkuat isi konten itu sendiri. Memastikan bahwa konten itu relatable, valuable, dan rawness adalah salah tiga kunci awalnya.

Jonah Berger dalam buku Contagious: Why Things Catch On menyebutkan enam aspek penting kenapa sesuatu bisa viral. Kamu bisa mencarinya sendiri. Dia menjelaskan lebih rinci, tapi relatable, valuable, dan rawness mungkin bisa dibilang adalah versi sederhananya.

Lain kali, saat melihat konten yang secara kualitas audio-visual mencemaskan, jangan buru-buru kesal, dan coba telaah:

Bagaimana konten yang dibuat ala kadarnya oleh satu orang dari antah berantah bisa viral ketimbang kontenmu yang dibuat dengan ribet dan penuh revisi itu?

--

--

Edwin Fauqon
Komunitas Blogger M

Menulis tentang apa-apa yang ada di kepala. Kadang film, buku, pemerintah yang tidak becus bekerja, konten media sosial, dan hal-hal di antaranya.