Kosakata Agak Laen dalam Bahasa Indonesia

Mengenal kosakata dalam bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah

Muhammad Rayhan
Komunitas Blogger M
6 min readJun 30, 2024

--

Photo by Amanda Jones on Unsplash

Pada artikel keenam saya, “Keunikan Bahasa Indonesia”, saya menerangkan bahwa salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah memiliki sistem fonologi yang konsisten. Hampir 99 persen — atau mungkin lebih — kosakata yang ada dalam bahasa kita memenuhi kaidah bahasa yang telah dibentuk serta memiliki keselarasan antara penulisan dan pengucapannya.

Hal ini tentunya sangat berbeda dengan bahasa Inggris. Dalam bahasa internasional itu, banyak sekali kosakata yang tidak sesuai kaidah atau dikenal sebagai kata tidak beraturan (irregular verbs). Misalnya, kata “best” untuk superlatif dari “good” alih-alih “gooddest”; better alih-alih goodder; worse alih-alih badder; worst alih-alih baddest; children alih-alih childs; dan mice alih-alih mouses.

Saya tidak tahu pasti berapa banyak kosakata dalam bahasa Inggris yang berbentuk tak beraturan, tetapi hasil riset saya menunjukkan bahwa jumlah kata kerja (verba) yang tidak beraturan dalam bahasa Inggris berjumlah 360 kata. Itu baru untuk kata kerja tak beraturan saja sudah cukup kompleks, belum lagi jika kita pertimbangkan jenis kata lain atau aturan gramatikal, seperti kata sifat, perubahan dari singular ke plural, dan lain-lain.

Selain banyak kosakatanya yang tidak beraturan, bahasa Inggris juga cenderung tidak konsisten antara pengucapan dengan penulisannya. Sebuah fonem dapat memiliki beragam bunyi, misalnya “a” dalam “bad” diucapkan seperti /æ/, dalam “father” diucapkan seperti /ɑː/, dan dalam “about” diucapkan seperti /ə/. Poligraf “ough” bahkan lebih kompleks, bisa diucapkan sebagai /oʊ/ seperti dalam “though”, /uː/ dalam “through”, /ɔː/ dalam “thought”, atau /ʌf/ dalam “enough”.

Sungguh rumit, bukan? Apalagi bagi kita yang bukan penutur asli bahasa Inggris. Bayangkan, selain kita harus mempelajari cara mengucapkan suatu kata dalam bahasa Inggris dengan benar, kita juga harus menghafal banyak kosakata yang tidak sesuai pola atau tidak beraturan. Itu pun baru yang menyangkut bentuk bahasa dan leksikal, belum termasuk aspek lainnya, seperti makna kata (semantik) dan pragmatika yang juga memiliki ketakkonsistenan.

Tak heran jika murid-murid di Indonesia menganggap bahwa bahasa Inggris sulit dipelajari.

Masih dengan persoalan yang sama, dalam bahasa Indonesia, kita patut bersyukur karena persoalan itu sangatlah sedikit. Dari 127 ribuan lema yang ada pada KBBI, sepertinya tidak sampai 50 kata — koreksi jika salah — yang memiliki masalah seperti itu. Bahasa kita sangat konsisten, baik dari segi kaidah penulisan maupun penyerapan kata.

Tentu, tidak ada bahasa yang penerapan pola dan kaidahnya sempurna di dunia ini, termasuk bahasa Indonesia. Meskipun kebanyakan kosakata yang tidak beraturan tersebut ditemukan pada kata-kata serapan, hal ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia sendiri tidaklah sempurna dalam hal aturan, pola, atau kaidah yang diberlakukan.

Lalu, apa saja memangnya kosakata yang tak beraturan dalam bahasa Indonesia? Mengapa mereka tidak beraturan? Apa pertimbangannya?

Dalam artikel ini, saya akan menguraikan beberapa kosakata tidak beraturan dalam bahasa Indonesia dan menjelaskan alasan mengapa kata-kata tersebut menjadi tidak beraturan.

Mari kita mulai!

Lima Kosakata Tak Konsisten dalam Bahasa Indonesia

  1. Lift, Tank, dan Bank
    Kata-kata seperti “lift”, “tank”, dan “bank” adalah contoh kosakata serapan dari bahasa asing yang tidak mengikuti kaidah penyerapan yang berlaku. Menurut aturan penyerapan dalam bahasa kita, keberadaan dua konsonan berurutan, kecuali digraf (ng, ny, kh, dan sy), di akhir kata tidaklah baku, sehingga seharusnya ketiga kata itu tidak memenuhi kaidah tersebut. Namun, alih-alih menggunakan “lif”, “tang/teng”, dan “bang”, Badan Bahasa sebagai pihak yang berwenang lebih memilih untuk mempertahankan bentuk “lift”, “tank”, dan “bank”.
    Keputusan ini tentunya diambil bukan tanpa alasan. Bentuk “lift”, “tank”, dan “bank” dipertahankan sesuai dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa Inggris, dengan tujuan agar bentuk tersebut tidak menimbulkan ambiguitas dengan kosakata yang sudah ada (tang untuk tank dan bang untuk bank), lebih menyenangkan dalam pengucapan, dan lebih memperhatikan aspek penulisan. Terkecuali kata “lift”, saya tidak tahu pasti mengapa bentuk tulisan seperti itu tetap dipertahankan. Bagi saya pribadi, rasa-rasanya tak apa jika diadopsi menjadi “lif” saja. Mungkin Uda Ivan Lanin bisa menjawab alasannya. Meskipun begitu, kita memiliki satu sinonim yang lebih pas dalam hal kaidah untuk kata itu, yaitu elevator.
  2. Oppa dan Massa
    Hampir mirip dengan poin sebelumnya, dua kata, “oppa” dan “massa,” adalah contoh dari kosakata serapan yang tidak mengikuti kaidah penyerapan yang benar. Seperti halnya “lift,” “tank,” dan “bank” yang bermasalah karena adanya dua konsonan berurutan di akhir kata, “oppa” dan “massa” juga bermasalah karena adanya konsonan yang sama dan berurutan (dua huruf ‘p’ untuk “oppa” dan dua huruf ‘s’ untuk “massa”).
    Alasan mengapa kata-kata ini tidak diserap menjadi “opa” dan “masa” sama dengan alasan sebelumnya, yaitu untuk menghindari kebingungan, karena “opa” dan “masa” telah memiliki arti yang berbeda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
  3. Mempunyai dan Mengkaji
    Berbeda dengan poin-poin sebelumnya, kata “mempunyai” dan “mengkaji” dianggap tidak beraturan karena menyimpang dari aturan pengimbuhan atau afiksasi. Dalam bahasa Indonesia, terdapat aturan peleburan untuk kata dasar yang diawali dengan huruf “k”, “t”, “s”, dan “p” ketika diberi prefiks. Misalnya, “kalah” menjadi “mengalah” bukan “mekalah”; “tuang” menjadi “menuang” bukan “metuang”; “selam” menjadi “menyelam” bukan “meselam”; dan “palu” menjadi “memalu” bukan “mepalu”.
    Kata “mempunyai” tetap dipertahankan bentuknya karena sudah lazim digunakan selama bertahun-tahun lamanya. Sementara itu, “mengkaji” sengaja dibentuk demikian agar dapat dibedakan dari kata dasar “kaji” yang memiliki arti berbeda. “Mengaji” berarti membaca Al-Qur’an, sedangkan “mengkaji” berarti mempelajari sesuatu.
  4. Belajar dan Pelajar
    Sempat menyinggung diksi “mempelajari” pada poin sebelumnya, bersamaan dengan kata belajar pula, kedua kata itu berakar dari kata “ajar”. Kita tahu bahwa tidak ada awalan bel- atau pel- dalam bahasa Indonesia, tetapi adanya ber- dan pe-. Namun, mengapa muncul bentuk “belajar” dan “pelajar”? Lalu, mengapa bentuk yang baku justru “belajar” alih-alih “berajar” dan pelajar alih-alih “peajar”?
    Sebenarnya, ada penjelasan teoretis mengapa muncul bentuk seperti itu, tetapi cukup rumit. Sederhananya adalah karena memang dua bentuk itu sudah lazim digunakan dan berterima selama bertahun-tahun lamanya.
  5. Ketua, Kekasih, dan Kehendak
    Pada hakikatnya, bahasa Indonesia tidak memiliki awalan ke- sebagai awalan resmi. Hal ini berbeda dengan konfiks ke-an atau awalan ke- yang sering dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Sebagai alternatif, kita dapat menggunakan awalan ter- untuk menggantikan awalan ke-, contohnya mengubah kebuang menjadi terbuang.
    Walaupun awalan ke- tidak dianggap resmi dan produktif, terdapat tiga kata resmi dalam bahasa Indonesia yang menggunakan awalan ke-, yaitu ketua, kekasih, dan kehendak. Ketiga kosakata itu tidak dapat diganti dengan awalan ter-, termasuk kekasih. Meskipun ada entri terkasih dalam KBBI, kelas kata terkasih adalah adjektiva (kata sifat), sementara kekasih adalah nomina (kata benda). Dengan begitu, mereka tidak saling menggantikan atau tidak bersinonim.
    Alasannya masih sama, yaitu karena memang sudah lazim digunakan.

Selain dari poin-poin yang telah disebutkan, masih terdapat beberapa kosakata anomali atau yang menyimpang dari kaidah yang umum lainnya. Contohnya, kata “dimengerti” serta “telentang dan telantar”. Namun, karena waktu yang hampir berganti hari, saya perlu segera menerbitkan tulisan ini sebelum hari berganti. Oleh karena itu, saya akan membatasi contoh hanya pada lima poin tersebut untuk saat ini.

Simpulan

Bahasa Indonesia memiliki keunikan dalam konsistensi fonologis dan kaidah penulisan, yang membedakannya dari bahasa Inggris yang penuh dengan ketidakteraturan dalam pengucapan dan tata bahasa. Meskipun demikian, terdapat beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang menyimpang dari kaidah baku, terutama dalam kosakata serapan dan aturan afiksasi. Kata-kata seperti “lift,” “tank,” dan “bank” mempertahankan bentuk aslinya untuk menghindari ambiguitas, sedangkan kata “mempunyai” dan “mengkaji” menyimpang dari aturan peleburan prefiks untuk mempertahankan makna yang jelas dan lazim.

Meskipun terdapat ketidakteraturan, jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bahasa Inggris. Keputusan untuk mempertahankan beberapa kata yang tidak beraturan sering kali didasarkan pada penggunaan yang sudah lazim dan untuk menghindari kebingungan makna. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun bahasa Indonesia tidak sepenuhnya sempurna, ia tetap menawarkan keselarasan yang memudahkan penutur dalam mempelajarinya. Kesimpulannya, bahasa Indonesia lebih konsisten dan memudahkan penuturnya dalam hal pengucapan dan penulisan.

Berikan tepukan/clappers (👏🏻) jika kalian suka dengan tulisan saya ini. Jangan lupa pula untuk menanggapi dengan berkomentar (💬) ketika ingin bertanya, merespons atau mengulas sesuatu, atau bahkan sebatas bertegur sapa. Kedua hal itu sangat berpengaruh bagi saya untuk terus semangat menulis setiap hari.

Jika kalian ingin terhubung dan lebih dekat dengan saya, kalian bisa menghubungi saya melalui DM Instagram atau mengirim surat elektronik melalui G-Mail pribadi. Oiya, boleh sekali jika kalian ingin mengapresiasi saya dengan memberikan tip melalui laman Saweria saya ini. Terima kasih!

--

--

Muhammad Rayhan
Komunitas Blogger M

Seorang mahasiswa yang tengah membangun kebiasaan menuangkan ide dalam bentuk tulisan atau lisan.