Kutukan Agung

Ada kutukan dalam bentuk lain yang kusadari

Raushan Fikr A
Komunitas Blogger M
5 min readJan 28, 2020

--

Barangkali kita pernah mendengar sosok tentang Gorgon (Medusa, Stheno dan Euryale) anak dari dewa laut kuno Phorcys dan Ceto. Tidak seperti kedua saudarinya, Medusa tidak abadi.

Sebelum dikutuk menjadi wanita menyeramkan, Medusa sebetulnya wanita cantik dan cerdas yang bertugas sebagai pendeta wanita di kuil Athena. Dengan paras dan kecerdasaannya ia mampu menarik perhatian pria manapun.

Satu waktu, Medusa sedang membaca buku di kuil Athena. Sang Dewa Laut — Poseidon, lalu datang menghampiri dan memperkosanya. Tak butuh waktu lama, Athena mengetahui kejadian itu. Tapi sangat disayangkan, Sang Dewa Laut dibebaskan dari penguasa Athena. Tuduhan itu berbalik kepada Medusa, ia dikutuk menjadi monster. Wajahnya menyeramkan, helai rambutnya berubah menjadi ular, bola matanya berubah menjadi bola api dan sorotnya memancarkan lidah-lidah api. Medusa kini menjadi terror di seluruh kota. Kehadirannya menyebabkan ketakutan bagi orang-orang. Hingga akhirnya sidang Dewan Kota memutuskan; buru dan bunuh Medusa!

Seorang raja dari Seriphus — Polydectes, memerintahkan Perseus untuk memenggal kepala Medusa. Dalam perjalanan perburuannya, Perseus diberi beberapa peralatan dari para Dewa-Dewi. Athena membekali perisai cermin. Hephaestus menghadiahi pedang. Hades memberi helm kegelapan. Dan Hermes memberi sandal bersayap.

Perseus tahu, tak satupun lelaki lolos dari kutukan sorot mata Medusa. Maka Perseus mencari akal. Setiap menjelang malam ia mengintip kamar tidur Medusa, dan menemukan titik kelemahan wanita itu; Medusa harus melepaskan bola matanya yang panas agar dapat tidur. Dengan bantuan perisai cermin pemberian Athena, Perseus mendekati Medusa perlahan. Sepersekian detik kemudian, pedang telah berhasil menebas kepala Medusa. Kematian Medusa yang sedang mengandung benih Poseidon ditandai dengan keluarnya Pegasus dan Chysaor.

Dua saudari Medusa marah besar mengetahui kematiannya. Tetapi berkat sandal bersayap pemberian Hermes dan helm kegelapan milik Hades, Perseus melarikan diri membawa kepala Medusa.

Kepala itu dijadikan persembahan untuk Athena, dan diletakkan di sebuah tameng. Kita mengenalnya dengan nama tameng Aegis. Kelak akan menjadi pelindung dan jimat di medan perang.

Sesuai namanya, Medusa — untuk melindungi.

Photo by Roi Dimor on Unsplash

Medusa tentu korban dari sistem patriarkis. Dalam kasus perkosaan, perempuan dijadikan obyek sebagai mangsa yang tidak mungkin melawan. Mutlak milik sang predator. Ditambah dengan pengadilan yang melepaskan Sang Dewa Laut lalu menuduh Medusa sebagai pengundang berahi.

Tapi tunggu, bukan itu yang ingin aku bahas. Ini soal kutukan.

Pada umumnya kita mengenal kutukan persis seperti apa yang ditimpakan pada Medusa. Mutasi fisik yang menyeramkan, kekuatan super, diasingkan dari lingkungannya, dan hilangnya ketenangan jiwa. Yang paling tragis, bahkan berpotensi kehilangan jiwa itu sendiri.

Ada kutukan dalam bentuk lain yang kusadari. Kebanyakan kasus tidak ada mutasi fisik, tetapi memang beberapa diantaranya punya kekuatan yang tidak dimiliki manusia biasa.

Altruisme. Sebuah konsep living for others yang didefinisikan oleh sosiolog Auguste Comte yang menjadi prasyarat moral bagi terbitnya zaman dimana manusia mencapai tingkat tertinggi dalam rasionalitasnya (kita bisa menyebutnya zaman positivisme). Dalam pemikirannya, altruisme ditempatkan sebagai gejala sekuler dan humanisme menjadi puncaknya. Konsep ini menjadi penting sebagai civic, identitas kewargaan dan syarat bagi berdirinya masyarakat.

Sedang dalam pandangan filsafat Kant, yang menjadikan summum bonum (prinsip kebaikan tertinggi) menjadi ukuran terakhir untuk menilai setiap tindakan. Seperti dalam maxim “menolong orang miskin itu baik”. Hal ini harus diuji tindakan yang berbeda antara; menolong orang dengan maksud kepuasan pribadi dengan menolong orang demi menolong saja. Motif yang kedua dianggap memiliki nilai moral lebih tinggi. Melalui pandangan Kant (maxim dan imperatif kategoris) ini kemudian banyak diambil manfaat dan menarik ide mengenai altruisme.

Masih begitu banyak versi altruisme yang didefinisikan oleh para filosof, sosiolog maupun psikolog lainnya. Seperti kin altruisme atau altruisme kerabat yang didasarkan pada pandangan Darwin. Yah, meskipun pandangan ini banyak ditentang dan dianggap lemah karena kemiskinan dalam menjelaskan motif dari tindakan altruistiknya.

Mari kita menilik sedikit syarat-syarat tindakan altruistik lewat karya Monroe.

Pertama, itu berupa tindakan. Bukan lagi niat atau pikiran.

Kedua, tindakan itu mesti diarahkan pada tujuan meski bisa saja bersifat sadar ataupun refleks.

Ketiga, tujuan dari tindakan harus dimaksudkan pertama-tama dan paling utama demi memajukan kemaslahatan orang lain.

Keempat, niat lebih utama daripada konsekuensi.

Kelima, tindakan itu memiliki kemungkinan akibat bagi pengurangan atau cederanya kemaslahatan si pelaku altruistik tersebut.

Keenam, altruisme adalah tindakan tanpa pamrih.

Jika boleh lancang menyederhanakan tanpa mengabaikan syarat-syaratnya, poin utama dari altruisme adalah sebuah konsep dimana seseorang berkorban demi orang lain.

Empat belas abad lalu, seorang lelaki Arab sedang termenung di gua Hira karena memikirkan betapa rusak masyarakat sekitarnya. Sampai sesosok makhluk gagah menghampirinya, membisikan sesuatu yang tidak pernah didengar si lelaki Arab.

Bacalah! Kata makhluk tersebut menuntunnya hingga tiga kali.

Makhluk itu Malaikat Jibril. Wujudnya memenuhi ruang antara langit dan bumi.

Lelaki itu tergagap dan gugup mengikuti. Selesai menerima wahyu pertama dari Malaikat Jibril, dalam ketakutannya ia berlari ke rumah. Masuk ke dalam kamar. Meminta diselemuti oleh istri tercinta. Amanat langit telah diturunkan untuk seluruh umat manusia lewat dirinya.

Setiap kali menyerukan amanat langit (kebenaran), yang ia dapati hanyalah caci maki, lemparan batu, diludahi, bahkan percobaan pembunuhan dari masyarakatnya. Tetapi lelaki itu memang lain. Tak pernah sedikitpun ia kedapatan mengeluh. Hingga satu hari, sang Malaikat datang kembali. Menawarkan untuk menghancurkan masyarakat Thaif yang ingkar.

Dengan tenang lelaki itu berkata,

“Tidak perlu. Aku berharap dari keturunan mereka akan beribadah kepada-Nya.”

Di lain waktu dan tempat, di satu sudut pintu kota Madinah terdapat pengemis buta. Setiap kali ada orang yang mendekatinya si pengemis selalu berseru “Jangan pernah engkau dekati seorang lelaki Arab yang mengaku Nabi. Dia orang gila, pembohong dan tukang sihir.”

Lelaki Arab itu menghampirinya. Bukan untuk menghardiknya. Melainkan membawakannya makan. Setiap pagi, setelah meminta izin, lelaki itu menyuapi si pengemis dengan lembut. Hal tersebut rutin dilakukannya hingga wafatnya tiba.

Hingga satu kali, seorang sahabat dari lelaki itu menggantikannya memberi makan si pengemis. Tak disangka, si pengemis justru menghardiknya “Siapa kamu?! ”

Sahabat itu menjawab, “Aku orang yang biasa menyuapimu.”

“Tidak. Orang yang biasa mendatangiku selalu menghaluskan makanannya terlebih dahulu. Baru ia menyuapiku” terang si pengemis.

Sahabat itu akhirnya menceritakan dengan derai air mata, bahwa lelaki yang biasanya memberi makan telah tiada.

Si pengemis terkejut, lalu menangis mendengarnya. Ternyata orang yang selama ini dicaci maki adalah yang selalu menyuapinya dengan kasih sayang.

Akhir kisahnya memang mengharukan. Si pengemis menerima amanat langit. Bukan karena disodorkan secara langsung oleh si lelaki Arab. Melainkan karena keluhuran sifatnya.

Namanya tercatat sebagai orang nomor satu paling berpengaruh sepanjang sejarah. Muhammad SAW. Seorang figur altruisme sejati.

Apakah ada yang menginterupsinya? Aku rasa tidak.

Alih-alih menyebut altruisme sebagai anugerah, aku lebih tertarik menyebutnya sebagai kutukan. Karena ada berbagai macam konsekuensi mengerikan yang harus ditanggung sebagaimana terjadi pada Medusa.

Tetapi, harus kuperjelas bahwa altruisme bukan sembarang kutukan. Itu adalah kutukan agung yang karenanya tiap persoalan individu yang tidak tersentuh dapat teratasi. Lalu menggerakkan orang lain untuk berbuat serupa, hingga menjadi gerakan sosial. Dan dalam kebanyakan kasus, pada akhirnya kita bisa merasakan keadilan sosial lewat apa yang sekarang disebut dengan kebijakan sosial.

Heroisme hanya datang setelah melampaui altrusime. Muhammad adalah contoh sempurnanya.

Referensi bacaan:
- Jurnal Perempuan- Medusa
- Jurnal Sosiologi Masyarakat FISIP Universitas Indonesia- Altruisme, Solidaritas, dan Kebijakan Sosial
- Republika.co.id- Kisah Pengemis Buta Yang Masuk Islam

--

--

Raushan Fikr A
Komunitas Blogger M

Penggemar mitologi, hidup dalam realitas. Menulis relasi antara keduanya | Silahkan mampir jika ingin mengapresiasi dalam nominal https://trakteer.id/Hello-Shan