Laut Menyimpan Mereka yang Gugur

Salwa Nurmedina Prasanti
Komunitas Blogger M
3 min readAug 3, 2024
https://pin.it/kLzQwtznQ

Mungkin laut sengaja menenggelamkan mereka dalam-dalam agar tak tersiksa lagi dengan anarkisnya dunia.

Kira-kira begitulah isi pikiran saya setelah membaca sebuah novel luar biasa karya Leila S. Chudori, Laut Bercerita. Novel ini adalah novel terpanjang pertama yang bisa saya habiskan. Tak lain dan tak bukan adalah karena kisahnya yang membuat saya mengenal lebih dalam Indonesia, terlebih lagi sisi gelapnya.

Indonesia, tanah air saya ini menyimpan banyak cerita. Kebanggaan menjadi rakyatnya memenuhi dada saya ketika mendengar cerita perjuangan kemerdekaan. Namun, ternyata kemerdekaan bukanlah tujuan. Benar sekali pernyataan di Pembukaan UUD 1945 bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang. Baru di titik itulah Indonesia mencari jati dirinya.

Orde lama Soekarno yang penuh konflik digantikan dengan orde baru melalui Supersemar 1965. Orde baru dimulai dibawah komando Soeharto. Awalnya, ia hanya ingin memberantas Partai Komunis Indonesia yang sempat akan meluluhlantakkan Pancasila. Akan tetapi, keluarga dan orang-orang yang diduga tanpa bukti pun ikut menjadi korban, termasuk para mahasiswa yang memperjuangkan nasib rakyat kecil.

Tokoh utama seorang pria berpemikiran kritis dan puitis bernama Biru Laut. Tak sendiri, ia ditemani kawan-kawan pemberani, seperti Sunu, Kinan, Alex, dan yang lainnya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang mempedulikan nasib bangsa. Merekalah yang menyadari bahwa tanah air mereka sedang tidak baik-baik saja dan mereka juga yang berani bergerak.

Seharusnya pemerintah menyadari pemikiran kritis dapat membangun bangsa menjadi lebih baik. Namun, apa yang terjadi? Mereka yang bersuara malah dibungkam dan mendapat label “komunis”.

Ancaman demi ancaman tak membuat Laut dan kawan-kawan goyah. Begitu gigihnya mereka hingga akhirnya satu per satu dilumpuhkan dengan diculik. Kepala dibungkus kain hitam. Tangan diikat dan kaki ditendang-tendang agar cepat melangkah menuju mobil besar yang akan membawa mereka entah ke mana.

Interogasi kasar dilakukan oleh aparat negara. Pahlawan yang seharusnya melindungi rakyat malah hanya melindungi pejabat. Mahasiswa-mahasiswa pemberani itu disalahkan atas dasar membelot pemerintah. Padahal, hal yang sangat mereka inginkan adalah kesejahteraan semua kalangan.

Padahal sebenarnya para aparat yang menculik aktivis itu tak benar-benar tahu. Mereka hanya tunduk oleh perintah atasan yang bengis lagi kejam. Entah nafsu setan dari mana sehingga membuat mereka tak berperilaku layaknya manusia beradab. Kedok “Bersih Lingkungan” menjadikan mereka bertindak semena-mena. Pada akhirnya, semua ini hanya karena pimpinan takut dilengserkan.

Orang tua kehilangan anak mereka yang ingin memperbaiki nasib. Seorang istri kehilangan suaminya yang pamit untuk membela kebenaran. Seorang adik kehilangan kakaknya yang begitu menyayanginya. Mereka semua tidak tahu-menahu nasib orang-orang yang mereka sayangi. Kabar terakhir yang mereka tahu adalah orang-orang itu sedang bersembunyi karena dianggap berkhianat.

Bukanlah sebuah akhir dari segalanya ketika para pejuang gugur. Novel ini membuat saya yakin akan pepatah “Mati satu tumbuh seribu”. Setelah mereka gugur disemayamkan laut, sesudahnya akan muncul pejuang-pejuang lain dengan semangat yang berkobar. Daripada kembali berada di bawah penderitaan, lebih baik mereka tenang bersama Tuhan.

Seperti yang dikatakan Mas Laut,

“Matilah Engkau mati, Kau akan lahir berkali-kali.”

--

--

Salwa Nurmedina Prasanti
Komunitas Blogger M

IR student of Airlangga University || Politic and international affairs enthusiast